HUKUMAKIKAH, MENGAKIKAHI DIRI SENDIRI
DAN
PENYEMBELIHAN AKIKAH DALAM ACARA KURBAN
Pertanyaan
Dari:
Dani Iswadi, Jepara, via e-mail: vandhany_sambora@yahoo.com
(disidangkan
pada hari Jum’at, 3 Zulhijjah 1433 H / 19 Oktober 2012 M)
Pertanyaaan:
Saya warga
Muhammadiyah di Jepara yang berbaur di kalangan Nahdiyin di tempat saya:
1. Saya
dimintai pertanyaan tentang mengakikahi diri sendiri ketika sudah besar, akikah
itu hukumnya wajib atau sunah pak? Budaya masyarakat jika akikah belum
dilaksanakan sejak kecil tapi kalau dewasa diakikahi, padahal akikah tersebut
tugas orang tua tapi tatkala dewasa diakikahi sendiri berarti setiap bayi lahir
punya tanggungan akikah besok kalau sudah dewasa.
2. Ketika pelaksanaan Idul Qurban,
saya sebagai panitia qurban mendapatkan peserta akikah dalam pelaksanaan idul
qurban, apa yang akan kami kerjakan mengenai penyembelihan akikah dalam acara
qurban pak?
Mohon balasan dan jawabannya, terima
kasih.
Jawaban:
Terima kasih
atas pertanyaan yang telah bapak ajukan,
semoga bapak selalu berada dalam rahmat dan lindungan Allah swt. Jawaban atas
pertanyaan bapak akan kami sampaikan secara urut sebagai berikut:
1.
Sebelum menjawab pertanyaan
pertama, perlu kami sampaikan beberapa hal terkait akikah. Secara
bahasa, akikah adalah
membelah dan memotong, sehingga hewan yang disembelih pun juga disebut akikah, karena
tenggorokannya dibelah dan dipotong. Selain itu, ada juga yang mengartikannya
dengan rambut yang terdapat di kepala bayi yang baru keluar dari perut ibunya
(ash-Shan’any, Subulus-Salam, Bab al-Akikah,
hlm. 333).
Adapun
akikah menurut terminologi syariat adalah hewan yang disembelih untuk anak yang
baru dilahirkan sebagai ungkapan syukur kepada Allah dengan niat dan
syarat-syarat yang khusus (Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqhus-Sunnah,
Bab al-Aqiqah, hlm. 636).
Hukum
akikah berdasarkan
pendapat rajih (kuat) yang disepakati oleh
jumhur ulama adalah sunah muakadah. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw:
مَنْ وُلِدَ
لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ. [رواه
أبو داود والنسائى وأحمد والبيهقي]
Artinya: “Barangsiapa
yang dikaruniai anak dan ingin beribadah atas namanya, maka hendaklah ia
beribadah (dengan menyembelih binatang
akikah).” [HR. Abu Dawud no. 2842, an-Nasa’i vol. 7 no. 162, Ahmad vol. 2 no.194, dan
al-Baihaqi vol. 9 no. 300]
Sabda Nabi saw: “Barangsiapa yang dikaruniai anak dan
ingin beribadah atas namanya” menunjukkan bahwa akikah sunnah hukumnya.
Adapun tentang pelaksanaannya,
akikah disyariatkan
pada hari ketujuh dari kelahiran anak, sebagaimana dijelaskan dalam hadis
Rasulullah saw:
كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ
بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى فِيهِ وَيُحْلَقُ
رَأْسُهُ. [رواه
الخمسة عن سمرة بن جندب، وصححه الترمذي]
Artinya:
“Tiap-tiap anak itu tergadai dengan akikahnya yang disembelih sebagai tebusan
pada hari yang ketujuh dan diberi nama pada hari itu serta dicukur kepalanya.” [Hadis diriwayatkan oleh lima ahli hadis dari Samurah
bin Jundub, disahihkan oleh at-Tirmidzi]
Memang
ada beberapa pendapat tentang kapan waktu pelaksanaan akikah selain hari ketujuh
sesudah kelahiran.
