Makmum Masbuq dan Duduk Khutbah Id

Pertanyaan dari: Sugiyanto, guru SMP dan aktivis Persyarikatan
(disidangkan pada hari Jum'at, 22 Jumadal Ula 1428 H / 8 Juni 2007 M) 

Pertanyaan:

Saya ingin mendapat penjelasan tentang beberapa hal berikut. Sepanjang yang saya ketahui adalah bahwa apabila dalam shalat jamaah makmumnya satu orang, maka makmum tersebut berdiri di sebelah kanan imam. Kemudian apabila ada orang lain yang hendak ikut berjamaah, maka orang itu menarik makmum tersebut agar mundur ke belakang, kemudian orang tersebut berdiri sejajar dengan makmum yang ditarik mundur tadi. Dalilnya adalah hadis riwayat ath-Thabarani yang menyatakan bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila seseorang kamu hendak masuk ke dalam saf pada hal sudah penuh, maka hendaklah ia menarik seseorang dari saf itu (ke belakang) untuk berdiri bersamanya (di saf belakang).” Akan tetapi ada pendapat bahwa hadis itu tidak sahih, dan cara masuk ke dalam shalat jamaah yang makmumnya satu orang bukan dengan menarik makmum satu orang itu ke belakang, melainkan imam yang maju ke muka. Pertanyaan saya dan mohon penjelasan:

1.      Apa benar hadis ath-Thabrani di atas itu tidak sahih?
2.   Kalau betul tidak sahih, bagaimana cara masuk ke dalam jamaah yang makmumya satu orang, apa makmum itu ditarik mundur, atau imamnya yang maju ke muka?
3.      Apa dalilnya?

            Pertanyaan lain adalah bahwa yang saya ketahui dan amalkan kalau khutbah Id itu satu kali saja dalam arti tidak ada duduk antara dua khutbah seperti shalat Jumat. Ada jamaah yang menganggap cara seperti itu tidak benar, khutbah Id itu harus dua kali diselingi oleh duduk antara dua khutbah, seperti khutbah Jumat. Mohon penjelasan berikut dalilnya. 

Jawaban:
           
Terima kasih diucapkan kepada Bapak Sugianto atas pernyataannya. Jawaban kami meliputi butir-butir sebagai berikut:

Cara Masuk Ke Dalam Jamaah yang Makmumnya Hanya Satu

1.      Tentang hadis ath-Thabarani (dari Ibnu ‘Abbas)
Teks hadis ath-Thabarani yang ditanyakan adalah sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّفِّ وَقَدْ تَمَّ فليجذب إِلَيْهِ رَجُلاً يقيمه إِلَى جَنْبِهِ . لاَ يَرْوِى هَذَا اْلحَدِيْث عَنْ رَسُولِ اللهِ إِلاَّ بِهَذَا اْلإِسْنَادِ تفرد به بِشْر بْنُ إِبْرَاهِيْم [رواه الطبرني] .

Artinya: Dari Ibn ‘Abbas (diwartakan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila seseorang kamu hendak masuk ke dalam saf yang sudah penuh, maka hendaklah ia menarik seseorang (ke belakang) agar berdiri di sampingnya. Hadis ini diriwayatkan dari Rasulullah saw hanya melalui sanad ini. Basyr Ibn Ibrahim menyendiri dalam meriwayatkannya. [HR. ath-Thabarani dalam al-Mu‘jam al-Ausath, VII: 374, hadis no. 7764].

Untuk menentukan kesahihan hadis harus dilakukan dua langkah penelitian, yaitu penelitian sanad dan penelitian matan, karena hadis terdiri dari dua bagian, yaitu sanad dan matan. Hadis yang hanya terdiri dari matan saja dan tidak ada sanadnya, maka itu bukanlah hadis. Begitu pula apabila hanya ada sanad saja tanpa matan, maka itu tidak ada gunanya dan tidak mungkin ada sanad tanpa matan. Biasanya dalam kutipan-kutipan, yang dikutip memang hanya matannya saja, sekedar untuk keringkasan. Sanadnya ada dalam sumber asli dari mana hadis bersangkutan diambil. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan sumber asli hadis adalah semua kitab yang penyusunnya memiliki sanad yang menghubungkannya langsung kepada Nabi saw. Oleh karena itu sumber asli hadis bukan hanya kitab-kitab hadis saja sepeti Shahih Muslim dan sejenisnya, tetapi juga meliputi semua kitab termasuk kitab fikih, tarikh, sirah, tafsir, atau usul fikih yang penyusunnya memiliki sanad yang menghubungkannya kepada Nabi saw. Jadi kitab Tafsir ath-Thabari, Sirah Ibn Hisyam, serta al-Umm dan ar-Risalah karya Imam asy-Syafi‘i, misalnya, adalah sumber asli hadis karena mereka memiliki sanad hingga sampai kepada Nabi saw dan tidak mengutip hadisnya dari kitab hadis lain seperti dari Shahih al-Bukhari atau Shahih Muslim. Justru al-Bukhari dan Muslim datang lebih kemudian dari asy-Syafi‘i dan Ibn Hisyam. Sebaliknya, kitab-kitab hadis seperti Bulughul-Maram, Nailul-Authar, Subulus-Salam bukan sumber asli hadis karena para penyusunnya tidak memiliki sanad yang menhubungkan mereka kepada Nabi saw. Mereka hanya mengutip hadisnya dari sumber-sumber aslinya.

Suatu hadis dikatakan sahih adalah apabila sanad dan matannya terbukti sahih. Apabila sanadnya saja yang sahih, sedang matannya tidak sahih, maka itu bukan hadis sahih. Sebaliknya bilamana hanya matannya saja sahih, tetapi sanadnya tidak sahih, maka ini bukan hadis sahih. Sering kita menemukan ahli hadis mengatakan ‘hadis sahih sanadnya’. Ini artinya adalah sanadnya sahih, tetapi matannya belum tentu sahih, masih perlu diteliti lagi. Lazimnya penelitian hadis itu dimulai dari penelitian sanad, dan bila terbukti sanadnya sahih, maka dilanjutkan dengan penelitian matan. Bila terbukti matannya juga sahih, maka berarti hadis itu adalah hadis sahih. Bila dalam penelitian sanad, terbukti bahwa sanad hadis yang diteliti itu tidak sahih, maka otomatis hadis itu dinyatakan tidak sahih dan kerena itu tidak perlu dilanjutkan dengan penelitian matan.

Kriteria kesahihan suatu hadis adalah (1) sanadnya bersambung, (2) para rawinya adalah adil, (3) para rawi itu dabit, (4) bebas dari cacat tersembunyi (illat), dan (5) bebas dari kejanggalan (syuzuz). Kriteria no. (4) dan (5) sekaligus juga merupakan kriteria kesahihan matan. Kriteria ini bersifat kumulatif, dalam arti bahwa semua syarat harus dipenuhi sekaligus sehingga bilamana satu syarat saja tidak terpenuhi, maka hadisnya dinyatakan daif.

Perlu juga diketahui bahwa yang menjadi hujjah bukan hanya hadis sahih, tetapi juga hadis hasan. Dalam ilmu hadis, dari segi kehujjahannya, hadis dibedakan menjadi dua macam: hadis mardud (ditolak), yaitu semua hadis daif, dan hadis maqbul (diterima), yaitu hadis sahih dan hadis hasan. Dalam putusan Tarjih pada Munas XXV di Jakarta tahun 2000 dirumuskan, “Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbulah.” Sunah maqbulah meliputi hadis sahih dan hadis hasan. Kriteria keduanya adalah sama seperti tersebut di atas. Perbedaan hanya terletak pada kriteria ketiga, di mana untuk hadis hasan kedabitan rawi lebih rendah dari kedabitan rawi hadis sahih.

Mari kita coba meneliti hadis ini, apabila sanadnya sahih, maka kita lanjutkan dengan penelitian matan, dan bila ternyata sanadnya daif, otomatis hadis itu dinyatakan daif dan tidak perlu lagi dilanjutkan ke penelitian matan. Langkah awal dalam penelitian sanad adalah melakukan iktibar (al-i‘tibar), yaitu menghimpun seluruh sanad hadis ini dari berbagai sumber untuk melihat apakah sanadnya garib atau tidak. Dengan kata lain untuk melihat apakah ada banyak jalur periwayatannya atau hanya melalui satu jalur saja.

Setelah melakukan pelacakan intensif dalam berbagai sumber hadis, ternyata bahwa hadis di atas hanya diriwayatkan oleh ath-Thabarani (w. 360/971) saja dalam kitabnya al-Mu‘jam al-Ausath. Tidak ada ahli hadis lain yang meriwayatkannya, sehingga karena itu tidak ditemukan syahid dan mutabaahnya. Artinya hadis ini mempunyai jalur sanad tunggal dan karenanya hadis ini dapat dikatakan sebagai hadis garib. Ini sesuai pula dengan pernyataan ath-Thabrani sendiri dalam kitab tersebut, “Hadis ini diriwayatkan dari Rasulullah saw hanya melalui sanad ini saja. Bisyr Ibn Ibrahim menyendiri dalam meriwayatkannya.”

Selanjutnya mari kita menyelidiki rangkaian sanad hadis di atas untuk melihat apakah kriteria kesahihan hadis terpenuhi pada hadis di atas atau tidak. Untuk itu mari kita meneliti para rawi dalam sanadnya. Sanad hadis ini hingga sampai kepada Nabi saw adalah sebagai berikut: (1) ath-Thabarani, (2) Muhammad Ibn Ya‘qub (guru ath-Thabarani), (3) Hafsh Ibn ‘Amr ar-Rabali, (4) Bisyr Ibn Ibrahim, (5) al-Hajjaj Ibn Hassan, (6) ‘Ikrimah, dan (7)  Ibn ‘Abbas, Sahabat yang diklaim menerima hadis ini dari Nabi saw.

Ath-Thabarani nama lengkapnya adalah Sulaiman Ibn Ahmad Ibn Ayyub Ibn Mathar al-Lakhmi ath-Thabarani, lahir tahun 260/874 dan berusia panjang, yaitu 101 tahun hijriah kurang dua bulan. Ia meninggal tahun 360/971. Ia adalah ahli hadis terkenal, belajar hadis ke berbagai negeri, jumlah guru yang kepadanya ia mempelajari hadis lebih 1000 orang, dan kitab al-Mu‘jam ash-Shaghir karyanya memuat hadis-hadis dari seribu gurunya dan kitab itu disusun sistematikanya menurut urutan nama-nama gurunya. Kitab lain yang disusunnya adalah al-Mu‘jam al-Kabir, al-Mu‘jam as-Ausath dan Musnad asy-Syamiyyin. Dalam kitab al-Mu‘jam al-Ausath, ia merekam hadis-hadis garib dari gurunya. Salah seorang dari gurunya adalah Muhammad Ibn Ya‘qub.

Nama lengkap guru ini adalah Muhammad Ibn Ya‘qub al-Khathib al-Ahwazi. Ia berprofesi sebagai khatib di kota Ahwaz (Iran), dan dari profesi itulah ia dijuluki al-Khathib al-Ahwazi. Ia merupakan guru hadis yang kepadanya belajar sejumlah murid. Di antara muridnya ada beberapa ahli hadis terkenal, seperti ath-Thabarani sendiri dan Ibnu Hibban (w. 354/965). Ath-Thabarani meriwayatkan sejumlah hadisnya dalam berbagai kitab hadisnya. Sementara itu Ibnu Hibban meriwayatkan beberapa hadisnya dalam Sahihnya. Periwayatan hadis sang guru dalam Shahihnya oleh Ibnu Hibban dapat diartikan bahwa sang guru menurut Ibnu Hibban adalah rawi yang terpercaya.

Catatan biografis tentang Muhammad Ibn Ya‘qub ini memang langka. Sepanjang kitab rijal hadis yang dilacak sejauh ini tidak ditemukan entri namanya, meskipun di berbagai halaman namanya selalu disebut. Ibnu Hibban yang memasukkan hadisnya ke dalam kitab Shahihnya tidak membuat entri nama sang guru dalam Kitab ats-Tsiqat (Kitab tentang Orang-orang Terpercaya). Tidak diketahui kapan ia lahir dan kapan meninggal. Namun diperkirakan ia hidup pada parohan ke dua abad ke-3 hijriah.

Hafsh Ibn ‘Amr, nama lengkapnya adalah Abu Umar Hafsh Ibn ‘Amr Ibn Rabal Ibn ‘Ajlan al-Raqasyi al-Basri. Ia adalah guru dari Muhammad Ibn Ya‘qub al-Khathib al-Ahwazi. Ia merupakan ahli hadis dan diakui sebagai rawi yang terpercaya (tsiqah). Ibn Hibban memasukkannya dalam kitabnya ats-Tsiqat  dan ad-Daraquthni menegaskan bahwa ia adalah seorang terpercaya lagi handal. Ia meninggal tahun 258/872 (Tahdzib al-Kamal, VII: 52 dan 54).

Bisyr Ibn Ibrahim nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Bisyr Ibn Ibrahim al-Anshari al-Basri. Ia berasal dari Damaskus, kemudian tinggal di Basrah. Dikatakan bahwa ia adalah keturunan Anshar sehingga ia disebut al-Anshari, tetapi ada juga yang mengatakan keturunan Quraisy. Ia mengalami lumpuh sebelah badan. Para biografer hadis mencatat bahwa Bisyr Ibn Ibrahim ini adalah rawi hadis yang bermasalah. Ia dinyatakan sebagai pemalsu hadis, meriwayatkan hadis-hadis batil dan munkar, serta memalsukan nama-nama rawi terkenal dengan cara menyandarkan hadis-hadis yang sesungguhnya fiktif kepada mereka.

Para biografer mencatat namanya dalam daftar rawi-rawi lemah dan tercela. Al-‘Uqaili (w. 322/934) menyebutnya sebagai orang yang meriwayatkan hadis-hadis mauduk yang dipalsukan atas nama Imam al-Auza‘i (w. 157/774) dan yang tidak ada mutabaahnya (Kitab adl-Dlu‘afa’, I: 142). Ibn Hibban (w. 354/965) memasukkannya ke dalam daftar orang-orang tercela dan mengatakan “Ia adalah penduduk Basrah, lumpuh sebelah badannya, … memalsukan hadis-hadis atas nama para rawi terpercaya, dan karena itu hadisnya tidak boleh ditulis kecuali untuk menunjukkan cacatnya (Kitab al-Majruhin, I: 189). Ibn ‘Adi (w. 365/976) melukiskannya sebagai periwayat hadis-hadis munkar yang dipalsukan kepada para imam terpercaya, pemilik hadis-hadis fiktif dan membuat-buat hadis yang dinisbatkan kepada rawi-rawi terpercaya. Ibn ‘Adi menyebutkan sejumlah contoh hadisnya yang dipalsukan atas nama beberapa imam terkemuka (Al-Kamil fi Dlu‘afa’ ar-Rijal, II: 14).

Dengan keterangan ini terlihat bahwa sanad hadis ath-Thabarani di atas adalah daif karena di dalamnya terdapat rawi yang tertuduh sebagai pemalsu hadis, yaitu Bisyr Ibn Ibrahim. Berhubung juga hadis ini adalah hadis garib, sebagaimana dikemukakan terdahulu, yakni tidak ada sanad lain selain sanad yang sudah dibicarakan, maka kita tidak mempunyai jalur lagi untuk menguatkannya. Jadi pertanyaan pertama tentang apakah hadis ath-Thabarani ini makbul, dapat dijawab bahwa hadis ath-Thabarani di atas adalah daif. Oleh karena itu hadis tersebut tidak dapat menjadi hujah untuk menarik makmum seorang di sisi kanan imam ke belakang.

2.      Hadis-hadis mengenai cara masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu orang

Lalu bagaimana cara seseorang yang datang terlambat untuk masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu orang dan berdiri di samping kanan imam? Apakah ia ditarik atau imamnya yang maju ke muka?

Dalam hal ini terdapat beberapa hadis mengenai masalah tersebut. Hanya saja hadis-hadis dimaksud tampak saling berlawanan, ada yang mengatakan Nabi saw maju, dan ada yang menyebutkan makmumnya dimundurkan. Berikut mari kita lihat hadis-hadis tersebut.

Pertama, hadis-hadis yang menyatakan makmum seorang di samping kanan imam itu mundur atau ditarik ke belakang. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Ibn Hibban, Ibn al-Jarud, al-Hakim dan al-Baihaqi. Al-Hakim menyatakannya sahih. Berikut ini adalah hadis Muslim yang panjang sekali, dan dikutipkan potongannya yang terkait dengan masalah kita:

(عن جابر قال) : ... ... ... سِرْنَا مع رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حتى إذا كانت عُشَيْشِيَةٌ وَدَنَوْنَا مَاءً من مِيَاهِ الْعَرَبِ قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  من رَجُلٌ يَتَقَدَّمُنَا فَيَمْدُرُ الْحَوْضَ فَيَشْرَبُ وَيَسْقِينَا قال جَابِرٌ فَقُمْتُ فقلت هذا رَجُلٌ يا رَسُولَ اللَّهِ فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  أَيُّ رَجُلٍ مع جَابِرٍ فَقَامَ جَبَّارُ بن صَخْرٍ فَانْطَلَقْنَا إلى الْبِئْرِ فَنَزَعْنَا في الْحَوْضِ سَجْلاً أو سَجْلَيْنِ ثُمَّ مَدَرْنَاهُ ثُمَّ نَزَعْنَا فيه حتى أَفْهَقْنَاهُ فَكَانَ أَوَّلَ طَالِعٍ عَلَيْنَا رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فقال أَتَأْذَنَانِ قُلْنَا نعم يا رَسُولَ اللَّهِ فَأَشْرَعَ نَاقَتَهُ فَشَرِبَتْ شَنَقَ لها فَشَجَتْ فَبَالَتْ ثُمَّ عَدَلَ بها فَأَنَاخَهَا ثُمَّ جاء رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إلى الْحَوْضِ فَتَوَضَّأَ منه ثُمَّ قُمْتُ فَتَوَضَّأْتُ من متوضأ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَهَبَ جَبَّارُ بن صَخْرٍ يقضى حَاجَتَهُ فَقَامَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِيُصَلِّيَ وَكَانَتْ عَلَيَّ بُرْدَةٌ ذَهَبْتُ أَنْ أُخَالِفَ بين طَرَفَيْهَا فلم تَبْلُغْ لي وَكَانَتْ لها ذَبَاذِبُ فَنَكَّسْتُهَا ثُمَّ خَالَفْتُ بين طَرَفَيْهَا ثُمَّ تَوَاقَصْتُ عليها ثُمَّ جِئْتُ حتى قُمْتُ عن يَسَارِ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حتى أَقَامَنِي عن يَمِينِهِ ثُمَّ جاء جَبَّارُ بن صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جاء فَقَامَ عن يَسَارِ رسول اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم ، فَأَخَذَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدَيْنَا جميعا فَدَفَعَنَا حتى أَقَامَنَا خَلْفَهُ ، فَجَعَلَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَرْمُقُنِي وأنا لاَ أَشْعُرُ ثُمَّ فَطِنْتُ بِهِ فقال هَكَذَا بيده يَعْنِي شُدَّ وَسَطَكَ فلما فَرَغَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال يا جَابِرُ قلت لَبَّيْكَ يا رَسُولَ اللَّهِ قال إذا كان وَاسِعًا فَخَالِفْ بين طَرَفَيْهِ وإذا كان ضَيِّقًا فَاشْدُدْهُ على حَقْوِكَ... [رواه مسلم ، حديث رقم 3010]

Artinya: (Dari Jabir diriwayatkan bahwa ia berkata): … … … Kami melakukan perjalanan bersama Rasulullah saw. Ketika menjelang petang dan kami mendekati sebuah mata air di perkampungan Arab, Rasulullah saw berkata: Siapa orang yang mau pergi lebih dahulu untuk menebat balong, kemudian minum dan mengambilkan air untuk kami? Jabir meneruskan ceriteranya: Maka akupun berdiri sambil berata: Saya orangnya wahai Rasulullah! Lalu Rasulullah saw berkata lagi: Siapa orang yang mau menemani Jabir? Maka Jabbar Ibn Shakhr berdiri dan berkata: Saya wahai Rasulullah! Lalu kami berangkat ke balong tersebut, lalu kami mengisi satu atau dua ember, kemudian kami menebatnya, lalu kami mengisi ember lagi sehingga penuh. Maka orang pertama yang datang kepada kami adalah Rasulullah saw dan berkata: Boleh saya ambil air ini? Kami menjawab: Silahkan wahai Rasulllah! Lalu beliau memberi untanya minum dan unta itupun minumlah. Setelah itu Rasulullah menarik tali kekang untanya dan unta tersebut berhenti minum, kemudian buang kencing. Kemudian Rasulullah mengendurkan tali kekangnya dan mendudukkan untanya. Kemudian Rasulullah pergi ke balong dan berwuduk. Kemudian aku berdiri dan berwuduk pada tempat wuduk Rasulullah itu, sementara Jabbar Ibn Shakr pergi buang hajat. Rasulullah saw berdiri hendak mengerjakan shalat, sementara saya memakai kain yang saya coba selempangkan dan menyambung ujungnya, akan tetapi tidak sampai. Kain itu mempunyai rumbai lalu saya balikkan dan kemudian selempangkan kedua ujungnya lalu saya tahan dengan daguku. Kemudian saya (Jabir) datang lalu berdiri di sebelah kiri Rasulullah saw, lalu beliau memegang tanganku dan menarikku agar berdiri di sebelah kanannya. Kemudian Jabbar Ibn Shakhr datang, lalu berwuduk, kemudian bergabung dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah saw, maka beliau memegang tangan kami dan mendorong kami sehingga kami berdiri di belakang beliau. Rasulullah memandangi saya sementara saya tidak sadar, kemudian saya menyadarinya. Beliau berkata dengan isyarat tangannya: begini, maksudnya ikatkan ke pinggangmu. Setelah selesai shalat, beliau memanggilku: Wahai Jabir! Saya wahai Rasulullah, jawabku. Beliau berkata: Apabila kainnya lebar, maka selempangkan kedua ujungnya, akan tetapi apabila tidak lebar, maka ikatkan saja ke pinggangmu!  [HR Muslim].

Kedua adalah hadis-hadis yang menyatakan bahwa imam maju ke muka bilamana ada orang ketiga yang hendak ikut berjamaah. Hadis-hads itu diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dan ath-Thabarani. Hadis Ibn Khuzaimah adalah sebagai berikut:

عن عمرو بن سعيد أنه قال دخلت على جابر بن عبد الله أنا وأبو سلمة بن عبد الرحمن فوجدناه قائما يصلي عليه أزار فذكر بعض الحديث وقال أقبلنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم  فخرج لبعض حاجته فصببت له وضوءا فتوضأ فالتحف بازاره فقمت عن يساره فجعلني عن يمينه وأتى آخر فقام عن يساره فتقدم رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي وصلينا معه فصلى ثلاث عشرة ركعة بالوتر [رواه ابن خزيمة] .

Artinya: Dari ‘Amr Ibn Sa‘id (diwartakan bahwa) ia berkata: Aku dan Abu Salamah Ibn ‘Abdur-Rahman menemui Jabir Ibn ‘Abdullah. Kami mendapatinya sedang berdiri mengerjakan shalat dengan memakai sehelai kain pinggang. Ia menceritakankan sebagian kisahnya dan mengatakan: Kami berangkat bersama Rasulullah saw, maka beliau keluar untuk suatu keperluan dan aku menuangkan air wuduknya. Maka beliau berwuduk, lalu memakai kain pinggangnya, kemudian aku berdiri di sebelah kirinya, maka beliau memindahkanku ke sebelah kanannya. Seseorang datang dan berdiri di sebelah kirinya, maka Rasulullah saw maju ke muka sambil shalat, dan kamipun shalat bersamanya. Beliau melakukan shalat tiga belas rakaat [HR Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibn Khuzaimah, III: 18, hadis no. 1536].

Pada bagian lain [III: 87-88, hadis no. 1674], dengan sanad yang persis sama (kecuali rawi dari Jabir yang disebut ‘Amr Ibn Abi Sa‘id), Ibnu Khuzaimah membawakan hadis ini dengan agak lebih panjang dengan beberapa detail mirip dengan hadis Muslim di atas, yaitu:

عن عمرو بن أبي سعيد أنه قال دخلت على جابر بن عبد الله أنا وأبو سلمة بن عبد الرحمن فوجدناه قائما يصلي فذكر الحديث وقال أقبلنا مع رسول الله  صلى الله عليه وسلم حتى إذا كنا بالسقيا أو بالقاحة قال ألا رجل ينطلق إلى حوض الأياية فيمدره وينزع فيه وينزع لنا في أسقيتنا حتى نأتيه فقلت أنا رجل وقال جابر بن صخر أنا رجل فخرجنا على أرجلنا حتى أتيناها أصيلا فمدرنا الحوض ونزعنا فيه ثم وضعنا رؤوسنا حتى ابهار الليل أقبل رجل حتى وقف على الحوض فجعلت ناقته تنازعه على الحوض وجعل ينازعها زمامها ثم قال أتأذنان ثم أشرع فإذا هو رسول الله  صلى الله عليه وسلم  فقلنا نعم بأبينا أنت وأمنا فأرخى لها فشربت حتى ثملت ثم قال لنا جابر بن عبد الله فدنا حتى أناخ بالبطحاء التي بالعرج فخرج لبعض حاجته فصببت له وضوءا فتوضأ فالتحف بإزاره فقمت عن يساره فجعلني عن يمينه ثم أتاه آخر فقام عن يساره فتقدم رسول الله  صلى الله عليه وسلم  يصلي وصلينا معه ثلاث عشرة ركعة بالوتر .

Artinya: Dari ‘Amr Ibn Abi Sa‘id (diwartakan bahwa) ia berkata: Saya dan Abu Salamah Ibn ‘Abdur-Rahman menemui Jabir Ibn ‘Abdullah. Kami menemuinya sedang berdiri mengerjakan shalat. Kemudian ia menceritakan kisahnya dan mengatakan: Kami berangkat bersama Rasulullah saw sehingga ketika kami sampai di as-Suqya atau al-Qahah, beliau berkata: Apa tidak ada orang yang mau berangkat duluan ke telaga al-Uyayah [dalam teks lain disebut al-Utsayah, MTT] untuk menebatnya serta mengambil air dan mengisikan gentong air kami sampai kami datang ke sana. Maka saya (Jabir Ibn ‘Abdullah) berkata: Saya orangnya! Lalu Jabir Ibn Sakhr [dalam hadis-hadis lain: Jabbar Ibn Sakhr, dan yang terakhir ini yang benar, MTT] berkata pula: Saya juga! Lalu kami pergi berjalan kaki sehingga kami sampai di telaga itu di waktu sore. Kami lalu menebatnya dan mengambil air, kemudian kami membaringkan diri sehingga malam larut. Seorang lelaki datang dan berhenti di dekat telaga. Untanya bersikeras untuk minum di telaga dan ia melawannya dengan menarik kekangnya. Kemudian lelaki itu bertanya:  Boleh saya ambil air ini? Kemudian ia menggiring untanya untuk minum. Ternyata lelaki itu adalah Rasulullah saw. Maka kami mengatakan: Sungguh, silahkan! Lalu ia menundukkan untanya dan unta itupun minum dan menyisakan sedikit air. Kemudian Jabir Ibn Abdullah melanjutkan ceritanya kepada kami: Kemudian beliau mendekat dan mendudukkan untanya di hamparan pasir bagian sungai yang tidak berair (batha’) di al-‘Arj. Kemudian beliau pergi untuk suatu keperluan, sementara aku menuangkan air wuduknya. Lalu kemudian beliau berwuduk, kemudian memakai kain pingangnya, lalu aku berdiri di sebelah kirinya dan beliau memindahkanku ke sebalah kanannya. Kemudian datang orang lain dan berdiri di sebelah kirinya, maka Rasulullah saw  maju ke muka sambil shalat, dan kami salat bersamanya tiga belas rakaat dengan witir [HR Ibnu Khuzaimah, III: 87-88, hadis no. 1674].       

Sedangkan ath-Thabarani juga meriwayatkan hadis ini tetapi dengan versi amat pendek sebagai berikut:

عن جابر قال قام رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي فقمت عن يساره فحولني عن يمينه ثم أتى جبار بن صخر فقام عن يساره فتقدم رسول الله صلى الله عليه وسلم فقمنا خلفه .لم يرو هذا الحديث عن خالد بن يزيد إلا ابن لهيعة [رواه الطبرني]

Artinya: Dari Jabir (diwartakan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw berdiri shalat, maka aku berdiri di sebelah kirinya, maka ia memindahkanku ke sebelah kanannya. Kemudian Jabbar Ibn Shakhr datang dan berdiri di kirinya, maka Rasulullah saw maju sehingga kami berada di belakangnya. Hanya Ibnu Lahi‘ah saja yang meriwayatkan hadis ini dari Khalid [HR ath-Thabrani, al-Mu‘jam al-Ausath, VIII: 375, hadis no. 8918].  
  
At-Turmudzi meriwayatkan hadis versi lain pendek yang juga digunakan untuk menjadi dasar imam maju ke muka, sebagai berikut:

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كُنَّا ثَلاَثَةً أَنْ يَتَقَدَّمَنَا أَحَدُنَا [رواه الترمذي] .
Artinya: Dari Samurah Ibn Jundab (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw menyuruh kami, apabila ada tiga orang, agar salah seorang maju ke muka [HR. at-Turmudzi].

3.      Otentikasi hadis-hadis di atas
Bagimana kesahihan hadis-hadis di atas? Dengan mengikuti prosedur penelitian hadis, seperti dikemukakan terdahulu, dapat dikatakan bahwa hadis Muslim sahih sanadnya. Rangkaian rawi dalam sanad Muslim adalah: Muslim – Harun dan Muhammad – Hatim – Ya‘qub Ibn Mujahid – ‘Ubadah Ibn al-Walid – Jabir yang merupakan Sahabat yang menjadi sumber hadis ini. Setelah melakukan proses penelitian dengan langkah-langkah seperti disebutkan pada permulaan tulisan ini diperoleh data bahwa semua rawi dalam sanad Muslim di atas adalah terpercaya (tsiqah), sanadnya sendiri muttasil (bersambung) dan marfuk (sampai kepada Nabi saw).

Hanya saja perlu dijelaskan bahwa tentang Hatim (Ibn Isma‘il) dalam sanad tersebut ada pernyataan an-Nasa‘i bahwa dia daif. Akan tetapi ahli-ahli hadis lain menyatakannya tsiqah (terpercaya). Ia adalah rawi yang dipakai oleh jamaah ahli hadis, khususnya ahli hadis yang enam termasuk al-Bukhari dan Muslim. Ibn Sa‘ad (w. 230/844) menegaskan: ia adalah seorang terpercaya dan dapat dihandalkan (tsiqah ma‘mun) [At-Thabaqat al-Kubra, V: 425]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam daftar rawi terpercaya [ats-Tsiqat, VIII: 210-211]. Al-‘Ijli (w. 261/875) dan Ibnu Ma‘in (w. 233/847) menyatakannya terpercaya (tsiqah). Ia berasal dari Kufah, kemudian pindah dan tinggal di Madinah. Ia meninggal tahun 186/802 atau 187/803.

Ibnu Hajar (w. 852/1449) ada menyatakan, “Saya membaca pada tulisan adz-Dzahabi dalam al-Mizan bahwa an-Nasa‘i mengatakan: Hatim tidak kuat (laisa bil-qawi) [at-Tahdzib, II: 110]. Setelah dicek dalam al-Mizan memang adz-Dzahabi (w. 748/1348) menegaskan sebagai berikut: Hatim Ibn Isma‘il – rawi yang dipakai al-Bukhari dan Muslim, orang Madinah – adalah terpercaya dan masyhur lagi jujur (shaduq); an-Nasa‘i mengatakan: tidak kuat (laisa bil-qawi); sejumlah ahli hadis menyatakannya terpercaya; Ahamd mengatakan: mereka menganggap padanya ada sedikit kealpaan (fihi ghaflah) [Mizan al-I‘tidal, II: 162].

Benarkah an-Nasa’i mengatakan Hatim laisa bil-qawi seperti ditegaskan oleh adz-Dzahabi? Dari pelacakan terhadap kitab-kitab karya an-Nasa’i tidak ditemukan pernyataan semacam itu. Bahkan dalam karyanya Kitab  adl-Dlu‘afa’ wa al-Matrukin tempat di mana an-Nasa’i mendaftar nama-nama rawi daif, an-Nasa’i tidak membuat entri nama Hatim Ibn Isma‘il. Hatim Ibn Isma‘il hanya disebut dua kali di bawah entri nama lain, yaitu entri ke-143 [I: 33] dan entri ke-670 [I:116] sebagai berikut:

143- حميد بن صخر يروي عنه حاتم بن إسماعيل ليس بالقوي
670- أبو الأسباط يروي عنه حاتم بن إسماعيل ليس بالقوي
     
143-   Humaid Ibn Shakhr, yang meriwayatkan hadis darinya adalah Hatim Ibn Isma‘il, tidak kuat (laisa bil-qawi);
670-   Abu al-Asbath, yang meriwayatkan hadis darinya adalah Hatim Ibn Isma‘il, tidak kuat (laisa bil-qawi).

Hanya pada dua tempat ini saja an-Nasa’i menyebut nama Hatim dalam Kitab adl-Dlu‘afa wa al-Matrukin. Jelas dari dua pernyataan an-Nasa’i di atas bahwa yang didaifkan bukan Hatim Ibn Isma‘il, melainkan nama yang menjadi entri kitab, yaitu Humaid dan Abu al-Asbath. Walhasil tidak dapat dibuktikan bahwa an-Nasa’i mendaifkan Hatim. Bahkan an-Nasa’i sendiri dalam dua kitab hadisnya, yaitu Sunan al-Mujtaba (yang lebih dikenal dengan Sunan an-Nasa’i) dan as-Sunan al-Kubra menggunakan Hatim Ibn Isma’il sebagai rawi dalam sanad-sanad hadisnya. Seandainya an-Nasa’i memang mendaifkannya, maka di sisi lain lebih banyak kritikus hadis menyatakannya terpercaya. Dalam hal seperti ini, suatu pernyaaan daif harus dijelaskan sebab kedaifannya. Jika tidak, maka didahulukan pernyataan yang mentsiqahkan. Berhubung tidak ada penjelasan mengapa ia didaifkan, maka dipegangi pendapat yang mentsiqahkan Hatim, yang memang jumlahnya lebih banyak. Sedangkan pernyataan Ahmad bahwa fihi ghaflah (ada sedikit kealpaan) tidak menjadi unsur pencacat. Yang menjadi unsur pencacat adalah fahsyul-ghalath (keliru mencolok) dan katsratul ghaflah (banyak kealpaan). Adapun sesekali keliru atau terkadang lengah adalah hal yang manusiawi dan ada pada setiap orang.

Atas dasar itu, maka Hatim Ibn Isma‘il dipandang sebagai rawi yang terpercaya seperti dinyatakan oleh banyak ahli hadis. Oleh karena itu hadis Muslim yang dikutip di atas adalah sahih sanadnya dan ini sesuai dengan pernyataan al-Hakim bahwa hadis ini sahih.

Adapun dua hadis Ibnu Khuzaimah di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Sanadnya adalah: Ibnu Khuzaimah – Yunus Ibn ‘Abd al-A‘la – Yahya Ibn ‘Abdullah Ibn Bukair – al-Lais Ibn Sa‘ad – Khalid Ibn Yazid – Sa‘id Ibn Abi Hilal – ‘Amr Ibn Sa‘id [dalam hadis kedua ‘Amr Ibn Abi Sa‘id] – Jabir, yaitu Sahabat yang menjadi sumber hadis. Perlu diperhatikan pada hadis kedua dari Ibn Khuzaimah sanadnya bukan ‘Amr Ibn Sa‘id, melainkan ‘Amr Ibn Abi Sa‘id.  

Setelah biografi para rawi dalam sanad ini diteliti secara keseluruhan ditemukan data sebagai berikut. Pertama bahwa sanad Ibn Khuzaimah memuat rawi bernama Sa‘id Ibn Abi Hilal. Terdapat penilaian yang berlawanan tentang dirinya. Kebanyakan ahli hadis menyatakannya sebagai rawi yang dapat diterima. Abu Hatim (w. 277/890), Ibn Sa‘ad (w. 244/848), dan as-Saji (w. 309/920), menyatakannya sebagai rawi tsiqah (terpercaya). Begitu pula al-‘Ijli (w. 261/875), Ibn Khuzaimah (w. 311/923), ad-Daraqutni (w. 385/995), al-Baihaqi (w. 458/1066), dan al-Khathib al-Baghdadi (w. 463/1071) semuanya mentsiqahkannya. Akan tetapi Imam Ahmad (w. 241/855) dan Ibn Hazm (w. 456/1062) mendaifkannya. Imam Ahmad mengatakan: Saya tidak mengerti hadis macam apa hadisnya, ia melakukan kekacauan dalam hadis [at-Tuhfah al-Lathiah, I: 407]. Jadi alasan Ahmad mendaifkannya karena ia melakukan kekacauan (at-takhlith) dalam hads-hadis. Al-A‘zhami yang mentahqiq kitab Shahih Ibn Khuzaimah membuat catatan yang menunjukkan keraguannya tentang kesahihan hadis ini. Ia mengatakan: Sanadnya sahih, kecuali Sa‘id, ia mengalami kekacauan [Catatan kaki dalam Shahih Ibn Khuzaimah, III: 18]. Untuk hadis nomor 1674 ia mengutip catatan al-Albani: Rijal sanad ini terpercaya, kecuali ‘Amr Ibn Abi Sa‘id, tidak saya kenali, di samping itu Sa‘id Ibn Abi Hilal mengalami kekacauan (ikhtalatha) [III: 87, catatan kaki].

Sanad hadis Ibnu Khuzaimah ini memang problematik. Problemnya, di samping ada rawi yang dipertentangkan ketsiqahannya, juga adanya kekacauan nama rawi dari siapa Sa‘id Ibn Abi Hilal menerima hadis. Apakah dia adalah ‘Amr Ibn Sa‘id seperti tertera dalam sanad hadis nomor 1536 atau ‘Amr Ibn Abi Sa‘id seperti pada sanad hadis nomor 1674, yang keduanya adalah hadis yang sama dengan sanad yang sama. Bahkan al-Bukhari [at-Tarikh al-Kabir, V: 338] dan Ibnu Abi Hatim [al-Jarh wa at-Ta‘dil, VI: 271] menyebut namanya ‘Amr Abu Sa‘id (Ibn diganti Abu). Siapakah gerangan rawi ini? Apabila ia adalah ‘Amr Ibn Sa‘id, maka ada tiga kemungkinan. Pertama, ‘Amr Ibn Sa‘id Ibn a-‘Ash Abu Umayyah al-Ansari, mantan gubernur Madinah untuk Muawiyah dan Yazid. Ia meninggal tahun 69/688 atau tahun 70/689, seorang rawi hadis terpercaya. Kalau memang inilah dia, berarti sanad ini terputus dan karena itu daif, sebab Sa‘id Ibn Abi Hilal yang menerima hadis darinya lahir di Mesir tahun 70/689 sehingga tidak ada muasarah dan tidak mungkin bertemu (liqa’) dengan ‘Amr Ibn Sa‘d Abu Umayyah. Kemungkinan kedua ia adalah ‘Amr Ibn Sa‘id al-Khaulani, maka ini adalah rawi lemah “yang tidak halal menulisnya dalam buku”, begitu ia dideskripsikan. Kalau ia adalah rawi ini, maka sanad hadis ini berarti daif. Kemungkinan ketiga ialah bahwa ia  adalah ‘Amr Ibn Sa‘id Abu Sa‘id al-Qurasyi ats-Tsaqafi, seorang Tabiin, rawi terpercaya. Namun tidak ada petunjuk yang meyakinkan bahwa rawi kita ini adalah ‘Amr ats-Tsaqafi ini. Dalam buku-buku biografi isyarat malah mengarah kepada Abu Umayyah di atas. Dalam Tahdzib al-Kamal disebutkan bahwa Sa‘id Ibn Abi Hilal meriwayatkan hadis dari Abu Umayyah dan tidak menyebut-nyebut ‘Amr ats-Tsaqafi. Kitab Tarikh Madinah Dimasyq yang memuat riwayat hidup ats-Tsaqafi secara panjang tidak memberikan isyarat bahwa di antara orang yang meriwayatkan hadisnya adalah Sa‘id Ibn Abi Hilal. Selanjutnya apabila rawi kita ini adalah ‘Amr Ibn Abi Sa‘id, maka nama ini sama sekali tidak tercatat dalam kitab-kitab rijal hadis, dan berarti ia adalah majhul. Kalau ia adalah ‘Amr Abu Sa‘id, maka keterangan tentang ‘Amr Abu Sa‘id ini juga tidak ada. Abu Hatim hanya menyatakan singkat: “‘Amr Abu Sa‘id meriwayatkan hadis dari Jabir; yang meriwayatkan hadis darinya adalah Sa‘id Ibn Abi Hilal” [al-Jarh wa at-Ta‘dil, VI: 271], tanpa ada keterangan tentang identitas dan kualifikasinya sebagai rawi hadis.  

Adapun hadis singkat ath-Thabarani sanadnya adalah: ath-Thabarani  – Miqdam – Asad Ibn Musa – Ibn Lahi‘ah – Khalid Ibn Yazid – Abu az-Zubair – Jabir yang merupakan Sahabat yang menjadi sumber hadis tersebut.

Setelah melakukan pelacakan terhadap rawi-rawi yang merangkai sanad ini ditemukan hal-hal sebagai berikut ini. Pertama dalam sanad itu ada nama Miqdam. Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Miqdam Ibn Dawud Ibn ‘Isa Ibn Talid al-Ra‘ini al-Misri. Para biografer yang dirujuk sejauh ini tidak mencatat kelahiranya, namun disebutkan wafatnya tahun 283/896 [al-Mizan, VI: 507. Lisan al-Mizan, VI: 84]. Ia adalah fakih dan mufti, namun dari segi periwayatan hadis ia dinilai lemah. An-Nasa‘i menyatakannya tidak tsiqah. Ibnu Yunus mengatakan: ia menjadi omongan (takallamu fih). Muhammad Ibn Yusuf al-Kindi mengatakan: ia adalah fakih dan mufti yang riwayat hadisnya tidak terpuji. Abu al-‘Abbas Ibn Dilhats mendaifkannya [adz-Dzahabi, Tarikh, XXI: 309]. Dalam al-Kasyf al-Hatsits, kitab yang menghimpun nama-nama rawi yang tertuduh memalsukan hadis, ada isyarat bahwa Miqdam tertuduh meriwayatkan hadis mauduk [I: 261].

Kemudian hal kedua yang perlu dicatat adalah bahwa dalam sanad ini terdapat pula Ibnu Lahi‘ah yang juga dinilai lemah oleh banyak ahli hadis, tetapi ada yang menilainya diterima. Al-Bukhari mencatat nama lengkapnya sebagai ‘Abdullah Ibn Lahi‘ah Ibn ‘Uqbah Abu ‘Abdur-Rahman al-Hadlrami [at-Tarikh al-Ausath, II: 207]. Ia adalah hakim Mesir, diangkat tahun 155/772 oleh Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur dengan gaji 30 dinar (Rp. 12.750.000,-) per bulan. Lahir tahun 97/717 dan tahun 170/786 rumah dan buku-bukunya terbakar dan pada tahun 174/790 ia meninggal [Tadzkirah a-Huffazh, I: 239]. Yahya al-Qattan menilainya sebagai rawi tidak ada apa-apanya (laisa bi sayai’). ‘Abdur-Rahman Ibn Mahdi menyatakan: Jangan meriwayatkan hadis darinya sedikit ataupun banyak. Ahmad Ibnu Hanbal mendaifkannya. Yahya Ibnu Ma‘in pernah ditanya tentang riwayat Ibnu Lahi‘ah dari Abu az-Zubair, dia menjawab: Ibnu Lahi‘ah lemah hadisnya. Abu Zur‘ah menilainya sebagai rawi yang tidak dabit dan hadisnya tidak dapat menjadi hujjah [al-Jarh wa at-Ta‘dil, V: 145]. Ahmad Ibn Hanbal cenderung menerima. Jadi hadis ath-Thabarani ini juga daif karena di dalamnya ada rawi yang disepakati lemah, yaitu Miqdam, dan diperselisihkan, tetapi lebih banyak yang menyatakannya lemah, yaitu Ibnu Lahi‘ah.

Atas dasar apa yang dikemukakan di atas terlihat bahwa hadis-hadis tentang imam maju ke muka apabila ada orang masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu orang adalah lemah dan tidak bisa menjadi hujjah. Apakah tidak mungkin bahwa hadis-hadis yang dibicarakan di atas bercerita tentang kisah pada waktu yang berlainan, dalam arti suatu kali Rasulullah saw memundurkan jamaah satu orang di sampingnya ketika ada orang lain masuk seperti riwayat Muslim, dan pada ketika yang lain beliau maju ke muka seperti dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dan ath-Thabarani? Apabila dilihat keseluruhan hadis itu, ternyata semuanya sesungguhnya berbicara tentang kisah yang sama dengan variasi matan yang berbeda bahkan bertentangan. Dengan kata lain hadis Ibnu khuzaimah dan ath-Thabarani adalah varian dari hadis Muslim dkk. Hal ini tampak jelas dengan membaca hadis Ibnu Khuzaimah versi yang lebih panjang, yang detailnya mirip dengan hadis Muslim dkk. Mata air tempat Jabir dan Shakhr mengambil air dan kemudian Rasulullah shalat di situ adalah Mata Air al-Utsayah, yang terletak pada rute perjalanan Madinah – Mekah setelah melewati Zulhulaifah.

Berhubung dalam satu peristiwa yang mengisahkan kisah yang sama terdapat episode yang mengandung detail yang bertentangan, yaitu di satu sisi dinyatakan Rasulullah mendorong Jabir dan Shakhr agar mundur ke belakang, dan di sisi lain Rasulullah yang maju ke muka, maka berarti dalam hadis-hadis ini ada pertentangan matan. Manakah yang mahfuz dan mana yang syazz. Hasil kajian memperlihatkan bahwa hadis Muslim mahfuz dan karena itu hadis Ibnu Khuzaimah dipandang syazz karena sanad Muslim lebih kuat dan lebih banyak rawi yang meriwayatkan dengan matan yang menyatakan Nabi saw mendorong Jabir dan Shakhr agar mundur ke belakang. Ibnu ‘Abdil-Barr juga mengatakan bahwa hadis Jabir melalui ‘Ubadah ini adalah mahfuz [at-Tamhid, XXIV: 271]. Oleh karena itu hadis Ibnu Khuzaimah dan ath-Thabarani harus ditolak karena ada kekacauan sanad dan bertentangan dengan hadis Muslim dkk yang sanadnya lebih kuat.

Sedangkan hadis at-Turmudzi ternyata juga daif karena di dalam rangkaian sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Abu Ishak Ismail Ibn Muslim al-Basri, termasuk generasi Tabiin kecil, dari suku al-Azd, berasal dari Kufah dan tinggal di Mekah [Tahdzib al-Kamal, III: 189]. Ia sebenarnya seorang fakih dan memberi fatwa serta orang jujur. Namun dari segi periwayatan hadis ia banyak melakukan kekacauan hadis, dan sering melakukan kesalahan. Oleh karena itu para ahli hadis menilainya daif. Sufyan ats-Tsauri (w. 161/778) menegaskan bahwa ia adalah seorang yang kacau. Imam Ahmad (w. 264/855) mengatakan bahwa hadisnya munkar. Yahya Ibn Ma‘in (w. 233/847) menyatakan ia seorang yang tidak bermutu (laisa bi syai‘). ‘Ali Ibn al-Madini (w. 234/848) menyatakan bahwa hadisnya tidak ditulis (la yuktabu hadisuh). Al-Juzajani (w. 259/873), Abu Zur‘ah (w. 264/878), dan Abu Hatim (w. 277/890), ketiganya ahli hadis terkemuka, menyatakannya sebagai sangat lemah dan kacau [Tahdzib at-Tahdzib, I: 289]. Oleh karena itu hadis at-Turmudzi di atas tidak dapat dijadikan hujah. Lagi pula sebenarnya hadis ini tidak berbicara tentang masbuk yang masuk jamaah yang makmumnya satu orang, melainkan berbicara tentang jamaah dua orang di mana posisi berdirinya apakah di kiri dan kanan imam, atau di belakang imam. Hadis ini menegaskan bahwa posisi berdiri dua makmum itu di belakang imam, bukan di kanan dan kiri imam sebagaimana pendapat Ibnu Mas‘ud, seperti ditegaskan oleh at-Turmudzi setelah mengutip hadis dimaksud.

Jadi atas dasar itu semua yang dapat dijadikan hujjah adalah hadis Muslim dkk. Menurut hadis ini, makmum seorang yang berdiri di samping imam mundur apabila ada makmum yang baru datang hendak ikut berjamaah dan makmum yang baru datang itu berdiri bersamanya di belakang imam. Praktik seperti ini dilakukan pula oleh Sahabat Nabi saw sebagaimana disebutkan dalam sebuah asar dari ‘Abdullah Ibn ‘Utbah:

عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِالْهَاجِرَةِ فَوَجَدْتُهُ يُسَبِّحُ فَقُمْتُ وَرَاءَهُ فَقَرَّبَنِي حَتَّى جَعَلَنِي حِذَاءَهُ عَنْ يَمِينِهِ فَلَمَّا جَاءَ يَرْفَا تَأَخَّرْتُ فَصَفَفْنَا وَرَاءَهُ [رواه مالك]

Artinya: Dari ‘Ubaidillah Ibn ‘Abdillah, dari ayahnya (yaitu ‘Abdullah Ibn ‘Utbah, diriwayatkan) bahwa ia berkata: Aku mendatangi ‘Umar Ibn al-Khattab di tengah hari, dan aku menemukannya tengah mengerjakan shalat tathawwu‘, maka aku berdiri di belakangnya, lalu dia menarikku dan menempatkanku di sebelah kanannya sejajar dengannya. Ketika Yarfa [Yarfa adalah salah seorang pembantu rumah tangga Umar Ibn al-Khattab] datang, aku mundur dan kami berdiri bersaf di belakangnya [HR Malik].

