Hajatan, Shalat Sunat Jum'at, Rokok dan Qunut

KEGIATAN SETELAH MENGUBUR MAYAT, TAHIYAT AWAL SHALAT SUNAT 4 RAKAAT, HUKUM MEROKOK, DAN QUNUT NAZILAH

Penanya:
Ferry al-Firdaus,
Dayeuhmanggung Rt. 01 / RW 05 Kec. Cilawu Garut (Tahun 2005)

Pertanyaan:
Mohon penjelasan menurut al-Qur’an dan al-Hadits tentang:
1.      Kegiatan setelah mengubur mayat (hajat).
2.      Shalat sunat ba‘da Jum‘at empat rakaat pakai tahiyat awal atau tidak, juga shalat qiyamul-lail.
3.      Hukum merokok.
4.      Qunut Nazilah.

Jawaban:
1.      Kegiatan setelah mengubur mayat (hajat).
Bila jenazah telah selesai dikuburkan dan tanahnya telah dirapikan, berilah tanda, seperti dengan batu atau benda lain yang tahan lama agar di kemudian hari orang mengetahui siapa yang berkubur di tempat itu, berdasarkan hadits:

عَنْ مُطَّلِبِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ لَمَّا مَاتَ عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ أُخْرِجَ بِجَنَازَتِهِ فَدُفِنَ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً أَنْ يَأْتِيَهُ بِحَجَرٍ فَلَمْ يَسْتَطِعْ حَمْلَهُ فَقَامَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَسَرَ عَنْ ذِرَاعَيْهِ قَالَ كَثِيرٌ قَالَ الْمُطَّلِبُ قَالَ الَّذِي يُخْبِرُنِي ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ ذِرَاعَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ حَسَرَ عَنْهُمَا ثُمَّ حَمَلَهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَأْسِهِ وَقَالَ أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي. [رواه أبو داود].

Artinya: “Diriwayatkan dari Muthallib bin Abdullah ia berkata: Tatkala Utsman bin Mazh‘un wafat, jenazahnya dibawa keluar dan dikuburkan, Nabi saw memerintahkan kepada seorang laki-laki supaya mengambil batu, tetapi orang itu tidak kuat mengangkatnya, lalu Rasulullah saw mendekatinya dan menyingsingkan kedua lengannya. Berkata al-Muthallib: Berkata seorang yang mengkhabarkan kepadaku seolah-olah aku melihat putih lengan Rasulullah ketika disingsingkannya. Kemudian Rasulullah saw mengangkat batu itu dan meletakkan diarahkan kepalanya, lalu berkata: Aku memberi tanda kubur saudaraku ini dan aku akan mengubur keluargaku yang meninggal di tempat itu.” [HR. Abu Dawud].

Kemudian dianjurkan berdoa, berdasarkan hadits:

عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَاسْأَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ اْلآنَ يُسْأَلُ. [رواه أبو داود وصححه الحاكم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Utsman ra., ia berkata: Adalah Rasulullah saw apabila selesai menguburkan mayat beliau berdiri atasnya dan berkata: Mintakanlah ampun bagi saudaramu dan mintakanlah ketetapan baginya karena sesungguhnya sekarang ia sedang ditanya.” [HR. Abu Dawud dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim].

Boleh melakukan ziarah kubur asal ziarah itu tidak menimbulkan kemusyrikan dalam hati si penziarah,  berdasarkan hadits:

عَنْ بُرَيْدَةَ بْنِ اْلخُصَيْبِ اْلأَسْلَمِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا. [رواه مسلم وزاد الترمذي ” فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلأَخِرَةَ “].

Artinya: “Diriwayatkan dari Buraidah bin Khushaib al-Aslami ia berkata, bersabda Rasulullah saw: Dahulu aku pernah melarang kamu ziarah kubur maka (sekarang) ziarahlah.” [HR. Muslim, menurut riwayat at-Tirmudzi terdapat tambahan: Maka sesungguhnya ziarah itu mengingatkan kepada hari akhirat].

Dari hadits di atas dapat difahami bahwa pada dasarnya ziarah kubur itu hukumnya mubah (boleh), namun bagi orang yang masih lemah imannya dilarang oleh Rasulullah saw. Setelah iman kaum muslimin kuat maka ziarah itu dibolehkan. Hukum yang seperti itu masih tetap berlaku sampai sekarang bahwa jika bagi seseorang ziarah kubur itu dikhawatirkan dapat merusak imannya, seperti akan timbul kemusyrikan dalam hatinya, maka bagi orang itu haram hukumnya ziarah kubur. Jika ziarah kubur itu tidak akan merusak imannya bahkan dapat memperkuatnya dengan ingat bahwa dia juga akan meninggal dan dikumpulkan Allah di akhirat nanti, maka ziarah itu bagi mereka sangat dianjurkan oleh agama Islam, sesuai dengan maksud hadits di atas.

Bagi yang ziarah kubur dianjurkan membaca doa, sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَيْفَ أَقُولُ يَا رَسُولَ اللهِ إِذَا زُرْتُ الْقُبُوْرَ قَالَ قُولِي السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُؤْمِنِينَ يَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُونَ. [أخرجه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ia berkata: Bagaimana aku ucapkan ya Rasulullah apabila aku ziarah kubur? Rasulullah saw berkata: Katakanlah: (yang intinya) salam atas ahli kubur dari orang-orang muslimin dan mukminin, semoga Allah mengasihi orang-orang yang telah dahulu dan yang kemudian dari kita dan kami insya Allah akan mengikutimu.” [Ditakhrijkan oleh Muslim].

Dalam pada itu setiap orang laki-laki dan perempuan hendaklah selalu mendoakan orang tuanya, seperti ayah dan ibu, kakek dan neneknya dan seterusnya ke atas yang telah meninggal dunia, karena doa mereka terhadap orang tua mereka yang telah meninggal itu akan dikabulkan Allah Swt, sebagaimana yang dinyatakan hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: bersabda Rasulullah saw apabila seorang manusia meninggal dunia putuslah amalnya, kecuali tiga hal, dari shadaqah jariyah yang diberikannya sebelum ia meninggal, atau dari ilmu yang bermanfaat, atau dari anak yang shaleh yang mendoakannya.” [HR. Muslim].

Tentu saja doa itu dipanjatkan kepada Allah Swt pada waktu, tempat dan cara yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, seperti setiap selesai shalat fardlu, di Baitullah dan sebagainya.

Selain yang tersebut di atas tidak ditemukan tuntunannya dari Nabi Muhammad saw berdasarkan hadits yang maqbulah.

2.      Shalat sunat ba‘da Jum‘at empat rakaat pakai tahiyat awal atau tidak, demikian juga shalat qiyamul-lail.

Mengenai shalat sunat ba‘da shalat Jum‘at empat rakaat memakai tahiyat awal atau tidak, pernah kami menjawab pertanyaan serupa dan telah dimuat pada kolom Fatwa Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 05 Th. Ke-90 1 – 15 Maret 2005 halaman 29, yang intinya bahwa empat rakaat shalat sunat ba‘da shalat Jum‘at dikerjakan tanpa tahiyat awal seperti halnya shalat tarawih. Silahkan saudara membaca edisi tersebut.

Adapun pada shalatul-lail ada tuntunannya berdasarkan hadits:
a.       Shalatul-lail pada malam bulan Ramadlan adalah empat rakaat,empat rakaat, dan tiga rakaat, tanpa tahiyat awal, berdasarkan hadits:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ فَقَالَ يَا عَائِشَةَ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي. [رواه البخاري ومسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah ia berkata: Tidak pernah Rasulullah saw mengerjakanshalat sunat malam Ramadlan lebih dari atau kurang dari sebelas rakaat; beliau shalat empat rakaat, jangan ditanya baik dan lamanya, kemudian shalat empat rakaat, jangan ditanya baik dan lamanya, kemudian tiga rakaat. ‘Aisyah bertanya: Ya Rasulallah, apakah engkau tidur sebelum shalat witir? Rasulullah menjawab: Ya ‘Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, sedang hatiku tidak tidur.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

b.     Shalat malam yang dikerjakan pada bulan-bulan selain bulan Ramadlan (shalat tahajud) dikerjakan dua rakaat dua rakaat, berdasarkan hadits:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلاَةِ اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى. [رواه البخاري ومسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw tentang shalat malam, maka berkata Rasulullah saw: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, maka jika kamu khawatir masuk waktu shubuh, shalatilah satu rakaat untuk mengganjili (jumlah rakaat) sembahyangnya (malam itu).” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

3.      Hukum merokok

Pada asalnya hukum merokok itu adalah mubah, boleh dilakukan karena tidak ada nash (al-Qur’an dan al-Hadits) yang melarangnya. Namun sebahagian ulama memandangnya sebagai perbuatan makruh. Mereka beralasan bahwa merokok itu bukan saja merusak kesehatan diri sendiri, tetapi juga merusak kesehatan orang lain yang ikut menghisap asap rokoknya (perokok pasif). Sesuatu yang dapat menimbulkan kerusakan bagi manusia harus dijauhi, sesuai dengan makna yang terkandung dalam firman Allah Swt:
... وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ ...

Artinya: “… dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” [QS. al-A‘raf (7): 157].

Menurut Ibnul Qayyim, ‘ath-Thayyibaat’ berarti segala sesuatu yang bermanfaat bagi jasmani, rohani, akal dan pikiran, sedang ‘al-Khabaaits’ ialah segala sesuatu yang dapat menimbulkan mafsadat bagi jasmani, rohani, akal dan pikiran.

Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam berpendapat bahwa hukum merokok adalah mubah, sekalipun demikian menjauhinya adalah lebih baik dari melakukannya.

4.      Qunut Nazilah.
Mengenai masalah qunut dan qunut nazilah terdapat pada kitab Keputusan Tarjih Wiradesa, yang memuat Keputusan Muktamar Tarjih yang berlangsung tanggal 9 – 14 Rabi‘ul Awwal 1392 H bertepatan dengan tanggal 23 – 28 April 1972 di Pecenongan Pekalongan. Lihat buku Himpunan Putusan Tarjih, cet. III, halaman 366-369. Wallahu a’lam bish-shawwab. *km)

Catatan: Fatwa terbaru tentang rokok bisa dilihat di Hukum Konsumsi Tembakau (Merokok)

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah