Pertanyaan dari: Sugiyanto, guru SMP dan aktivis Persyarikatan
(disidangkan pada hari Jum'at, 22 Jumadal
Ula 1428 H / 8 Juni 2007 M)
Pertanyaan:
Saya
ingin mendapat penjelasan tentang beberapa hal berikut. Sepanjang yang saya
ketahui adalah bahwa apabila dalam shalat jamaah makmumnya satu orang, maka
makmum tersebut berdiri di sebelah kanan imam. Kemudian apabila ada orang lain
yang hendak ikut berjamaah, maka orang itu menarik makmum tersebut agar mundur
ke belakang, kemudian orang tersebut berdiri sejajar dengan makmum yang ditarik
mundur tadi. Dalilnya adalah hadis riwayat ath-Thabarani yang menyatakan bahwa
Nabi saw bersabda, “Apabila seseorang kamu hendak masuk ke dalam saf pada hal
sudah penuh, maka hendaklah ia menarik seseorang dari saf itu (ke belakang)
untuk berdiri bersamanya (di saf belakang).” Akan tetapi ada pendapat bahwa
hadis itu tidak sahih, dan cara masuk ke dalam shalat jamaah yang makmumnya
satu orang bukan dengan menarik makmum satu orang itu ke belakang, melainkan
imam yang maju ke muka. Pertanyaan saya dan mohon penjelasan:
1.
Apa benar hadis ath-Thabrani di
atas itu tidak sahih?
2. Kalau betul tidak sahih,
bagaimana cara masuk ke dalam jamaah yang makmumya satu orang, apa makmum itu
ditarik mundur, atau imamnya yang maju ke muka?
3.
Apa dalilnya?
Pertanyaan lain adalah bahwa yang
saya ketahui dan amalkan kalau khutbah Id itu satu kali saja dalam arti tidak
ada duduk antara dua khutbah seperti shalat Jumat. Ada jamaah yang menganggap
cara seperti itu tidak benar, khutbah Id itu harus dua kali diselingi oleh
duduk antara dua khutbah, seperti khutbah Jumat. Mohon penjelasan berikut dalilnya.
Jawaban:
Terima
kasih diucapkan kepada Bapak Sugianto atas pernyataannya. Jawaban kami meliputi
butir-butir sebagai berikut:
Cara Masuk Ke Dalam Jamaah yang Makmumnya Hanya Satu
1.
Tentang hadis ath-Thabarani (dari
Ibnu ‘Abbas)
Teks hadis ath-Thabarani yang
ditanyakan adalah sebagai berikut:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّفِّ وَقَدْ تَمَّ فليجذب إِلَيْهِ رَجُلاً يقيمه إِلَى
جَنْبِهِ . لاَ يَرْوِى هَذَا اْلحَدِيْث عَنْ رَسُولِ اللهِ إِلاَّ بِهَذَا اْلإِسْنَادِ
تفرد به بِشْر بْنُ إِبْرَاهِيْم [رواه الطبرني] .
Artinya: Dari Ibn ‘Abbas (diwartakan
bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila seseorang kamu hendak masuk
ke dalam saf yang sudah penuh, maka hendaklah ia menarik seseorang (ke
belakang) agar berdiri di sampingnya. Hadis ini diriwayatkan dari Rasulullah
saw hanya melalui sanad ini. Basyr Ibn Ibrahim menyendiri dalam meriwayatkannya.
[HR.
ath-Thabarani dalam al-Mu‘jam al-Ausath, VII: 374, hadis no. 7764].
Untuk menentukan kesahihan
hadis harus dilakukan dua langkah penelitian, yaitu penelitian sanad dan
penelitian matan, karena hadis terdiri dari dua bagian, yaitu sanad dan matan. Hadis
yang hanya terdiri dari matan saja dan tidak ada sanadnya, maka itu bukanlah
hadis. Begitu pula apabila hanya ada sanad saja tanpa matan, maka itu tidak ada
gunanya dan tidak mungkin ada sanad tanpa matan. Biasanya dalam
kutipan-kutipan, yang dikutip memang hanya matannya saja, sekedar untuk
keringkasan. Sanadnya ada dalam sumber asli dari mana hadis bersangkutan
diambil. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan sumber asli hadis adalah semua
kitab yang penyusunnya memiliki sanad yang menghubungkannya langsung kepada
Nabi saw. Oleh karena itu sumber asli hadis bukan hanya kitab-kitab hadis saja sepeti
Shahih Muslim dan sejenisnya, tetapi juga meliputi semua kitab termasuk
kitab fikih, tarikh, sirah, tafsir, atau usul fikih yang penyusunnya memiliki
sanad yang menghubungkannya kepada Nabi saw. Jadi kitab Tafsir ath-Thabari,
Sirah Ibn Hisyam, serta al-Umm dan ar-Risalah karya Imam
asy-Syafi‘i, misalnya, adalah sumber asli hadis karena mereka memiliki sanad
hingga sampai kepada Nabi saw dan tidak mengutip hadisnya dari kitab hadis lain
seperti dari Shahih al-Bukhari atau Shahih Muslim. Justru
al-Bukhari dan Muslim datang lebih kemudian dari asy-Syafi‘i dan Ibn Hisyam. Sebaliknya,
kitab-kitab hadis seperti Bulughul-Maram, Nailul-Authar,
Subulus-Salam bukan sumber asli hadis karena para penyusunnya tidak memiliki
sanad yang menhubungkan mereka kepada Nabi saw. Mereka hanya mengutip hadisnya
dari sumber-sumber aslinya.
Suatu hadis dikatakan
sahih adalah apabila sanad dan matannya terbukti sahih. Apabila sanadnya saja
yang sahih, sedang matannya tidak sahih, maka itu bukan hadis sahih. Sebaliknya
bilamana hanya matannya saja sahih, tetapi sanadnya tidak sahih, maka ini bukan
hadis sahih. Sering kita menemukan ahli hadis mengatakan ‘hadis sahih
sanadnya’. Ini artinya adalah sanadnya sahih, tetapi matannya belum tentu sahih,
masih perlu diteliti lagi. Lazimnya penelitian hadis itu dimulai dari penelitian
sanad, dan bila terbukti sanadnya sahih, maka dilanjutkan dengan penelitian
matan. Bila terbukti matannya juga sahih, maka berarti hadis itu adalah hadis
sahih. Bila dalam penelitian sanad, terbukti bahwa sanad hadis yang diteliti
itu tidak sahih, maka otomatis hadis itu dinyatakan tidak sahih dan kerena itu
tidak perlu dilanjutkan dengan penelitian matan.
Kriteria kesahihan
suatu hadis adalah (1) sanadnya bersambung, (2) para rawinya adalah adil, (3)
para rawi itu dabit, (4) bebas dari cacat tersembunyi (illat), dan (5) bebas
dari kejanggalan (syuzuz). Kriteria no. (4) dan (5) sekaligus juga merupakan kriteria
kesahihan matan. Kriteria ini bersifat kumulatif, dalam arti bahwa semua syarat
harus dipenuhi sekaligus sehingga bilamana satu syarat saja tidak terpenuhi,
maka hadisnya dinyatakan daif.
Perlu juga diketahui
bahwa yang menjadi hujjah bukan hanya hadis sahih, tetapi juga hadis hasan.
Dalam ilmu hadis, dari segi kehujjahannya, hadis dibedakan menjadi dua macam:
hadis mardud (ditolak), yaitu semua hadis daif, dan hadis maqbul (diterima),
yaitu hadis sahih dan hadis hasan. Dalam putusan Tarjih pada Munas XXV di Jakarta
tahun 2000 dirumuskan, “Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah
al-Maqbulah.” Sunah maqbulah meliputi hadis sahih dan hadis hasan. Kriteria
keduanya adalah sama seperti tersebut di atas. Perbedaan hanya terletak pada
kriteria ketiga, di mana untuk hadis hasan kedabitan rawi lebih rendah dari
kedabitan rawi hadis sahih.
Mari kita coba meneliti
hadis ini, apabila sanadnya sahih, maka kita lanjutkan dengan penelitian matan,
dan bila ternyata sanadnya daif, otomatis hadis itu dinyatakan daif dan tidak
perlu lagi dilanjutkan ke penelitian matan. Langkah awal dalam penelitian sanad
adalah melakukan iktibar (al-i‘tibar), yaitu menghimpun seluruh sanad
hadis ini dari berbagai sumber untuk melihat apakah sanadnya garib atau tidak.
Dengan kata lain untuk melihat apakah ada banyak jalur periwayatannya atau
hanya melalui satu jalur saja.
Setelah melakukan
pelacakan intensif dalam berbagai sumber hadis, ternyata bahwa hadis di atas
hanya diriwayatkan oleh ath-Thabarani (w. 360/971) saja dalam kitabnya al-Mu‘jam
al-Ausath. Tidak ada ahli hadis lain yang meriwayatkannya, sehingga karena
itu tidak ditemukan syahid dan mutabaahnya. Artinya hadis ini mempunyai jalur
sanad tunggal dan karenanya hadis ini dapat dikatakan sebagai hadis garib. Ini
sesuai pula dengan pernyataan ath-Thabrani sendiri dalam kitab tersebut, “Hadis
ini diriwayatkan dari Rasulullah saw hanya melalui sanad ini saja. Bisyr Ibn
Ibrahim menyendiri dalam meriwayatkannya.”
Selanjutnya mari kita
menyelidiki rangkaian sanad hadis di atas untuk melihat apakah kriteria
kesahihan hadis terpenuhi pada hadis di atas atau tidak. Untuk itu mari kita meneliti
para rawi dalam sanadnya. Sanad hadis ini hingga sampai kepada Nabi saw adalah
sebagai berikut: (1) ath-Thabarani, (2) Muhammad Ibn Ya‘qub (guru ath-Thabarani),
(3) Hafsh Ibn ‘Amr ar-Rabali, (4) Bisyr Ibn Ibrahim, (5) al-Hajjaj Ibn Hassan,
(6) ‘Ikrimah, dan (7) Ibn ‘Abbas,
Sahabat yang diklaim menerima hadis ini dari Nabi saw.
Ath-Thabarani nama
lengkapnya adalah Sulaiman Ibn Ahmad Ibn Ayyub Ibn Mathar al-Lakhmi
ath-Thabarani, lahir tahun 260/874 dan berusia panjang, yaitu 101 tahun hijriah
kurang dua bulan. Ia meninggal tahun 360/971. Ia adalah ahli hadis terkenal, belajar
hadis ke berbagai negeri, jumlah guru yang kepadanya ia mempelajari hadis lebih
1000 orang, dan kitab al-Mu‘jam ash-Shaghir karyanya memuat hadis-hadis
dari seribu gurunya dan kitab itu disusun sistematikanya menurut urutan nama-nama
gurunya. Kitab lain yang disusunnya adalah al-Mu‘jam al-Kabir, al-Mu‘jam
as-Ausath dan Musnad asy-Syamiyyin. Dalam kitab al-Mu‘jam
al-Ausath, ia merekam hadis-hadis garib dari gurunya. Salah seorang
dari gurunya adalah Muhammad Ibn Ya‘qub.
Nama lengkap guru ini
adalah Muhammad Ibn Ya‘qub al-Khathib al-Ahwazi. Ia berprofesi sebagai khatib
di kota Ahwaz (Iran), dan dari profesi itulah ia dijuluki al-Khathib al-Ahwazi.
Ia merupakan guru hadis yang kepadanya belajar sejumlah murid. Di antara
muridnya ada beberapa ahli hadis terkenal, seperti ath-Thabarani sendiri dan
Ibnu Hibban (w. 354/965). Ath-Thabarani meriwayatkan sejumlah hadisnya dalam berbagai
kitab hadisnya. Sementara itu Ibnu Hibban meriwayatkan beberapa hadisnya
dalam Sahihnya. Periwayatan hadis sang guru dalam Shahihnya oleh
Ibnu Hibban dapat diartikan bahwa sang guru menurut Ibnu Hibban adalah rawi
yang terpercaya.
Catatan biografis
tentang Muhammad Ibn Ya‘qub ini memang langka. Sepanjang kitab rijal hadis yang
dilacak sejauh ini tidak ditemukan entri namanya, meskipun di berbagai halaman
namanya selalu disebut. Ibnu Hibban yang memasukkan hadisnya ke dalam kitab Shahihnya
tidak membuat entri nama sang guru dalam Kitab ats-Tsiqat (Kitab tentang
Orang-orang Terpercaya). Tidak diketahui kapan ia lahir dan kapan meninggal. Namun
diperkirakan ia hidup pada parohan ke dua abad ke-3 hijriah.
Hafsh Ibn ‘Amr, nama
lengkapnya adalah Abu Umar Hafsh Ibn ‘Amr Ibn Rabal Ibn ‘Ajlan al-Raqasyi
al-Basri. Ia adalah guru dari Muhammad Ibn Ya‘qub al-Khathib al-Ahwazi. Ia
merupakan ahli hadis dan diakui sebagai rawi yang terpercaya (tsiqah).
Ibn Hibban memasukkannya dalam kitabnya ats-Tsiqat dan ad-Daraquthni menegaskan bahwa ia adalah
seorang terpercaya lagi handal. Ia meninggal tahun 258/872 (Tahdzib al-Kamal,
VII: 52 dan 54).
Bisyr Ibn Ibrahim nama
lengkapnya adalah Abu ‘Amr Bisyr Ibn Ibrahim al-Anshari al-Basri. Ia berasal
dari Damaskus, kemudian tinggal di Basrah. Dikatakan bahwa ia adalah keturunan
Anshar sehingga ia disebut al-Anshari, tetapi ada juga yang mengatakan
keturunan Quraisy. Ia mengalami lumpuh sebelah badan. Para biografer hadis
mencatat bahwa Bisyr Ibn Ibrahim ini adalah rawi hadis yang bermasalah. Ia
dinyatakan sebagai pemalsu hadis, meriwayatkan hadis-hadis batil dan munkar,
serta memalsukan nama-nama rawi terkenal dengan cara menyandarkan hadis-hadis
yang sesungguhnya fiktif kepada mereka.
Para biografer
mencatat namanya dalam daftar rawi-rawi lemah dan tercela. Al-‘Uqaili (w.
322/934) menyebutnya sebagai orang yang meriwayatkan hadis-hadis mauduk yang
dipalsukan atas nama Imam al-Auza‘i (w. 157/774) dan yang tidak ada mutabaahnya
(Kitab adl-Dlu‘afa’, I: 142). Ibn Hibban (w. 354/965) memasukkannya ke
dalam daftar orang-orang tercela dan mengatakan “Ia adalah penduduk Basrah,
lumpuh sebelah badannya, … memalsukan hadis-hadis atas nama para rawi
terpercaya, dan karena itu hadisnya tidak boleh ditulis kecuali untuk
menunjukkan cacatnya (Kitab al-Majruhin, I: 189). Ibn ‘Adi (w. 365/976)
melukiskannya sebagai periwayat hadis-hadis munkar yang dipalsukan kepada para
imam terpercaya, pemilik hadis-hadis fiktif dan membuat-buat hadis yang
dinisbatkan kepada rawi-rawi terpercaya. Ibn ‘Adi menyebutkan sejumlah contoh hadisnya
yang dipalsukan atas nama beberapa imam terkemuka (Al-Kamil fi Dlu‘afa’
ar-Rijal, II: 14).
Dengan keterangan ini
terlihat bahwa sanad hadis ath-Thabarani di atas adalah daif karena di dalamnya
terdapat rawi yang tertuduh sebagai pemalsu hadis, yaitu Bisyr Ibn Ibrahim.
