Fatwa Seputar Badal Haji dan Umrah

Serta Hukum Melaksanakan Umrah Berkali-Kali Bagi Jama'ah Haji Saat Berada di Makkah

Pertanyaan Dari:
Sigit Bachtiar, NBM 977.029, SMK Muhammadiyah 02 Tangerang selatan- Banten
(disidangkan pada hari Jum’at, 25 Syawal 1432 H / 23 September 2011 M)


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
1.  Satu bulan sebelum keberangkatan haji, orang tua meninggal, apakah boleh dibadalkan?  Kapan dan siapa yang sebaiknya membadalkan?
2.   Jika umrah hukumnya sunnah, apakah ada membadalkan umrah?
3. Berapa lama waktu antara umrah ke umrah berikutnya? Bagaimana dengan jamaah haji yang melakukan umrah beberapa kali saat di Mekah?


Jawaban:

Terima kasih kami ucapkan kepada bapak Sigit Bachtiar di Tangerang Selatan-Banten atas pertanyaan yang disampaikan  kepada kami. Beberapa pertanyaan yang bapak ajukan tersebut sebenarnya sudah dijelaskan secara panjang lebar di dalam buku Tuntunan Manasik Haji Menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Berikut ini jawaban dari pertanyaan bapak:

1.    Hukum badal haji, waktu, dan orang yang membadalkan.

Badal haji adalah ibadah haji yang dilaksanakan oleh seseorang atas nama orang lain yang telah memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji, namun karena orang tersebut uzur (berhalangan) sehingga tidak dapat melaksanakannya sendiri, maka pelaksanaan ibadah tersebut didelegasikan kepada orang lain.

Badal haji ini menjadi masalah mengingat ada beberapa ayat al-Qur’an yang dapat difahami bahwa seseorang hanya akan mendapatkan pahala dari hasil usahanya sendiri. Artinya, seseorang tidak dapat melakukan suatu peribadatan untuk orang lain, pahala dari peribadatan itu tetap bagi orang yang melakukannya bukan bagi orang lain. Disamping itu ada juga hadis Nabi saw yang menerangkan bahwa seorang anak dapat melaksanakan ibadah haji untuk orang tuanya atau seseorang melaksanakan haji untuk saudaranya yang telah uzur baik karena sakit, usia tua atau telah meninggal dunia, padahal ia sudah berkewajiban untuk menunaikan ibadah haji.

Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang dimaksud antara lain:
a.       Surat al-Baqarah ayat 286:

... لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ...

Artinya: …ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya …” [QS.al-Baqarah (2): 286]

b.      Surat Yasin ayat 54:

فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلَا تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Artinya: “Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.” [QS. Yasin (36): 54]

c.       Surat an-Najm ayat 38 dan 39:

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى . وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى .

Artinya: “(yaitu) bahwasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang telah diusahakannya.” [QS. an-Najm (53): 38-39]

Adapun hadis-hadis yang dapat dijadikan acuan atau memberi petunjuk dibolehkannya seorang anak menunaikan ibadah haji atas nama orang tuanya dan seseorang melaksanakan haji untuk saudaranya, di antaranya adalah:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَمَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَحُجَّ أَفَأَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ فَقَالَ اقْضُوا اللهَ الَّذِي لَهُ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ . [رواه البخاري]



Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi saw, lalu berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk berhaji, lalu ia meninggal dunia sebelum ia melaksanakan haji, apakah saya harus menghajikannya? Nabi saw bersabda: Ya hajikanlah untuknya, bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki tanggungan hutang, apakah kamu akan melunasinya? Ia menjawab: Ya. Lalu Rasulullah saw bersabda: Tunaikanlah hutang (janji) kepada Allah, karena sesungguhnya hutang kepada Allah lebih berhak untuk dipenuhi.” 
 [HR. al-Bukhari]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. [رواه مسلم]



Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya.” [HR. Muslim]



أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللهِ فِي الْحَجِّ وَهُوَ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحُجِّي عَنْهُ .
 [رواه مسلم والجماعة]



Artinya: “Bahwasanya seorang wanita dari Khas’am berkata kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah sesungguhnya ayahku telah tua renta, baginya ada kewajiban Allah dalam berhaji, dan dia tidak bisa duduk tegak di atas punggung onta. Lalu Nabi saw bersabda: Hajikanlah dia.” [HR. Muslim dan jamaah ahli hadis]



جَاءَ رَجُلٌ مِنْ خَثْعَمٍ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَبِي أَدْرَكَهُ الْإِسْلَامُ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ رُكُوبَ الرَّحْلِ وَالْحَجُّ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ أَنْتَ أَكْبَرُ وَلَدِهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ أَكَانَ ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَاحْجُجْ عَنْهُ . [رواه أحمد]



Artinya: “Seorang laki-laki dari bani Khas’am menghadap kepada Rasulullah saw, ia berkata: Sesungguhnya ayahku masuk Islam pada waktu ia telah tua, dia tidak dapat naik kendaraan untuk haji yang diwajibkan, bolehkan aku menghajikannya? Nabi saw bersabda: Apakah kamu anak tertua? Orang itu menjawab: Ya. Nabi saw bersabda: Bagaimana pendapatmu jika ayahmu mempunyai hutang, lalu engkau membayar hutang itu untuknya, apakah itu cukup sebagai gantinya? Orang itu menjawab: Ya. Maka Nabi saw bersabda: Hajikanlah dia.” [HR. Ahmad]

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis tersebut di atas. Ada yang berpendapat bahwa hadis-hadis tersebut bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, hadis-hadis tersebut tidak dapat diamalkan. Hadis-hadis itu zhanni sedangkan ayat al-Qur’an qath’i. Pendapat ini didukung oleh ulama Hanafiyah. Ulama’ lain seperti Ibnu Hazm berpendapat bahwa hadis Ahad mempunyai kekuatan qath’i sehingga dapat mengecualikan atau mengkhususkan ayat al-Qur’an. Pendapat ketiga dikemukakan oleh ulama Mutakallimin khususnya ulama Syafi’iyah yang mengatakan bahwa hadis Ahad apalagi hadis Mutawatir dapat mentakhsis atau mengecualikan ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, menurut mereka anak bahkan orang lain pun dapat melaksanakan haji atas nama orang tuanya atau orang lain. Pelaksanaan haji yang demikian ini disebut “badal haji” atau “haji amanat”.

Sejauh yang dapat difahami dari pendapat di kalangan ulama Tarjih Muhammadiyah, hadis Ahad dapat mentakhsis ayat al-Qur’an, yakni sebagai bayan (penjelas). Contohnya dalam masalah wakaf, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menetapkan bahwa orang yang berwakaf akan tetap mengalir pahalanya sekalipun ia telah meninggal dunia berdasarkan hadis riwayat Muslim yang menyatakan bahwa apabila manusia meninggal dunia putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selalu mendoakan kedua orang tuanya, sebagaimana dikutip di atas. Hadis ini secara lahiriyah tampak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an tersebut di atas, namun hadis ini juga dapat diartikan sebagai takhsis (pengkhususan) atau bayan (penjelas) terhadap ayat-ayat al-Qur’an tersebut.

Dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis serta keterangan di atas, maka haji bagi seseorang yang telah memenuhi kewajiban haji tetapi tidak dapat melakukannya karena udzur atau karena sudah meninggal dunia padahal ia sudah berniat atau bernazar untuk menunaikan ibadah haji, hanya dapat dilakukan oleh anak dan saudaranya (ahli warisnya) pada asyhuri al-hajj (musim haji), hanya saja pengganti harus telah berhaji terlebih dahulu, sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini:

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِسْمَعِيلَ الطَّالَقَانِيُّ وَهَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ الْمَعْنَى وَاحِدٌ قَالَ إِسْحَقُ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ عَزْرَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لَا قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ . [رواه أبو داود وابن ماجه]



Artinya: “… diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya Nabi saw mendengar seseorang berkata labbaik (aku datang memenuhi panggilanmu) dari (untuk) Syubrumah. Rasulullah saw bertanya; Siapakah Syubrumah itu, ia menjawab; saudaraku atau kerabatku, lalu Rasulullah bertanya; Apakah kamu sudah berhaji untuk dirimu? Ia menjawab; Belum. Lalu Rasulullah saw bersabda; Berhajilah untuk dirimu (terlebih dahulu) kemudian kamu berhaji untuk Syubrumah.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah]

2.    Badal Umrah
Para ulama sepakat bahwa umrah hukumnya sunnah, sehingga tidak ada kewajiban bagi seseorang atau ahli waris untuk mengumrahkan orang tuanya yang sudah udzur atau meninggal dunia. Kecuali jika orang tuanya pernah bernazar untuk melaksanakan umrah, maka anaknya (ahli warisnya) yang memiliki kemampuan harus menunaikan nazar kedua orang tuanya. Hal tersebut didasarkan pada hadis-hadis tersebut di atas dan hadis berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ . [رواه البخاري و الجماعة]



Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra., dari Nabi saw bersabda: Barangsiapa yang bernazar untuk mentaati Allah maka hendaknya ditaati (ditunaikan), dan barangsiapa bernazar untuk bermaksiat kepada Allah maka janganlah ia (tunaikan nazarnya) untuk berbuat maksiat.” [HR. al-Bukhari dan jamaah ahli hadis]


3.    Waktu antara umrah ke umrah berikutnya dan hukum bagi jamaah haji yang melakukan umrah beberapa kali saat di Makkah ?

Waktu pelaksanaan umrah tidak ditentukan secara khusus. Umrah dapat dilakukan kapan saja, baik pada musim haji maupun di luar asyhur al-hajj (bulan-bulan haji). Sehingga bagi orang yang memiliki kemampuan baik secara finansial, fisik maupun transportasi dapat melakukannya “kapan saja” dengan memperhatikan kewajiban-kewajiban yang lain baik kepada keluarga, kerabat maupun lingkungan sosialnya, sehingga ia tidak hanya mementingkan dirinya sendiri namun juga orang lain. Jika ia sudah berkali-kali melaksanakan umrah dengan kemampuan materi yang dimilikinya, hendaknya ia mengajak atau memberikan kesempatan (bantuan) kepada orang untuk melaksanakannya, dan hal tersebut tidak akan mengurangi pahala dan kebaikan yang akan didapatkannya. Sedangkan bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan seputar pelaksanaan umrah terutama menjelang melaksanakan haji.

Sebelum menjawab substansi pertanyaan yang ketiga, perlu difahami terlebih dahulu pengertian umrah berkali-kali bagi jama’ah haji tersebut. Bahwa yang dimaksud dengan umrah berkali-kali menjelang ibadah haji di sini adalah umrah yang dilaksanakan berkali-kali oleh jamaah haji setelah mereka melakukan umrah dalam melakukan haji tamattu’. Umrah ini dilaksanakan dalam rangkaian ibadah haji guna mengisi waktu senggang sebelum melaksanakan ibadah haji pada tanggal 8 Dzulhijjah. Umrah seperti ini juga disebut dengan umrah Makkiyah, yakni umrah yang dilaksanakan oleh jamaah haji dari luar Makkah yang sedang berada di kota Makkah. Mereka keluar dari tanah haram seperti Tan’im dan Ji’ranah, lalu melakukan ihram untuk umrah dari tempat tersebut.

Jama’ah haji yang melakukan umrah dari Tan’im atau Ji’ranah tersebut berlandaskan pada adanya izin dari Nabi saw kepada ‘Aisyah untuk melakukan umrah dengan diantar oleh saudaranya yang bernama Abdurrahman bin Abi Bakar. Pada saat itu Nabi saw beserta para sahabat akan meninggalkan Makkah menuju Madinah seusai melaksanakan ibadah haji. Saat itu ‘Aisyah gelisah karena pada waktu tiba di Makkah ia tidak dapat menyempurnakan umrahnya dengan thawaf, karena haid. Kegelisahan ini kemudian disampaikan kepada Rasulullah saw, dengan mengatakan bahwa orang lain bisa melakukan ibadah haji dan umrah dengan sempurna, sedangkan ia hanya ibadah haji saja. Mendengar keluhan ‘Aisyah ini, kemudian Nabi saw menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakar mengantarkannya ke Tan’im melakukan ihram untuk umrah.

...قَالَتْ فَكُنْتُ أَنَا مِمَّنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ فَخَرَجْنَا حَتَّى قَدِمْنَا مَكَّةَ فَأَدْرَكَنِي يَوْمُ عَرَفَةَ وَأَنَا حَائِضٌ لَمْ أَحِلَّ مِنْ عُمْرَتِي فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ دَعِي عُمْرَتَكِ وَانْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَأَهِلِّي بِالْحَجِّ قَالَتْ فَفَعَلْتُ فَلَمَّا كَانَتْ لَيْلَةُ الْحَصْبَةِ وَقَدْ قَضَى اللهُ حَجَّنَا أَرْسَلَ مَعِي عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ فَأَرْدَفَنِي وَخَرَجَ بِي إِلَى التَّنْعِيمِ فَأَهْلَلْتُ بِعُمْرَةٍ فَقَضَى اللهُ حَجَّنَا وَعُمْرَتَنَا وَلَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ هَدْيٌ وَلَا صَدَقَةٌ وَلَا صَوْمٌ . [رواه مسلم]



Artinya: “… (Aisyah ra.) berkata: Aku sendiri termasuk orang yang berniat ihram untuk umrah dan kita semua meninggalkan Madinah sampai datang di Makkah. Pada saat datangnya hari atau waktu Arafah saya haid, sehingga saya tidak dapat tahallul untuk umrahku. Aku mengadu kepada Nabi saw, lalu Nabi bersabda: Tinggalkan umrahmu dan lepaskan rambutmu dan bersisirlah kemudian niatlah ihram untuk haji. Selanjutnya Aisyah berkata: Akupun mengerjakannya, dan setelah sampai malam Hasabah (sesudah hari tasyriq) dan setelah kami selesai ibadah haji, Nabi saw menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakar memboncengkan aku keluar ke Tan’im dan akupun ihram untuk umrah dan selesai. Maka Allah telah menentukan selesai haji dan umrah kami. Dalam hal ini tidak diperlukan membayar dam (menyembelih hewan), membayar sadaqah ataupun berpuasa.” [HR. Muslim]

Berdasarkan hadis di atas, jelas bahwa umrah tersebut dilakukan sesudah selesai haji dan dalam rangka menyempurnakan umrah sebelumnya. Nabi saw tidak memberikan tuntunan dan tidak menyuruh para sahabatnya untuk melakukan umrah berkali-kali dalam musim haji sebelum waktu wukuf di Arafah. Oleh karena itu, umrah seperti itu tidak perlu dilaksanakan. Amalan-amalan yang dianjurkan kepada jamaah haji adalah tadarrus al-Qur’an, memperbanyak doa atau thawaf di Masjidil Haram. Adapun melaksanakan umrah sesudah selesai melaksanakan ibadah haji boleh saja dilakukan.

Wallahu A’lam bi al Shawab. *Rf)


Pimpinan Pusat Muhammadiyah