UANG HASIL RENTENIR, IKLAN ZIARAH
KE YERUSSALEM, ZAKAT PERNIAGAAN, DAN BUKU RIAS PENGANTIN
Pertanyaan Dari:
Hajinah Idham, Depok, Jawa Barat
(disidangkan pada hari Jum’at, 28 Muharram 1433 H / 23 Desember 2011 M)
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Saya adalah
pimpinan penerbitan buku keterampilan. Untuk
mendapatkan tambahan dana penerbitan, saya memberikan kesempatan kepada para
pengusaha yang terkait dengan judul buku, memasang iklan usahanya. Salah
seorang dari pemasang iklan dalam salah satu buku yang akan saya terbitkan,
ternyata adalah seorang pimpinan LPK yang juga menjadi rentenir.
Pertanyaan
saya:
1. Halalkah uang
hasil rentenir yang akan saya terima sebagai biaya pemasangan iklan dalam buku
saya?
2. Bolehkah saya
mengiklankan dalam buku saya iklan tentang ziarah ke Yerusalem untuk kunjungan
umat kristiani (pemilik usaha ini beragama kresten)
Selama saya
berusaha, saya telah membayar zakat secara mencicil setiap bulan melalui
lembaga amil zakat, tetapi dengan perhitungan 2.5% x pendapatan rata-rata
pertahun dibagi dua belas bulan.
Pertanyaan
saya:
3. Bagaimana cara
yang benar menghitung zakat perniagaan untuk usaha penerbitan buku? Ada yang
mengatakan bahwa zakat perniagaan itu “tidak ada dalam hukum Islam”. Benarkah ?
Jika ada, pertanyaan saya: apakah waktu nisab dihitung dari pendapatan setiap
buku atau dari pendapatan setahun, karena waktu terbit buku tidak sama? Dari
mana jumlah zakat diperhitungkan; dari omzet atau laba? Masa habisnya buku
rata-rata tiga tahun. Perlu saya informasikan bahwa untuk mencetak buku, saya
terpaksa berhutang kepada pencetak dan membayarnya secara bertahap.
4. Judul buku yang
saya terbitkan adalah buku ketrampilan, di antaranya adalah tentang rias
pengantin. Selain tentang seni merias, dalam buku itu juga diuraikan tentang
upacara adat termasuk tentang “sesajen dan hal-hal yang bid’ah”. Bagaimana
hukumnya pekerjaan saya ini? Halal atau haram?
Saya sangat
mengharapkan jawaban pertanyaan di atas, agar apa yang sedang saya lakukan
mendapat ridha-Nya. Terima kasih.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Warahmatullahi Wabarakatuh
Terimakasih kami
ucapkan kepada Ibu Hajinah Idham yang telah menyampaikan pertanyaannya kepada
kami. Berikut ini kami jawab pertanyaan Ibu berdasarkan urutannya:
1. Halalkah uang
hasil rentenir yang akan saya terima sebagai biaya pemasangan iklan dalam buku
saya?
Sebelum bicara
tentang aspek hukumnya, sebaiknya perlu difahami pengertian riba sebagaimana
dikemukakan oleh para ulama’, antara lain; Riba menurut al-Jurjani ialah; “kelebihan
atau tambahan pembayaran tanpa ganti atau imbalan yang disyaratkan bagi salah
seorang dari dua orang yang membuat akad”. Sedangkan Syekh
Muhammad Abduh mendefinisikannya; “penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh
orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena
pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan”.
Riba merupakan
perkara yang diharamkan oleh Islam sebagaimana dijelaskan dalam ayat dan hadis
Nabi saw., antara lain:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ
مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ
مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ.
Artinya: “Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Maka barangsiapa yang telah datang kepadanya peringatan dari
Tuhannya, lalu ia berhenti (melakukan riba) maka baginya apa-apa yang telah
lalu dan urusannya kembali kepada Allah, dan barangsiapa yang kembali
(melakukannya) maka mereka itulah para penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.” [QS. al-Baqarah
(2): 275]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkan
sisa-sisa (yang belum dipungut) dari riba, jika kamu orang-orang yang beriman.” [QS.
al-Baqarah (2): 278]
Bahkan dalam beberapa hadis sahih dijelaskan, bahwa orang
yang terlibat dalam aktifitas ribawi baik sebagai pelaku, saksi, pencatat, pemakan
riba dan lainnya termasuk pihak yang dilaknat oleh Rasulullah saw dan dimasukkan
ke dalam golongan orang-orang yang binasa;
عَنْ
جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ
الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ. [رواه
مسلم]
Artinya:
“Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata; Rasulullah saw melaknat orang yang
memakan riba, orang yang menjadi wakilnya, orang yang mencatatnya, dua orang
saksinya, dan ia bersabda mereka sama saja.” [HR. Muslim]
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ قَالَ آكِلُ الرِّبَا وَمُوكِلُهُ وَكَاتِبُهُ إِذَا عَلِمُوا
ذَلِكَ .... مَلْعُونُونَ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. [رواه البخاري ومسلم والجماعة]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdillah, ia berkata; orang yang memakan
riba, wakilnya, pencatatnya apabila mereka mengetahui hal tersebut … mereka
dilaknat atas (oleh) lisan Muhammad saw. pada hari kiamat.” [HR.
al-Bukhari, Muslim dan jama’ah]
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هِيَ قَالَ
الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالشُّحُّ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ
إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي
يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ . [رواه البخاري
ومسلم]
Artinya:
“Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra., bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
Jauhilah oleh kamu sekalian tujuh perkara yang membinasakan, ditanyakan oleh
para sahabat; wahai Rasulullah, apa saja tujuh perkara tersebut? Rasulullah
bersabda: Syirik kepada Allah, kikir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah
kecuali karena alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari
dari medan perang, menuduh wanita baik-baik yang (sedang) lalai lagi beriman
melakukan zina.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Ayat-ayat dan
hadis-hadis di atas memberikan informasi dan penjelasan yang sangat tegas tentang
keharaman riba beserta dampak negatif yang akan ditimbulkannya. Keharaman riba,
tidak hanya bagi pelakunya, tetapi juga
bagi orang yang memakan hasil riba jika mereka mengetahui sesuatu yang dimakannya
tersebut bersumber dari riba, wakilnya, pencatat dan orang yang menjadi
saksinya. Sedangkan dampak negatif yang akan didapatkan oleh orang yang
terlibat dalam persoalan riba antara lain; berupa kesengsaraan di akhirat
kelak, dilaknat, dan termasuk salah satu dari tujuh perkara yang membinasakan.
Dengan demikian,
jika Ibu yakin bahwa dana yang digunakan tersebut didapatkan dari hasil riba karena
diperkuat oleh pengakuan, barang bukti yang Ibu miliki, atau mungkin sesuatu
yang diiklankan tersebut terkait dengan usaha riba yang dijalankannya, maka tentu ibu
termasuk orang yang terlibat dalam aktifitas riba dengan segala konsekuensinya.
Karena
mengiklankannya termasuk kategori membantu kesuksesan aktifitas riba yang
dijalankannya. Hal
ini selaras dengan kaidah fikih yang berbunyi:
لِلْوَسَائِلِ
حُكْمُ الْمَقَاصِدِ .
Artinya: “Wasilah
(perantara/fasilitator) sama hukumnya dengan sesuatu yang dimaksudkan
(dituju).”
Namun jika
sesuatu yang diiklankan tidak ada kaitannya dengan aktifitas riba yang
dijalankan, maka tentu Ibu tidak termasuk membantu atau sebagai fasilitator
aktifitas riba yang dijalankannya, serta tidak mendapatkan dampak hukum dari
keharamannya. Oleh sebab itu, ibu tidak semestinya berasumsi atau menerka-nerka
bahwa harta orang tersebut didapatkan dari sumber riba kecuali jika ada bukti
yang jelas. Sebab boleh jadi orang tersebut mendapatkan penghasilan dari sumber
lain yang halal. Menerka-nerka persoalan hukum yang tidak jelas buktinya termasuk
su’uzh-zhan (berburuk sangka) yang dapat melahirkan sikap saling
tidak percaya, saling mencurigai, menyakiti perasaan orang lain, dan bahkan
dapat menyulitkan diri sendiri. Hal ini tentu tidak sesuai dengan semangat
al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Ma’idah 5: 101 sebagai berikut:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ ...
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah
kamu (banyak) bertanya tentang segala sesuatu, (yang mengakibatkan) jika hal
tersebut dijelaskan kepadamu niscaya akan menyulitkan kamu sekalian…” [QS. al-Ma’idah
(5): 101]
Di sisi lain, sesungguhnya
Islam telah memberikan solusi untuk menyucikan harta seorang muslim dari
kemungkinan adanya unsur-unsur keharaman yang tidak diketahui dan disadarinya dengan
cara berzakat. Dengan demikian, hendaknya Ibu mensucikan penghasilan dengan
cara berzakat dan banyak berinfak atau sadaqah. Namun jika Ibu masih tetap
merasa tidak nyaman dan ingin berhati-hati (ikhtiyath), karena kuatir
penghasilan yang ibu dapatkan terkontaminasi (terkotori) oleh sumber-sumber
yang syubhat (tidak jelas kehalalan dan keharamannya), serta menolak
memasang iklan yang diberikan oleh seorang rentenir, maka sebaiknya ibu mencari
solusi terbaik sehingga tidak menyinggung perasaan orang lain, dan dalam rangka
menjaga hubungan yang harmonis dengan pihak lain.
2.
Bolehkah saya
mengiklankan dalam buku saya iklan tentang ziarah ke Yerusalem untuk kunjungan
umat kristiani (pemilik usaha ini beragama Kristen)
Tidak dapat
dipungkiri bahwa Yerusalem (Palestina) diyakini sebagai kota suci bagi tiga
penganut agama besar di dunia (Islam, Yahudi dan Nasrani). Karena secara
historis, kota ini memiliki kaitan sejarah dengan para nabi yang membawa ketiga
agama besar tersebut. Sekalipun dalam perjalanannya telah terjadi penyimpangan dalam
ajaran Yahudi dan Nasrani dari ajaran tauhid yang dibawa oleh para Nabinya.
Namun di sisi lain,
Islam tidak menutup pintu untuk berinteraksi dan melakukan transaksi mu’amalah
dengan orang Yahudi, Nasrani maupun penganut ajaran agama lainnya, asalkan
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Sebagaimana
halnya dengan Rasulullah saw yang melakukan transaksi jual beli, sewa menyewa
dan lain sebagainya dengan orang Yahudi dan Nasrani pada saat itu.
Ziarah ke
Yerusalem (Palestina) atau ke tempat lainnya dalam rangka siyahah
(rekreasi) termasuk persoalan muamalah dan hukumnya boleh (mubah). Adapun
segala perbuatan atau aktifitas yang dilakukan seseorang pada saat melakukan
rekreasi ditanggung oleh orang yang melakukannya. Jika selama berada di
Yerusalem, mereka (orang Nasrani) melakukan kesyirikan-kesyirikan, maka mereka
sendiri yang menanggung akibat hukumnya. Sebab kita tidak bisa menjamin bahwa
segala hal yang dilakukan oleh seseorang itu sesuai dengan yang kita inginkan.
Contoh lain; jika kita menyediakan jasa travel pariwisata, maka hukumnya mubah
(boleh). Dan jika ternyata di tempat wisata tersebut mereka melakukan perbuatan
dosa dan kesyirikan, maka dosanya ditanggung oleh mereka yang melakukannya,
serta tidak mengubah hukum kebolehan jasa travel yang kita sediakan.
Oleh sebab itu,
dalam persoalan muamalah berlaku kaidah fikih yang berbunyi:
أَلْأَصْلُ
فِى الْأَشْيَاءِ (الْمُعَامَلاَتِ) الإِبَاحَةُ حَتّى يَدُلَّ الدَّ لِيْلُ عَلَى
تَحْرِيْمِهَا.
Artinya: “Pada dasarnya (hukum)
segala sesuatu (muamalah) itu adalah mubah, kecuali ada bukti yang menunjukkan
keharamannya.”
Namun yang patut
menjadi catatan penting bagi umat Islam adalah terkait dengan eksistensi negara
Yahudi (Israel) saat
ini. Bagi umat Islam, Israel merupakan negara penjajah yang banyak mencaplok
tanah dan hak-hak negara
(rakyat) Palestina. Bahkan
untuk menjaga hegemoninya, Israel tidak segan-segan melakukan berbagai usaha
keji dan tidak berperikemanusiaan, seperti membunuh secara kejam rakyak
Palestina bahkan anak-anak sekalipun. Sehingga secara politis, berkunjung atau
memfasilitasi kunjungan ke negara tersebut dapat saja diartikan sebagai bentuk
dukungan moril dan finansial, karena dapat memberikan devisa bagi negara
penjajah tersebut. Oleh sebab itu, sepatutnya bagi umat Islam untuk tidak memberikan
bantuan (keuntungan) kepada negara penjajah baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Perlu diketahui pula, bahwa sampai saat ini negara kita, Indonesia
tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel, karena perilaku negara itu
bertentangan dengan Undang-undang Dasar negara kita.
3. Bagaimana cara yang benar menghitung zakat
perniagaan untuk usaha penerbitan buku?
Sebelum
menjawab pertanyaan tentang cara yang benar menghitung zakat perniagaan, dan
beberapa persoalan terkait, di sini perlu ditegaskan bahwa; pendapat yang
menyatakan zakat perniagaan (tijarah) dalam Islam itu tidak ada,
merupakan pendapat yang salah dan sangat keliru. Di dalam al-Qur’an secara
tegas dijelaskan tentang harta yang wajib dizakati, antara lain: QS.
al-Baqarah (2): 267:
يَآ أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ
اْلأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآَخِذِيهِ
إِلاَّ أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” [QS.
al-Baqarah (2): 267]
Kalimat yang
berbunyi; ”Min Thayyibaat Maa Kasabtum”, (dari semua usaha yang baik), pengertiannya meliputi
seluruh penghasilan yang bersumber dari usaha yang halal seperti pertanian, perdagangan,
maupun perniagaan halal lainnya seperti percetakan buku maupun penerbitan koran/majalah
dan sebagainya. Dengan demikian, jenis zakat dari usaha yang Ibu jalankan
termasuk ke dalam zakat tijarah (zakat perniagaan atau perdagangan).
Adapun teknis perhitungan dan pembayarannya pernah dibahas dalam
jawaban-jawaban fatwa sebelumnya sekalipun bebeda dari aspek objek
perniagaannya.
Dalam zakat
perdagangan tidak ditentukan jenis barang dagangannya. Yang ditentukan adalah
jumlah harga barang dagangan beserta keuntungannya telah mencapai nishab
(seharga 85 gram emas murni) dan haul (satu tahun). Oleh karena itu
dalam menghitung harga barang dagangan beserta keuntungannya tidak harus dengan
menghitung satu per satu jenis barang, melainkan dengan menghitung dalam satu tahun seluruh modal yang berupa
barang dagangan itu, ditambah seluruh keuntungan baik berupa uang tunai maupun
berupa piutang seperti tabungan, deposito dan lain-lain. Dari hasil perhitungan
di atas (perhitungan bersih/netto: setelah melunasi biaya operasional dan
hutang-piutang), jika telah mencapai nishab maka harus dikelurkan zakatnya
yakni sebesar 2,5 % dari jumlah seluruh keuntungan dan harta dagangan (modal)
tersebut. Jadi yang dihitung untuk dikeluarkan zakatnya bukan hanya dari
keuntungannya saja. Dalam cara menghitung ini Islam tidak menentukan secara
detail. Namun Islam menuntunkan agar orang mencari dan menggunakan cara (jalan)
yang mudah selagi yang mudah ini tidak melanggar ketentuan Islam, yakni tidak
terjadi manipulasi sehingga akan merugikan. Dalam al-Qur’an disebutkan:
...يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ...
Artinya: “… Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu ...” [QS. al-Baqarah (2): 185]
...وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ...
Artinya: “… Dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan ...” [QS. al-Hajj (22): 78]
Dalam hadis dijelaskan:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا [رواه
البخاري ومسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra., dari Nabi saw,
beliau bersabda: Mudahkanlah dan jangan
mempersulit, gembirakanlah dan jangan
membuat orang takut.” [HR. al-Bukhari dan
Muslim]
Jika dengan menghitung per hari,
per bulan dalam satu tahun dipandang paling mudah, sehingga akan dapat
menghasilkan perhitungan yang tepat/akurat sesuai dengan ketentuan nisab dan
haul di atas, menurut hemat kami dapat dilakukan. Memang dengan melakukan
perhitungan per hari, per bulan dalam satu tahun itu akan lebih dapat
menghindari kekeliruan dan kelupaan. Sebab sesuatu yang sudah berlalu dalam
tempo yang relatif lama, akan menjadikan orang pada umumnya mudah lupa. Dan
kelupaan ini sangat berpotensi untuk berakibat terjadinya kekeliruan.
Namun jika dengan perhitungan per hari per bulan
dalam satu tahun mengakibatkan hasil perhitungan yang tidak tepat/yang tidak
akurat, maka sekalipun dipandang mudah, tentu yang dipertahankan adalah mencari
kebenaran bukan semata-mata kemudahan. Apalagi saat ini dunia perniagaan telah
didukung dengan program-program komputerisasi yang canggih yang dapat menyimpan
data secara akurat dan menghindarkan orang dari kelupaan.
4. Judul buku yang saya terbitkan adalah
buku ketrampilan, di antaranya adalah tentang rias pengantin. Selain tentang
seni merias, dalam buku itu juga diuraikan tentang upacara adat termasuk
tentang “sesajen dan hal-hal yang bid’ah”. Bagaimana hukumnya pekerjaan saya
ini? Halal atau haram?
Sebagai seorang
muslim, segala aktifitas hidup dan usaha yang kita jalankan tidak boleh lepas dan
bertentangan dengan hukum agama. Sebab semua yang kita lakukan pasti akan
diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah swt. Pada dasarnya menerbitkan buku ketrampilan atau sejenisnya hukumnya mubah
asalkan tetap mengacu pada norma-norma dan hukum-hukum agama Islam. Buku yang
diterbitkan tidak mengandung kemusyrikan, kemaksiatan, pornografi, serta tidak
memfasilitasi atau mengiklankan segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran
agama dengan berbagai bentuknya.
Dalam melakukan aktifitas bisnis, orientasi seorang muslim
tidak hanya sekedar mencari keuntungan finansial, namun juga keuntungan
ukhrawi/akhirat. Oleh sebab itu, usaha mubah yang yang kita lakukan dapat
bernilai ibadah (ibadah ’am) apabila dapat memberikan kemudahan dan
nilai manfaat bagi orang lain, dan diniatkan sebagai salah satu amal shalih
kita.
Dalam
tradisi pernikahan, terkadang ditemukan simbol-simbol tradisis lokal, seperti
memasang janur kuning sebagai lambang sedang terjadinya resepsi pernikahan, dan
beberapa bentuk tradisi tertentu yang tidak diyakini sebagai suatu keharusan
yang tidak boleh ditinggalkan, serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
ajaran Islam, maka tradisi semacam ini tidak masuk kategori sesajen atau
perbuatan syirik. Namun jika yang dimaksudkan dengan sesajen adalah sesuatu
yang dipersembahkan yang diyakini dapat mendatangkan kekuatan, kesuksesan, dan jika tidak dilakukan dapat
mendatangkan malapetaka dan kesialan, bahkan dilakukan dengan ritual tertentu, maka
tentu hal semacam ini termasuk kategori kesyirikan. Oleh sebagian masyarakat
hal seperti itu justru dianggap sebagai tradisi yang wajar. Padahal kesyirikan
merupakan kezaliman, salah satu dari tujuh hal yang membinasakan, dapat menghapuskan
pahala amal salih seseorang, dan dosa terbesar seorang hamba kepada Allah swt,
sebagaimana dijelaskan dalam hadis terdahulu dan ayat-ayat berikut ini:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ
بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ .
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika
Lukman berkata kepada anaknya dan dia menasehatinya; wahai anakku janganlah
kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman yang
sangat besar.” [QS. Lukman (31): 13]
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ
لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan
Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar” [QS. an-Nisa’
(4): 48]
Jika
kesyirikan termasuk dosa besar, maka membantu atau memfasilitasi seseorang
untuk melakukan kesyirikan juga termasuk berdosa. Oleh sebab itu, menurut hemat
kami jika Ibu telah mengetahui bahwa hal-hal yang diiklankan tersebut termasuk
kategori kesyirikan karena telah memenuhi kriteria tersebut di atas, maka
semestinya Ibu tidak mengiklankan atau mencetak buku yang mengandung
unsur-unsur kesyirikan tersebut.
Wallahu a’lam bissawab. *rf)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com