Para fukaha juga banyak mengikuti pendapat ini. Al-Mawardi (w. 450/1058), dalam ensiklopedi fikihnya al-Hawi al-Kabir, menyatakan bahwa apabila imam mengimami seorang makmum laki-laki, maka makmum itu berdiri di samping kanannya, kemudian bilamana orang lain datang untuk ikut berjamaah, maka yang lebih utama adalah bahwa makmum tersebut mundur dan berdiri di belakang imam bersama orang baru datang itu, dan bukan imam yang maju bergeser dari tempatnya. Hal itu karena Nabi saw menggeser Ibnu ‘Abbas dari kiri ke sebelah kanannya dan bukan beliau yang bergeser tempat. Begitu pula dalam kasus Jabir dan Ibnu Shakhr [al-Hawi al-Kabir, II: 340].

Ibnu ‘Abidin (w. 1258/1888) menegaskan bahwa pendapat yang jelas adalah bahwa makmumlah yang harus mundur apabila datang orang ketiga, atau jika tidak, orang ketiga itu menariknya ke belakang … Ini didukung oleh riwayat dalam Shahih Muslim tentang kisah Jabir [Hasyiyah, I: 568].    

Asy-Syaukani, dalam kitab as-Sail al-Jarrar, menegaskan, “Adapun mengenai  masyruknya menarik makmum yang berdiri di samping imam, hal itu ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim dan kitab-kiab hadis lain dari Jabir bahwa Nabi saw menyuruhnya berdiri di samping kanan beliau dan kemudian seseorang lain datang dan berdiri di samping kirinya, lalu Nabi saw memegang kedua tangan mereka dan mendorong mereka agar berdiri di belakang beliau” [I:264].  

4.      Kesimpulan   
      
Dari semua uraian di atas, ringkasan fatwa ini ketegasannya adalah :
  1. Hadis ath-Thabrani tentang menarik makmum ke belakang, yang dikutip pada permulaan uraian ini, adalah daif dan tidak dapat menjadi hujjah.
  2. Hadis-hadis tentang imam maju ke muka apabila ada orang masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu orang, yang dirwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, ath-Thabarani dan at-Trmudzi, adalah juga daif dan tidak dapat menjadi hujjah.
  3. Hadis yang sahih adalah hadis Muslim bahwa makmum satu orang di samping imam itu mundur atau diberi tahu supaya mundur ke belakang apabila ada orang yang hendak masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu yang berdiri di samping kanan imam. Inilah cara masuk jamaah yang makmumnya satu orang yang didukung oleh hadis-hadis yang sahih.


Masalah Duduk Dalam Khutbah ‘Id

Mengenai ini telah dijelaskan dalam buku Tuntunan Ramadan dan Idul Fitri yang disusun oleh Majelis Tarjih [Bab VIII E]. Dalam buku tersebut diuraikan sebagai berikut.

Salat Id dikerjakan dua rakaat, mendahului khutbah dan setelah selesai shalat imam langsung berkhutbah dan khutbahnya hanya satu kali, yaitu tidak diantarai dengan duduk antara dua khutbah. Dasarnya adalah,

1.   Hadis Sa‘id al-Khudri,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ [متفق عليه واللفظ للبخاري] .

Artinya: Dari Abu Sa‘id al-Khudri (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha menuju lapangan tempat shalat, maka hal pertama yang dia lakukan adalah shalat, kemudian manakala selesai beliau berdiri menghadap orang banyak yang tetap duduk dalam saf-saf mereka, lalu Nabi saw menyampaikan nasehat dan pesan-pesan dan perintah kepada mereka; lalu jika beliau hendak memberangkatkan angkatan perang atau hendak memerintahkan sesuatu beliau laksanakan, kemudian beliau pulang [Hadis muttafaq ‘alaih, dan ini lafal al-Bukhari].  

2.   Hadis Jabir,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاَةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلاَلٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ ... [رواه مسلم والنسائي] .
Artinya: Dari Jabir Ibnu ‘Abdillah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya menghadiri shalat hari raya bersama Rasulullah saw, beliau mulai dengan shalat sebelum khutbah tanpa azan dan qamat, kemudian beliau berdiri dengan bersandar kepada Bilal. Lalu ia mengajak orang supaya bertakwa kepada Allah, menyuruh patuh kepada-Nya, memberikan nasehat dan peringatan kepada mereka, kemudian beliau berjalan mendatangi wanita-wanita, lalu menyampaikan nasehat dan peringatan untuk mereka ... [HR Muslim dan an-Nas±’i].

Dari hadis-hadis yang dikemukakan di atas dan hadis-hadis sahih lainnya tidak terdapat keterangan bahwa khutbah Id itu dua kali seperti khutbah Jumat. Dalam hadis-hadis di atas khutbah disebut dengan bentuk tunggal, tidak dalam bentuk ganda (mutsanna). Semua itu mengisyaratkan bahwa khutbah ‘Id itu hanya satu kali. Pada hadis Abu Said (no. 1) dan hadis Jabir (no. 2) di atas tidak disebutkan bahwa Rasulullah saw mengantarai khutbahnya dengan duduk. Dengan demikian disimpulkan bahwa khutbah Id itu adalah satu kali tanpa diselingi dengan duduk.

Memang terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang menyatakan bahwa Nabi saw keluar pada hari Idul Fitri atau Idul Adha, kemudian berkhutbah, lalu duduk sejenak kemudian berdiri lagi. Dalam praktik memang banyak yang mengamalkan khutbah ‘Id itu dua kali. Hanya saja hadis Ibnu Majah itu daif, karena di dalam sanadnya terdapat Abu Bahr ‘Abdur-Rahman Ibnu Usman yang dinyatakan daif. As-Sayyid Sabiq menegaskan, “Semua hadis yang menyebutkan khutbah Id itu dua kali adalah daif” [As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, I: 322].  An-Nawawi dalam al-Khulashah menyatakan, “tidak ada satu hadispun yang sahih mengenai pengulangan khutbah (khutbah dua kali) pada shalat Id. Dasar bahwa khutbah ‘Id itu dua kali adalah qiyas” [Dikutip oleh az-Zaila‘i dalam Nashb ar-Rayah, II: 221].

Qiyas tidak dijadikan dasar suatu amalan apabila mengenai hal tersebut tedapat hadis. Qiyas baru digunakan apabila mengenai suatu masalah tidak ada hadis. Mengenai khutbah ‘Id ini jelas terdapat hadis-hadis yang menerangkan khutbah ‘Id Nabi saw dan di dalamnya tidak disebutkan adanya duduk antara dua khutbah. Oleh karena itu qiyas tidak digunakan dan Majelis Tarjih dan Tajdid menarjih pendapat yang menyatakan bahwa dalam khutbah ‘Id tidak ada duduk antara dua khutbah sesuai dengan hadis-hadis dimaksud.
Wallahu a'lam. *sy)

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah