Pertanyaan dari:
Arfan A.
Tilome, NBM. 669.355,
Sekretaris
PDM Kota Gorontalo
(disidangkan pada hari Jum'at, 18
Rabiul Awal 1428 H / 6 April 2007 M)
Pertanyaan:
Apakah Muhammadiyah bersedia bersepakat dengan ormas lain dalam hal
kriteria awal bulan komariyah seperti imkanur rukyah maupun masa
ijtimak?
Jawaban:
Saudara Arfan yang baik, perlu anda ketahui bahwa cara yang
digunakan Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan komariyah tidak tunggal.
Pertama hisab yang digunakan Muhammadiyah adalah hisab hakiki dengan kriteria imkanur
rukyah. Selanjutnya Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki dengan kriteria ijtimak
qabla al-gurub. Artinya, bila ijtimak terjadi sebelum terbenam matahari (sunset)
maka malam itu dan keesokan harinya dianggap tanggal 1 bulan baru hijriyah.
Namun bila ijtimak terjadi setelah terbenam matahari, maka malam itu dan
keesokan harinya belum dianggap bulan baru hijriyah. Dengan kata lain, konsep
ijtimak qabla al-qurub tidak mempertimbangkan posisi hilal di atas ufuk
pada saat matahari terbenam.
Pada tahun 1938/1357 Muhammadiyah mulai menggunakan teori wujudul
hilal. Langkah ini ditempuh sebagai "jalan tengah" antara sistem
hisab ijtimak (qabla al-gurub) dan sistem imkanur rukyah atau
jalan tengah antara hisab murni dan rukyah murni. Karenanya bagi sistem wujudul
hilal metodologi yang dibangun dalam memulai tanggal baru pada Kalender
Hijriyah tidak semata-mata proses terjadinya ijtimak, tetapi juga
mempertimbangkan posisi hilal saat terbenam matahari. Sistem wujudul hilal
sampai kini masih tetap dipertahankan dan dikukuhkan kembali dalam Munas
Tarjih ke-26 di Padang tahun 2003/1424.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid tidak menutup mata terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan sains. Artinya teori wujudul hilal
bukanlah harga mati. Oleh karena itu Muhammadiyah akan selalu mengkaji teori
yang digunakan, jika sekiranya ada teori yang lebih relevan dengan tuntutan
syar'i dan sains, maka Muhammadiyah tidak segan untuk menggunakannya.
Bagi Muhammadiyah, teori imkanur rukyah yang digunakan
Departemen Agama Republik Indonesia sebagai produk ijtihad patut dihargai, tapi
masih sulit diterima karena teori tersebut tidak empiris. Jika teori imkanur
rukyah hanya dibangun dan dirumuskan berdasarkan data-data masa lalu yang
masih dipertentangkan keakuratannya, maka teori tersebut tidak memilki basis
epistemologi yang kuat. Sebagai bukti kongkrit kasus awal Rabiul Awal 1428 H.
Berdasarkan hasil hisab, ijtimak terjadi pada hari Senin, 19 Maret 2007.
Ketinggian hilal (di Yogyakarta) = + 02ยบ 00' 26'' . Dalam kenyataannya, di
seluruh wilayah Indonesia dilaporkan tidak ada yang berhasil melihat hilal. Jika yang terjadi demikian, maka teori wujudul
hilal masih relevan untuk dijadikan pedoman dalam penentuan awal bulan
komariyah.
Namun demikian, langkah-langkah menuju unifikasi perlu diusahakan
terutama kajian ulang terhadap standar imkanur rukyah yang dipedomani
Departemen Agama Republik Indonesia, yang dibangun dengan kejujuran, kesadaran
objektif ilmiah dengan mekanisme kerja yang jelas dan terarah.
Wallahu a'lam. *ssk)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com