Nisab Zakat Profesi dan Zakat Pertanian


Pertanyaan Dari:
Drs. Ngadimin, Trimulyo I Kepek Wonosari Gunung Kidul
(disidangkan pada hari Jum’at, 7 Jumadilawal 1433 H / 30 Maret 2012 M)


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr wb.
Membaca penjelasan Tanya Jawab Agama Nomor 1/2012 tentang zakat profesi. Ternyata nishab zakat profesi itu penghasilan bersih setelah dikurangi pajak, dan kebutuhan sehari-hari. Kebanyakan pegawai penghasilannya habis untuk bayar listrik, kebutuhan sekolah anak, dan konsumsi harian. Apakah masih harus berzakat. Padahal biasanya mereka juga sudah mengeluarkan zakat 2,5%.

Petani yang berpenghasilan beberapa kwintal dan sudah sampai nishab, kalau dihitung-hitung untuk kebutuhan sehari-hari juga habis, apakah juga wajib zakat walaupun sudah sampai nishab saat panen?
Wassalamu’alaikum wr wb.


Jawaban:

Wa’alaikum salam wr wb.

Terima kasih atas pertanyaan saudara.
Sebelum kami menjawab, untuk lebih jelasnya, kami akan menguraikan sedikit tentang pengertian zakat profesi, yaitu zakat yang dikeluarkan setelah dikurangi dengan biaya kebutuhan hidup sehari-hari, seperti untuk kebutuhan sandang, papan, pangan, biaya pendidikan, biaya kesehatan, membayar hutang dan lain sebagainya. Apabila dalam jangka satu tahun telah mencapai nishabnya atau mencapai jumlah uang seharga 85 gram emas murni (24 karat) atau lebih (jika harga emas / gram itu ± Rp. 500.000,- jadi perhitungannya: Rp.500.000,- x 85 = Rp. 42.500.000,- /tahun)  maka ia wajib mengeluarkan zakatnya karena hikmah ditentukannya nishab, yaitu bahwa zakat merupakan kewajiban yang dibebankan atas orang kaya untuk bantuan kepada orang miskin dan untuk ikut berpartisipasi bagi kesejahteraan Islam dan kaum muslimin. Sebagaimana firman Allah swt:

...وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

Artinya: "... Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “ Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” [Qs. Al Baqarah: 219]

Ayat di atas menjelaskan bahwa yang wajib berzakat adalah orang yang hartanya berlebih. Dalam tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwa “قُلِ الْعَفْوَ” itu diartikan sesuatu yang lebih dari kebutuhan keluarga, demikian juga yang dikatakan oleh Ibn Umar, Mujahid, Atha’, Ikrimah, dan lain-lain. Atha’ bisa memakai upah minimum suatu daerah. Dan telah dijelaskan dalam Tanya Jawab Agama no. 5 hlm. 95 bahwa zakat itu dikeluarkan oleh orang yang kaya sebagaimana sabda Rasulullah saw:

...فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ

(متفق عليه واللفظ للبخارى عن ابن عباس رضى الله عنهما)



Beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan zakat pada harta mereka, di ambil dari orang-orang kaya dan diserahkan kepada orang-orang fakir di antara mereka.” (Muttafaqun ‘alaih dengan lafadz al-Bukhari dari Ibn Abbas).

Orang kaya dalam ukuran ibadah zakat ialah orang yang memiliki harta satu nisab. Untuk dapat disebut harta satu nisab, yakni apabila memenuhi syarat-syaratnya. Antara lain: harta setelah dikurangi kebutuhan pokok bagi pemiliknya dan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya seperti biaya makan, pakaian, tempat tinggal, transportasi, kesehatan, pendidikan, pembelian atau perawatan alat kerja serta kebutuhan pokok yang lain ternyata masih ada kelebihan yang mencapai batas minimal harta yang diwajibkan oleh syara’ untuk dikeluarkan zakatnya. Maka keluarkanlah zakatnya.

Namun jika telah mencapai senishab kemudian dikurangi oleh kebutuhan pokok yang biasanya dikeluarkan maka tidak wajib zakat karena menjadi tidak cukup senishab. Dengan demikian jika penghasilan habis untuk bayar listrik, kebutuhan sekolah anak, dan konsumsi harian. Maka ia tidak harus berzakat.

Contoh 1: Gaji profesi seorang pegawai Rp. 6.000.000,- / bulan.
Setelah dipotong untuk membayar listrik, kebutuhan sekolah anak, dan konsumsi harian, ternyata masih tersisa Rp. 2.000.000,-  Jika dikalkulasi dalam setahun ia mendapat Rp. 2.000.000,- x 12 = Rp. 24.000.000,- maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat karena tidak mencapai nishabnya (Rp. 42.500.000,- /tahun senilai nishab emas 85 gr), namun jika masih tersisa Rp. 3.600.000,- x 12 = Rp. 43.200.000,- maka  sudah mencapai nisab sehingga ia berhak mengeluarkan zakat sebesar 2,5 % x Rp. 3.600.000,- = Rp.90.000,- jika dikeluarkan perbulan, atau bisa juga membayar satu kali tiap tahun sejumlah 12 x Rp.90.000,- = Rp. 1.080.000,-

Contoh 2: hasil panen padi
Nishab zakat pertanian : 653 kg setiap kali panen, jika harga padi Rp.6000,-/kg, maka Rp.6000,- x 653 kg=  Rp. 3.918.000,-
Pengairan tanpa biaya produksi : 10%, sedangkan disertai dengan biaya produksi : 5%.

Jika seorang petani ketika panen menghasilkan 2 ton padi (jika harga padi Rp. 6000,- /kg, maka Rp. 6.000,- x 2.000,- = Rp.12.000.000,-) kemudian dikurangi biaya produksi (pupuk, irigasi, dll) dan upah buruh sehingga tersisa Rp. 9.000.000,- sisa inilah yang nantinya akan diambil zakatnya sebanyak 5%, yaitu Rp. 450.000,- sehingga hasil akhirnya menjadi Rp. 8.550.000,- yang akan digunakan oleh petani untuk biaya hidupnya selama 4 bulan (panen padi setiap 4 bulan sekali). Bila tanpa biaya produksi, maka zakatnya sebesar 10%, yaitu Rp. 900.000,- sehingga biaya akhirnya menjadi Rp. 8.100.000,-. Hasil akhir inilah yang akan digunakan oleh petani untuk biaya hidupnya selama 4 bulan.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa setelah petani mengeluarkan biaya produksi, kemudian masih tersisa dan mencapai nishabnya, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya terlebih dahulu tanpa dikurangi oleh biaya kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini karena zakat pertanian itu bukan termasuk zakat maal yang harus dikurangi oleh kebutuhan sehari-hari terlebih dahulu lalu mengeluarkan zakatnya. (PUTM)

Wallahu a’lam bish shawwab
Pimpinan Pusat Muhammadiyah