HARUSKAH
KHATIB JUMAT SEKALIGUS IMAM SALAT JUMAT
Pertanyaan
dari:
Ketua
PWM Sumbar, disampaikan secara lisan (langsung)
saat
launching (peluncuran) Imsakiah Ramadan 1432 H
di
Padang, hari Sabtu, 16 Juli 2011
(Disidangkan
pada Jum’at, 19 Ramadan 1432 H / 19 Agustus 2011 M)
Pertanyaan:
Kefasihan dan bagusnya bacaan imam salat, khususnya salat Jumat,
merupakan daya tarik tersendiri bagi jamaah dan merupakan syiar bagi masjid
bersangkutan apalagi kalau masjid itu adalah masjid besar. Dalam pemahaman yang
umum berkembang di kalangan kami, imam haruslah khatib yang berkhutbah pada
hari itu. Artinya khatib dan imam bukan orang yang berbeda. Akan tetapi masalahnya
adalah bahwa khatib yang bagus khutbahnya tidak selalu baik bacaannya karena
dia bukan seorang qari yang bagus. Pertanyaannya dalam kasus salat Jumat apakah
memang harus imam itu adalah orang yang berkhutbah? Apakah tidak boleh imam dan
khatib itu orang yang berbeda?
Jawaban:
Terima kasih kepada bapak Ketua yang mengajukan pertanyaan di atas.
Masalah ini banyak ditanyakan dan telah beberapa kali dijawab oleh Majelis Tarjih
dan jawabannya dimuat dalam Tanya-Jawab Agama, jilid 3 (terbit tahun
1995) dan jilid 6 (terbit tahun 2010). Pertanyaan ini terkait dengan kebiasaan
yang banyak berlaku di Indonesia di mana kebanyakan masjid tidak mengangkat
imam tetap untuk salat Jumat, sehingga imamnya adalah khatib yang berkhutbah
pada hari Jumat bersangkutan.
Dalam menjawab pertanyaan tersebut ada perkembangan ijtihad fikih
Majelis Tarjih. Dalam buku Tanya-Jawab Agama jilid 3 (h. 91-92)
dijelaskan bahwa “praktik yang dilakukan oleh Rasulullah saw adalah bahwa
beliau menjadi khatib dan sekaligus menjadi imam dalam salat Jumat.” Selain itu
hadis di bawah ini juga menunjukkan bahwa orang yang bertindak sebagai khatib
sekaligus bertindak sebagai imam. Hadis dimaksud adalah sabda Rasulullah saw
yang diriwayatkan dari Jabir r.a.,
إِذَا
جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ
رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا [رواه مسلم وأحمد]
Artinya: Apabila seseorang
kamu masuk ke mesjid ketika imam sedang berkhutbah, maka hendaklah ia salat dua
rakaat (salat tahiyatul masjid), dan hendaklah mempercepatnya [HR Muslim dan Ahmad].
Dalam hadis di atas terdapat kata “ketika imam sedang berkhutbah.”
Jadi hadis ini menyatakan bahwa yang berkhutbah itu adalah imam. Dengan kata
lain khatib dan imam adalah orang sama. Demikian dijelaskan dalam buku Tanya-Jawab
Agama jilid 3.
Kemudian dalam fatwa tahun 2003 (yang dibukukan dalam jilid 6 dari
buku Tanya-Jawab Agama yang terbit tahun 2010) terjadi perubahan fatwa
di mana Majelis Tarjih dan Tajdid menegaskan bahwa tidak harus imam itu
adalah orang yang berkhutbah, bisa saja orang lain yang bacaan dan pengetahuan
al-Qurannya lebih baik. Dalam fatwa tahun 2003 itu ditegaskan bahwa dari hadis
Jabir di atas dan hadis-hadis lain serupa tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa
imam harus merangkap khatib Jumat. Memang sebaiknya khatib merangkap menjadi
imam apabila memenuhi syarat menjadi imam. Namun hal itu bukan keharusan. Bila
dipandang perlu khatib tidak merangkap sebagai imam. Dikatakan pula, “Bahwa
Nabi saw selalu menjadi khatib dan imam adalah sunnah fi’liah
yang tidak menimbulkan keharusan untuk melakukan atau mengikutinya” (6: 87).
Orang yang menganggap bahwa imam harus khatib yang berkhutbah
mendasarkan pendapatnya kepada zahir hadis di atas yang di dalamnya ada
pernyataan “ketika imam berkhutbah.” Sedangkan ketidakbolehan orang lain yang
bukan khatib untuk menjadi imam didasarkan kepada mafhum mukhalafah (argumentum
a contrario) dari pernyataan tersebut, yaitu orang yang tidak berkhutbah
tidak menjadi imam. Dalam fatwa tahun 2003 (SM No. 8/2003) penggunaan mafhum
mukhalafah dari hadis Jabir untuk mengingkari kebolehan orang yang bukan khatib
untuk menjadi imam telah ditolak. Alasannya adalah bahwa keterangan kualifikasi
atau qaid “berkhutbah” dalam hadis Jabir tidak merupakan penjelasan
alasan hukum, melainkan hanya sebagai penjelasan hal saja atau untuk takzim
belaka. Untuk mudahnya dapat dikatakan bahwa “berkhutbah” bukanlah alasan
(ilat) hukum agar orang boleh menjadi imam salat Jumat. Oleh karena itu bisa
saja imam adalah orang lain yang bukan khatib.
Pada fatwa yang sekarang ini kami menegaskan dan memperkuat fatwa
kedua (tahun 2003 yang dimuat dalam jilid 6: 85-88) bahwa imam salat Jumat
tidak harus orang yang berkhutbah, melainkan bisa saja khatib dan imam itu
adalah orang yang berbeda dengan tambahan alasan, yaitu bahwa hadis Jabir di
atas bukanlah nas tentang khatib harus sekaligus merangkap imam. Hadis
di atas adalah nas tentang bahwa orang yang masuk masjid hendaklah melakukan
salat tahiyatul masjid meskipun imam sedang berkhutbah. Bahwa hadis itu
menyiratkan bahwa yang menjadi imam adalah orang yang menjadi khatib adalah
makna zahir saja, bukan makna nas dari hadis bersangkutan.
Dalam usul fikih yang dimaksud makna zahir adalah suatu makna
sekunder yang terpantul ke dalam pikiran pembaca dari pernyataan itu sendiri,
tetapi makna tersebut tidak menjadi tujuan pokok dari pernyataan (teks) bersangkutan.
Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan zahir sebagai “suatu pernyataan yang
menunjukkan makna melalui ungkapan itu sendiri, namun makna itu bukan makna
orisinal dan tujuan pokok dari pernyataan bersangkutan” (Az-Zuhaili, al-Wajiz
fi Ushul al-Fiqh, h. 175). Dalam hadis Jabir di atas makna bahwa imam
adalah orang yang menjadi khatib memang tertuang dalam ungkapan hadis itu
sendiri yang menyebutkan “ketika imam sedang berkhutbah.” Namun makna tersebut
bukan maksud pokok dan orisinal dari hadis itu, melainkan hanyalah makna
sekunder belaka. Maksud pokok hadis Jabir di atas adalah untuk menegaskan sangat
disunatkannya salat tahiyatul masjid bagi setiap orang yang masuk masjid
walaupun saat itu imam sedang berkhutbah yang khutbahnya harus didengarkan.
Oleh karena itu salat tahiyatul masjidnya hendaklah dicepatkan agar bisa
mendengarkan khutbah imam.
Sedangkan nas adalah suatu pernyataan yang menunjukkan makna yang
menjadi maksud pokok yang hendak disampaikan pernyataan itu. Dalam kasus hadis
di atas nasnya adalah menerangkan masalah salat tahiyatul masjid. Dalam kaidah
usul fikih, apabila makna zahir itu tidak selaras dengan makna nas, maka didahulukan
makna nas. As-Sarakhsi (w. 483/1090) menegaskan bahwa nas lebih diutamakan dari
zahir (As-Sarakhsi, al-Muharrar fi Ushul al-Fiqh, I: 123).
