Hukum Larangan Pernikahan di Antara Dua Hari Raya
Pertanyaan Dari:
La Ode Khalifa,
Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Sulawesi Tenggara
(disidangkan pada hari Jum’at, 21
Jumadilawal 1433 H / 13 April 2012)
Pertanyaan:
As-Salamu
‘alaikum wr. wb.
Rencana setelah hari
raya idul fitri akan melangsungkan pernikahan tetapi terhalang dari kebiasaan
di kampung bahwa di antara 2 hari raya tidak bisa ada pernikahan (hari Raya
Idul Fitri dan Idul Adha). Pertanyaannya: Bagaimana menurut Majelis Tarjih atau menurut ajaran agama?
Atas jawabannya
saya ucapkan terima kasih.
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wr.
wb.
Kami mengucapkan
terima kasih kepada saudara La Ode Khalifa atas
pertanyaannya, sayang tidak dijelaskan alasan ketidakbolehan tersebut. Di dalam ajaran Islam larangan nikah itu secara
tegas termaktub di dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ (4) ayat 23. Dalam ayat ini
larangan itu berkaitan dengan hubungan individu dengan individu yang lain,
tidak berkaitan dengan waktu atau keadaan, kecuali memang dilarang oleh agama,
misalnya pada saat ihram umrah atau haji, seseorang tidak boleh menikah atau
menikahkan. Secara rinci wanita-wanita yang haram dinikahi ada dalam tiga hal:
Pertama, diharamkan karena
nasab (keturunan), dinyatakan oleh ayat:
“Diharamkan atas
kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan....”
[QS. an-Nisa’ (4): 23]
Kedua, diharamkan karena sesusuan, hal ini diisyaratakan oleh firman Allah:
“Ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.”
[QS. an-Nisa’ (4): 23]
Ketiga, diharamkan karena mushaharah (bersemenda) yang terjadi oleh sebab pernikahan.
Dijelaskan oleh ayat:
“... Ibu-ibu
isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau.”
[QS. an-Nisa’ (4): 23]
Kembali kepada
persoalan ketidakbolehan mengadakan pernikahan antara dua hari raya yaitu Idul
Fitri dan Idul Adha, bahwa ketidakbolehan itu berkaitan dengan kebiasaan di
kampung sebagaimana pernyataan saudara penanya, sehingga masalah tersebut dapat
dimasukkan ke dalam kategori urf atau adat.
Banyak pengertian tentang
urf atau adat yang ditemukan dari berbagai sumber, walaupun dari beberapa
definisi tersebut memiliki arti implisit yang sama. Beberapa akan kami sebutkan
agar menjadi perbandingan, yaitu urf adalah mengenal atas segala sesuatu yang
dipandang baik dan hal yang sudah melekat dalam diri manusia, dan dibenarkan
oleh akal dan kebiasaan. Sementara dalam sumber lain disebutkan
bahwa arti dari urf adalah kebajikan dan perbuatan/ucapan yang telah menjadi
kebiasaan dan dilakukan berulang-ulang di tengah masyarakat. Wahbah az-Zuhaily
mengartikan urf sebagai suatu pekerjaan/perkataan yang populer dilakukan di
tengah-tengah mereka (masyarakat). Sementara Abu
Zahrah mengatakan bahwa urf juga memiliki definisi sebagai sesuatu yang menjadi
pijakan di dalam kehidupan masyarakat.
Di dalam ushul fiqh, melihat urf
dari segi keabsahannya, ada yang dinamakan:
1. Urf Shahih, yaitu urf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, tidak
bertentangan dengan nash, tidak menghilangkan kemaslahatan, dan juga tidak
membawa kemudlaratan. Dalam kitab lain disebutkan ialah urf yang tidak
menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal. Misalnya pemberian
kado/hadiah kepada penganten pada malam resepsi perkawinannya dan seorang calon
suami sewaktu meminang dengan memberikan sesuatu kepada calon istrinya, dan
pemberian itu tidak dianggap sebagai maskawin.
2. Urf Fasid, yaitu urf yang berlaku dan dilakukan oleh masyarakat namun hal itu
bertentangan dengan syara’, membawa kemudlaratan, dan menghilangkan kemanfaatan.
Atau di dalam ibarat lain disebutkan yaitu urf yang menghalalkan sesuatu yang
haram dan mengharamkan sesuatu yang halal. Misalnya kebiasaan minum minuman
keras pada saat pesta perkawinan dan melakukan praktik riba dalam perdagangan
dan utang piutang.
Zakariya al-Barri
dalam kitabnya Mashadiru al-Ahkam al-Islamiyyah menulis bahwa
keberlakuan ‘urf dalam
kehidupan manusia merupakan sebagai dalil bahwa ia mendatangkan kemaslahatan
bagi mereka atau melenyapkan kesulitan. Mashlahah merupakan dalil syar’i, demikian juga melenyapkan kesulitan adalah
tujuan syar’i. Ajaran
Islam datang dengan mengakomodir kemashlahatan yang telah menjadi ‘urf bangsa Arab
pra Islam seperti dalam masalah kafa’ah dalam
perkawinan.
Seorang Faqih,
menurut Abdul Wahab Khalaf, tidak boleh menetapkan hukum atau berfatwa dengan
mendasarkan pada ‘urf yang bertentangan dengan ajaran-ajaran
pokok dalam agama. Kecuali pemberlakuan ‘urf itu merupakan sesuatu yang dlarurah, tidak
boleh berdasarkan pada suatu kebodohan dan keinginan hawa nafsu semata
Hukum yang didasari oleh suatu keadaan yang dlarurah diberlakukanlah
dispensasi; yang dikenal dengan rukhshah. Hal ini harus berdasarkan ijtihad dari faqih.
Dengan demikian ‘urf shahih diterima dan
menjadi bagian dari hukum Islam itu sendiri. Eksistensinya diakui dengan penerimaan
secara eksplisit oleh nash. Sedangkan ‘urf fasid para ulama sepakat menolaknya. Karena
kebiasaan yang bertentangan dengan syari’at Islam, budaya yang luhur, sopan
santun dan undang-undang negara harus ditinggalkan meskipun kebiasaan atau
tradisi itu diterima oleh orang banyak.
Berpijak dari
pengertian urf dan segi keabsahannya, maka
landasan pokok bagi masyarakat Islam adalah tauhid. Oleh karena
itu melindungi kepercayaan dan tauhid adalah pertama-tama
yang dilakukan oleh Islam dalam perundang-undangan maupun da’wahnya. Nilai sunatullah
dalam alam semesta pertama kali yg ditanamkan Islam dalam jiwa pemeluknya yaitu
bahwa alam semesta yg didiami manusia di permukaan bumi dan di bawah kolong
langit tidak berjalan tanpa aturan dan tanpa bimbingan, dan tidak juga berjalan
mengikuti kehendak hawa nafsu seseorang. Sebab hawa nafsu manusia karena
kebutaan dan
kesesatannya selalu bertentangan. Firman Allah SWT dalam
surah al-Mu’minun (23): 71 yg artinya “Andaikata kebenaran
itu mengikuti hawa nafsu mereka niscaya akan rusaklah langit dan bumi serta
seluruh makhluk yg ada di dalamnya.” Namun perlu dimaklumi bahwa alam ini
dikendalikan dengan undang-undang dan hukum yang tetap tidak pernah berubah dan
berganti sebagaimana telah dinyatakan oleh al-Qur’an dalam beberapa ayat antara
lain sebagai berikut: “Kamu sekali-kali tiada akan menjumpai perubahan pada
sunnah Allah.” [al-Ahzab (33): 62]. Kaum muslimin telah belajar dari kitabullah
dan sunnah Rasul supaya menjunjung tinggi sunnatullah yg berbentuk alam semesta
ini dan mencari musabab yang diperoleh dari sebab-sebab yang telah diikatnya
oleh Allah serta supaya mereka menolak apa yang dikatakan sebab yang sekedar
dugaan semata.
Tidak ada yang
memberi manfaat dan tidak ada yang memberi mudlarat
kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Jika Allah
menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan
kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan
Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
[QS. Yunus (10): 107]
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوِ اجْتَمَعَتِ اْلأُمَّةُ عَلَى أَنْ يَّنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَّضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ.
Artinya: “Seandainya umat berkumpul untuk memberikan
kemanfaatan bagimu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat memberikan
kemanfaatan bagimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu.
Dan sebaliknya, jika mereka semuanya berkumpul untuk memudaratkanmu dengan
sesuatu niscaya mereka tidak dapat menimpakan kemudaratan tersebut kecuali
dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Telah diangkat pena dan telah
kering lembaran-lembaran (catatan takdir).”
[HR. at-Tirmizi]
Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ.
[رواه البخارى
ومسلم]
Artinya: “Tidak ada penularan penyakit (dengan
sendirinya), tidak ada thiyarah (menganggap sial dengan sesuatu), tidak ada
kesialan dengan keberadaan burung hantu dan tidak ada pula kesialan bulan
Shafar.”
[HR.
al-Bukhari dan Muslim]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meniadakan kebenaran anggapan masyarakat dan membatalkannya. Beliau kabarkan bahwa bulan Shafar itu sama dengan bulan yang
lain, tidak ada pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan dan menolak kemudlaratan.
Demikian pula hari-hari, malam-malam dan waktu-waktu lain, tidak ada bedanya.
Berdasarkan
pertanyaan saudara La Ode Khalifa berkenaan dengan halangan melangsungkan
pernikahan di antara dua hari raya itu merupakan halangan permanen atau
sementara? Jika permanen (maksudnya sudah menjadi aturan masyarakat), tim Fatwa
belum pernah menemukan aturannya. Sehingga jika demikian dapat digolongkan
sebagai urf fasid, kecuali apabila ada alasan yang dibenarkan tentang ketidakbolehan
melaksanakan pernikahan di antara dua hari raya di wilayah saudara itu.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
*fz)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com