Anak Yatim

Status Anak Yatim Berbapak Tiri dan Santunannya


 Pertanyaan dari:
Syafri Said, S.Pd, MM, Ketua PCM Lb. Jambi Kuansing Riau
(disidangkan pada hari Jum’at, 26 Jumadilakhir 1433 H / 18 Mei 2012 M)


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr.wrb.
Saya mau bertanya tentang beberapa hal yang berhubungan dengan anak yatim sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Ma’un:
1.     Bagaimana status anak yatim yang sudah mempunyai bapak tiri, apakah masih berstatus anak yatim atau bagaimana?
2.      Apakah kita masih berkewajiban menyantuni anak yatim yang mempunyai bapak tiri yang ekonomi orang tuanya sudah mapan?
3.    Seandainya kita santuni juga, apakah sama  jumlah santunan anak yatim yang berbapak tiri itu dengan yang tidak mempunyai bapak tiri?
Mohon penjelasannya, terima kasih.


Jawaban:

Wa’alaikumus salam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaan yang diajukan, jawaban akan kami sampaikan secara berurutan sesuai dengan pertanyaannya.
1.      Secara bahasa, pengertian yatim berasal dari bahasa Arab yang berarti orang yang kehilangan (kematian) bapaknya yang wajib menanggung nafkahnya. Selain itu dalam khazanah kearifan Arab terdapat perkembangan pengertian yatim yang tidak dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, tapi dihubungkan dengan ilmu dan moralitas. Kearifan itu menyatakan:

لَيْسَ اليَتِيْمُ الَّذِى قَدْ مَاتَ وَالِدُهُ    بَلْ اليَتِيْمُ يَتِيْمُ الْعِلْمَ وَ الْأدَبَ
Artinya: Orang yatim itu bukanlah orang yang ayahnya telah meninggal, tapi orang yang tidak memiliki ilmu dan budi pekerti.

Berdasarkan hal tersebut maka yatim yang seharusnya mendapatkan pelayanan bukan hanya anak yang terlantar secara ekonomi, tapi juga anak yang terlantar pendidikan, pemeliharaan kesehatan dan pembinaan akhlaknya. Mereka itu dapat meliputi anak-anak yang orang tua atau keluarga mereka, karena kemiskinan dan sebab-sebab yang lain, tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pengasuh, seperti anak-anak jalanan dan anak-anak yang menjadi korban trafficking (perdagangan manusia), korban narkoba, salah pergaulan dan korban teknologi komunikasi. Dengan memperhatikan substansi keyatiman itu adalah “kesendirian”, maka orang-orang yang dikucilkan masyarakat dengan alasan tertentu, seperti penyakit dan orientasi seksual, juga dapat dikelompokkan sebagai yatim.
Masa keyatiman seorang anak terhenti ketika ia telah baligh dan tampak rusyd (mandiri) pada dirinya. Sehingga orang yang sudah baligh tidak lagi dinamakan anak yatim. Firman Allah swt:

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ.
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” [QS. an-Nisa' (4): 6]

Anak yatim dalam pandangan Islam menduduki posisi khusus dan terhormat karena anak yatim memiliki kelemahan dan kekurangan, sehingga memerlukan pihak lain untuk membantu dan memeliharanya. Anak yatim harus disantuni, dikasihi, dihormati dan diakui eksistensinya secara khusus. Tidak boleh diperlakukan secara sewenang-wenang, baik terhadap diri maupun hartanya. Hak-haknya harus diakui dengan cara memelihara, mendidik dan membinanya. Sebagaimana firman Allah swt:

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ. فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ.

Artinya: "Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim." [QS. al-Ma'un (107): 1-2]

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلا تَقْهَرْ. وَأَمَّا السَّائِلَ فَلا تَنْهَرْ.

Artinya: “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang, dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.” [QS. ad-Dluhâ (93): 9 -10]

وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولا.

Artinya: Janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara terbaik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabnya.” [QS. al-Isra’ (17): 34]

Ayat-ayat tersebut memerintahkan untuk menyantuni, membela dan melindungi anak yatim serta melarang dan mencela orang-orang yang menyia-nyiakan dengan bersikap kasar atau menzalimi mereka.
Adapun penyantunan terhadap anak yatim, maka dapat dilaksanakan dalam bentuk-bentuk berikut ini:
a.    Memberi perlindungan.

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ.
Artinya: Bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu? [QS. ad-Dluhâ (93): 6]

b.      Memperhatikan masa depan

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ  وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي  ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا.

Artinya: Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; bukanlah Aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. [QS. al-Kahfi (18): 82]

c.      Menghindari perlakuan tidak adil.

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ  ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا.

Artinya: Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [QS. an-Nisâ’ (4): 3]

d.   Mengurus anak yatim

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ  قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْوِلْدَانِ وَأَن تَقُومُوا لِلْيَتَامَىٰ بِالْقِسْطِ  وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِهِ عَلِيمًا.

Artinya: Mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita, katakanlah: ”Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran juga memfatwakan tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka; dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Allah menyuruh kamu supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. [QS. an-Nisâ’ (4): 127]

e.    Memberi santunan:

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا.
Artinya: Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. [QS. al-Insân (76): 8]

f.     Tidak berlaku kasar

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ.
Artinya: Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang, dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. [QS. ad-Dluhâ (93): 9 -10]

g.    Mengelola harta yang dimilikinya dengan cara terbaik:

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ  وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ  إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا .
Artinya: Janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara terbaik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. [QS. al-Isra’ (17): 34]

Berdasarkan keterangan di atas maka secara biologis, anak  yatim yang sudah mempunyai bapak tiri masih berstatus yatim sepanjang belum mencapai rusyd (mandiri). Sedangkan secara psikologis dan sosiologis anak itu tidak berstatus yatim karena sudah ada yang memenuhi kebutuhannya baik secara jasmani maupun rohani.

2.      Kewajiban menyantuni anak yatim adalah termasuk salah satu dari perbuatan yang dihukumi dengan fardhu kifayah. Artinya, menyantuni anak yatim adalah kewajiban yang dibebankan bagi setiap muslim. Namun apabila sudah ada seseorang yang menanggungnya, maka kewajiban muslim yang lain menjadi gugur. Jika anak yatim sudah mempunyai bapak tiri yang mapan dan sanggup untuk mencukupi kebutuhannya maka kewajiban untuk mengasuh dan memberinya nafkah sudah terpenuhi sehingga tidak lagi menjadi kewajiban umat Islam yang lain. Kewajiban umat Islam yang lain hanyalah menyantuni mereka dengan cara selain memenuhi kebutuhan materinya, misalnya dengan berlaku baik dan tidak berlaku kasar kepada mereka.
3.      Jika akan menyantuni anak yatim yang sudah mempunyai bapak tiri, maka perlu dilihat kondisi ekonomi bapak tirinya tersebut. Apabila bapak tirinya memiliki ekonomi yang kurang dan belum dapat memenuhi kebutuhan anak yatim tersebut, maka umat Islam lainnya berkewajiban untuk menyantuni dan memenuhi kebutuhannya sebagaimana mereka wajib menyantuni dan memenuhi kebutuhan anak yatim lain yang tidak mempunyai bapak tiri. Namun apabila bapak tirinya sudah mapan dan mampu memenuhi kebutuhannya, maka umat Islam lainnya tidak berkewajiban untuk menyantuninya. Alangkah baiknya jika harta yang dimiliki digunakan untuk menyantuni anak yatim yang lain yang kebutuhannya masih belum terpenuhi. Hal ini dilakukan agar menghindari sifat mubadzir dan berlebih-lebihan. Allah berfirman:

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا.
Artinya: Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. [Qs. al-Isra’ (17): 27]

يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ.
Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. [QS. al-A’raf (7): 71]

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah