Pertanyaan
Dari:
a.n.
Ta’mir Masjid al-Islah, Jl. Nyi Adisari No 740 Pilahan Kotagede Yogyakarta
(disidangkan
pada hari Jum’at, 17 Zuhijjah 1433 H / 2 November 2012 M)
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kami ingin konsultasi masalah agama kepada Majelis Tarjih. Hal ini
terkait rencana panitia masjid (takmir) yang berencana merenovasi sedikit
bagian dalam masjid. Rencananya bagian yang akan direnovasi adalah bagian
jendela yang terbuat dari kaca, dan kebetulan masjid kami tersebut di sebelah
kanan imam terdapat jalan, jadi ketika shalat sedikit banyak mengganggu kekhusyukan
dalam beribadah. Oleh sebab itu kami berencana mengganti jendela tersebut
dengan jendela dari kayu dan rencananya di bagian jendela tersebut akan dihiasi
dengan kaligrafi yang memuat asmaul-husna.
Permasalahan kami adalah: apakah boleh menghiasi masjid dengankaligrafi yang terdiri dari ayat-ayat al-Qur'an? Mohon diberikan penjelasan
yang komprehensif. Terima kasih
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Para pengurus
ta’mir Masjid al-Islah Kotagede yang dirahmati Allah swt. Pada prinsipnya,
menulis ayat-ayat al-Qur’an atau penggalan ayat tertentu yang memiliki pesan
untuk mengajak seseorang salat berjamaah, khusyuk dalam beribadah, menjaga
etika di rumah Allah (masjid) dengan menulisnya di dinding masjid, atau menggunakan
media tertentu seperti kaca, kayu dan sejenisnya lalu ditempel di dinding
masjid merupakan hal yang mubah (boleh) hukumnya. Bahkan menulis ayat dan hadis
tertentu dengan maksud memberikan motivasi ibadah, syi’ar Islam serta agar
masjid terlihat indah dengan kaligrafi yang bagus, termasuk persoalan yang
diperbolehkan. Islam disamping memperhatikan aspek hukum, juga sangat
memperhatikan aspek etika dan estetika.
Bahkan jika
dibaca tentang sejarah awal pemeliharaan al-Qur’an hingga pengumpulan dan
penulisannya sejak masa Rasulullah saw hingga masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun,
para sahabat menjaga al-Qur’an dengan dua metode sekaligus, yaitu metode menghafal
(al-jam’u fi ash-Shudur), dan metode penulisan al-Qur’an (al-jam’u fi
ash-shuthur) baik di pelepah kurma, bebatuan, dedaunan hingga kulit binatang yang sudah disamak. Hal
tersebut dilakukan oleh para sahabat dan juru tulis wahyu (kuttab an-Nabi/kuttab
al-wahyi), sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut ini:
حَدَّثَنَا
حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ
بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ جَمَعَ الْقُرْآنَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعَةٌ كُلُّهُمْ مِنْ الْأَنْصَارِ
أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَبُو زَيْدٍ.
[رواه
البخاري ومسلم]
Artinya: “Telah menceritakan kepada
kami Hafsh bin Umar, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah menceritakan
kepada kami Qatadah, (ia) berkata; saya telah bertanya kepada Anas bin Malik
ra., siapakah orang yang telah mengumpulkan al-Qur’an pada masa Nabi saw? Anas
menjawab: ada empat orang seluruhnya dari kaum Anshar, yaitu; Ubai bin Ka’ab,
Muaz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Dalam riwayat
lain disebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah mengusulkan dan menyarankan
kepada Abu Bakar ash-Shiddiq untuk mengumpulkan dan membukukan (memushafkan)
al-Qur’an agar tidak hilang seiring dengan banyaknya para huffazh (para
penghafal al-Qur’an) yang meninggal baik saat peperangan maupun lainnya. Dengan
pertimbangan yang sangat matang dan berat akhirnya Abu Bakar menerima usulan
Umar untuk mengumpulkan dan menulis kembali al-Qur’an dengan memerintahkan
beberapa sahabat juru tulis wahyu pada Nabi saw., dengan menjadikan Zaid bin
Tsabit sebagai penanggung jawabnya. Dengan pertimbangan yang sangat mendalam
pula, akhirnya Zaid bin Tsabit menerima usulan Abu Bakar tersebut, lalu beliau
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai sumber, antara lain sebagaimana
dijelaskan dalam penggalan riwayat al-Bukhari berikut ini:
...
... قَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَعُمَرُ عِنْدَهُ جَالِسٌ لَا يَتَكَلَّمُ فَقَالَ
أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ وَلَا نَتَّهِمُكَ كُنْتَ تَكْتُبُ
الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ... ... فَقُمْتُ
فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنْ الرِّقَاعِ وَالْأَكْتَافِ وَالْعُسُبِ
وَصُدُورِ الرِّجَالِ. [رواه البخاري]
Artinya: “… ... Zaid bin Tsabit
berkata dan Umar duduk bersamanya tanpa bicara sedikitpun. Lalu Abu Bakar
berkata (kepada Zaid bin Tsabit): sesungguhnya engkau adalah seorang yang muda
belia, cerdas dan kami tidak menyangsikanmu sedikitpun. Engkau telah menulis
wahyu bagi Rasulullah saw … … lalu saya berdiri (menerima amanah tersebut),
lalu saya mencari dan mengumpulkan al-Qur’an dari kulit-kulit binatang (yang
sudah disamak), tulang-tulang, pelepah-pelepah kayu (kurma) dan dari hafalan
para sahabat. [HR. al-Bukhari]
Salah satu kesimpulan
yang dapat dipetik dari riwayat tersebut adalah tentang kebolehan menulis ayat
al-Qur’an baik pada pelepah kayu (papan dan sejenisnya), kulit dan tulang
binatang yang halal dimakan seperti sapi dan kambing dan media lainnya. Namun,
sekalipun menulis kaligrafi berupa ayat-ayat al-Qur’an atau kalimat-kalimat
yang terkait dengan nama dan sifat-sifat Allah swt. (al-Asma’ al-Husna) diperbolehkan
secara syar’i, tetapi yang harus diperhatikan ta’mir masjid al-Islah khususnya
dan umat Islam pada umumnya adalah hendaknya media yang digunakan untuk menulis
ayat al-Qur’an tersebut harus dipastikan kesuciannya (bukan barang najis), diletakkan
pada posisi yang tepat dan terhormat (bukan di kamar mandi dan sejenisnya), dan
tidak berlebihan sehingga membuat jamaah terganggu kekhusyukannya dalam
melaksanakan salat.
Terkait dengan
tempat yang dilarang untuk menulis ayat al-Qur’an maupun tulisan-tulisan yang
terdapat nama-nama Allah dan Rasul-Nya sebagaimana penjelasan di atas adalah
kamar mandi, WC dan sejenisnya. Hal ini dapat difahami dari spirit hadis Nabi
saw. sebagai berikut:
عَنْ
أَنَسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ
الْخَلَاءَ نَزَعَ خَاتَمَهُ. [رواه الترمذي والنسائي وأبوداود وابن
ماجة]
Artinya:
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: adalah Rasulullah saw apabila
masuk ke kamar kecil beliau menanggalkan cincinnya (yang bertuliskan Muhammad
Rasulullah).” [HR. at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah]
Ketika menjelaskan matan hadis tersebut, para ulama
menyatakan bahwa hadis ini merupakan dalil tentang larangan membawa, menyebut
maupun menuliskan nama-nama Allah, Rasulullah dan al-Qur’an. Sedangkan Ibnu
Hajar berpendapat tentang kesunnahan untuk tidak membawa (termasuk tulisan)
atau menyebutkan seluruh nama dan sifat-sfat Allah, nama para Nabi dan
Malaikat, namun jika hal itu dilanggar maka hukumnya makruh.
Dari penjelasan tersebut, maka langkah yang
ditempuh oleh pihak ta’mir Masjid al-Islah untuk menutup bagian masjid yang
dapat mengganggu kekhusyukan salat merupakan langkah yang sangat tepat. Adapun
solusi yang ditempuh dengan membuat jendela yang diukir dengan kaligrafi al-asma’
al-husna maupun ayat-ayat al-Qur’an pada prinsipnya hukumnya mubah
(boleh) dengan memperhatikan aspek-aspek etika, estetika dan hukum sebagaimana
dijelaskan di atas.
Wallahu a’lam
bish-shawab.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com