Paling tidak ada dua pendapat:
Pertama, pendapat yang
dikemukakan oleh ulama madzhab Hambali yang mengatakan bahwa pelaksanaan akikah
boleh pada hari ke-14, 21 atau seterusnya manakala pada hari ke-7 dari
kelahiran anak, orang tuanya tidak mampu mengakikahi. Mereka berhujah dengan
hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah dari
ayahnya:
الْعَقِيقَةُ
تُذْبَحُ لِسَبْعٍ وَلأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَلإِحْدَى وَعِشْرِينَ. [رواه
البيهقي]
Artinya: “Akikah
itu disembelih pada hari ketujuh dan pada hari keempat belas dan pada hari
keduapuluh satu.”
[HR. al-Baihaqi]
Kedua, pendapat yang
dikemukakan ulama madzhab Syafi’i. Menurut mereka akikah tidak akan gugur atau
hilang penundaannya sampai akikah itu dilakasanakan, meskipun oleh dirinya
sendiri. Mereka berhujah dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari
Anas ra yang menyebutkan bahwa Nabi saw baru melakukan akikah untuk dirinya
setelah beliau menjadi Nabi:
أَنَّ
النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ
النُّبُوَّةِ. [رواه
البيهقي]
Artinya:
“Bahwasanya Nabi saw mengakikahkan dirinya setelah beliau menjadi
Nabi.”
[HR. al-Baihaqi]
Akan
tetapi, kedua hadis di atas diperselisihkan keotentikannya oleh para ulama.
Hadis al-Baihaqi yang diriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah di atas dinilai
daif karena dalam sanadnya terdapat Ismail bin Muslim al-Makky yang
didaifkan oleh Ahmad, an-Nasa’i dan Abu Zur’ah. Demikian juga hadis al-Baihaqi
dari Anas ra dinilai daif karena pada sanadnya terdapat seorang yang bernama
Abdullah bin al-Muharrar yang dinyatakan lemah oleh beberapa ahli hadis antara
lain oleh Ahmad, ad-Daruqutni, Ibnu Hibban dan Ibnu Ma’in (lihat buku Tanya
Jawab Agama oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, jilid IV halaman 233).
Bahkan an-Nawawi menyebut hadis ini sebagai hadis batil karena al-Baihaqi
meriwayatkan melalui jalan Abdullah bin al-Muharrar dari Qatadah. Al-Baihaqi
sendiri menyebut hadis ini sebagai hadis munkar. Oleh karena itu, menurut hemat kami hadis-hadis tersebut tidak perlu
diamalkan.
Berdasarkan penjelasan
di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a.
Hukum akikah adalah sunnah muakadah
dan waktu pelaksanaan akikah adalah hari ketujuh dari kelahiran bayi.
b.
Yang dituntut untuk melaksanakan
ibadah akikah adalah orang tua dari bayi yang dilahirkan, sehingga seseorang
tidak perlu mengakikahi diri sendiri.
2.
Mengenai pertanyaan
kedua, sesungguhnya dari apa yang telah kami jelaskan di atas, pertanyaan kedua
bapak tersebut secara tidak langsung telah terjawab, bahwa akikah disyariatkan pada
hari ketujuh dari kelahiran bayi. Akikah terikat dengan waktu kelahiran sang
bayi tersebut dan tidak
ada tuntutan akikah ketika sudah melebihi 7 hari
kelahiran bayi, maupun tatkala seseorang sudah dewasa. Sementara ibadah kurban dapat
dilaksanakan setiap tahun sekali. Apabila hewan sembelihan akikah dimaksud
adalah untuk akikah yang sudah lewat dari 7 hari kelahiran bayi atau untuk
mengakikahi orang dewasa, alangkah baiknya jika disarankan untuk dialihkan
niatnya sebagai hewan kurban. Namun jika akikah tersebut memang bertepatan dengan waktu penyembelihan kurban, maka tidak mengapa dilaksanakan bersamaan
dengan penyembelihan kurban itu.
Perlu diketahui pula, tidak dibenarkan menyatukan niat
antara akikah dan kurban, yakni dalam satu hewan sembelihan untuk dua niat,
akikah dan kurban sekaligus.
Keduanya memiliki ketentuan-ketentuan yang berbeda satu sama lain, baik tentang
waktu, syarat, dan lain-lainnya, juga tidak ada nas al-Qur’an atau hadis yang
menyatakan bahwa akikah dan kurban dapat disatukan.
Wallahu a’lam bish-shawab. *putm-pa)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com