Dalam kaitan ini, makna nas yang menunjukkan siapa yang harus
menjadi imam disebutkan dalam hadis riwayat Muslim dari Abu Mas’ud al-Anshari
(w. 42/662),
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمّ: يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ
فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ
كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِى
الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا ... [رواه مسلم]
Artinya: Dari Abu Mas’ud al-Anshari (diriwayatkan bahwa) ia berkata:
Rasulullah saw telah bersabda: Suatu jamaah diimami oleh orang yang paling baik
bacaannya (paling qari) tentang Kitab Allah (al-Quran). Jika mereka sama dalam
hal qiraat (bacaan), maka orang yang paling memahami sunnah. Jika mereka sama
dalam memahami sunnah, maka orang yang paling dahulu berhijrah. Jika mereka
sama dalam hijrah, maka orang yang paling dulu masuk Islam … … … [HR
Muslim].
Hadis ini adalah nas tentang siapa yang harus menjadi imam,
yaitu orang yang paling baik bacaannya. Artinya makna yang menjadi tujuan pokok
yang hendak disampaikan dalam hadis ini adalah siapa yang harus dijadikan imam
dalam salat, dalam hal ini adalah orang yang paling baik qiraatnya. Termasuk
baik qiraatnya (bacannya) adalah baik penguasaannya dan baik bacaannya itu
sendiri. Dalam kaidah usul fikih seperti dikemukakan terdahulu makna nas
didahulukan atas makna zahir. Artinya adalah bahwa hadis ini, yang nasnya
mengharuskan imam itu adalah orang yang baik bacaannya, didahulukan atas hadis
Jabir yang zahirnya menyatakan imam itu adalah khatib yang berkhutbah.
Perlu dicatat bahwa sejumlah pensyarah yang sempat ditelaah tidak
pernah mengaitkan hadis pertama (hadis Jabir) dengan keharusan imam itu adalah
orang yang berkhutbah. An-Nawawi (w. 676/1277) yang mensyarah hadis Jabir dalam
Syarh Shahih Muslim (III: 256) menyebutkan beberapa kandungan hadis
Jabir di atas, tetapi tidak menyebutkan bahwa hadis itu berisi juga penegasan
bahwa imam adalah khatib yang berkhutbah. Dengan demikian, seperti ditegaskan
dalam fatwa tahun 2003 (SM No. 8/2003 dan No. 22/2003), imam salat Jumat
tidaklah harus orang yang berkhutbah, terutama bilamana qiraatnya kurang baik
dan tidak fasih. Dapat saja ditunjuk orang lain yang lebih baik qiraat dan lebih fasih
bacaannya untuk menjadi imam. Memang ada perbedaan pendapat ulama apakah yang
menjadi imam itu diutamakan orang yang lebih qari atau yang lebih fakih. Yang
jelas hadis Abu Mas’ud di atas tegas menyebutkan bahwa imam adalah orang yang
lebih qari. Muslim dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan,
Hadis ini merupakan dalil
bagi orang yang mengatakan bahwa untuk menjadi imam lebih didahulukan orang
yang lebih qari daripada orang yang lebih fakih. Ini adalah pendapat Abu
Hanifah, Ahmad dan sejumlah pengikut mazhab kami. Malik, asy-Syafi’i dan pengikutnya
menyatakan bahwa orang lebih fakih lebih didahulukan atas orang yang lebih qari
… … … Akan tetapi frasa “Jika mereka sama dalam hal qiraat, maka imam itu
adalah orang yang lebih memahami sunnah” merupakan dalil lebih didahulukannya
orang yang lebih qari (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, II: 476).
Imam yang fasih dan bagus qiraatnya dapat memberikan sentuhan kalbu
yang dalam kepada jamaah dan dapat menimbulkan kekhusyukan salat. Selain itu
dari segi syiar masjid, qiraat imam yang bagus pada masjid itu akan menjadi
daya tarik bagi masyarakat untuk mengunjungi dan salat di masjid tersebut. *sy)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com