Berhubung juga hadis ini adalah hadis garib, sebagaimana dikemukakan terdahulu,
yakni tidak ada sanad lain selain sanad yang sudah dibicarakan, maka kita tidak
mempunyai jalur lagi untuk menguatkannya. Jadi pertanyaan pertama tentang
apakah hadis ath-Thabarani ini makbul, dapat dijawab bahwa hadis ath-Thabarani
di atas adalah daif. Oleh karena itu hadis tersebut tidak dapat menjadi hujah untuk
menarik makmum seorang di sisi kanan imam ke belakang.
2. Hadis-hadis
mengenai cara masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu orang
Lalu bagaimana cara
seseorang yang datang terlambat untuk masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu
orang dan berdiri di samping kanan imam? Apakah ia ditarik atau imamnya yang
maju ke muka?
Dalam hal ini terdapat
beberapa hadis mengenai masalah tersebut. Hanya saja hadis-hadis dimaksud
tampak saling berlawanan, ada yang mengatakan Nabi saw maju, dan ada yang
menyebutkan makmumnya dimundurkan. Berikut mari kita lihat hadis-hadis
tersebut.
Pertama, hadis-hadis yang
menyatakan makmum seorang di samping kanan imam itu mundur atau ditarik ke
belakang. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Ibn Hibban, Ibn
al-Jarud, al-Hakim dan al-Baihaqi. Al-Hakim menyatakannya sahih. Berikut ini
adalah hadis Muslim yang panjang sekali, dan dikutipkan potongannya yang terkait
dengan masalah kita:
(عن جابر قال) : ... ... ... سِرْنَا مع
رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حتى إذا كانت عُشَيْشِيَةٌ وَدَنَوْنَا مَاءً من
مِيَاهِ الْعَرَبِ قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم من رَجُلٌ يَتَقَدَّمُنَا فَيَمْدُرُ الْحَوْضَ
فَيَشْرَبُ وَيَسْقِينَا قال جَابِرٌ فَقُمْتُ فقلت هذا رَجُلٌ يا رَسُولَ اللَّهِ
فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
أَيُّ رَجُلٍ مع جَابِرٍ فَقَامَ جَبَّارُ بن صَخْرٍ فَانْطَلَقْنَا إلى
الْبِئْرِ فَنَزَعْنَا في الْحَوْضِ سَجْلاً أو سَجْلَيْنِ ثُمَّ مَدَرْنَاهُ
ثُمَّ نَزَعْنَا فيه حتى أَفْهَقْنَاهُ فَكَانَ أَوَّلَ طَالِعٍ عَلَيْنَا رسول
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فقال أَتَأْذَنَانِ قُلْنَا نعم يا رَسُولَ اللَّهِ
فَأَشْرَعَ نَاقَتَهُ فَشَرِبَتْ شَنَقَ لها فَشَجَتْ فَبَالَتْ ثُمَّ عَدَلَ بها
فَأَنَاخَهَا ثُمَّ جاء رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إلى الْحَوْضِ
فَتَوَضَّأَ منه ثُمَّ قُمْتُ فَتَوَضَّأْتُ من متوضأ رسول اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم فَذَهَبَ جَبَّارُ بن صَخْرٍ يقضى حَاجَتَهُ فَقَامَ رسول اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم لِيُصَلِّيَ وَكَانَتْ عَلَيَّ بُرْدَةٌ ذَهَبْتُ أَنْ أُخَالِفَ بين
طَرَفَيْهَا فلم تَبْلُغْ لي وَكَانَتْ لها ذَبَاذِبُ فَنَكَّسْتُهَا ثُمَّ
خَالَفْتُ بين طَرَفَيْهَا ثُمَّ تَوَاقَصْتُ عليها ثُمَّ جِئْتُ حتى قُمْتُ عن
يَسَارِ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حتى
أَقَامَنِي عن يَمِينِهِ ثُمَّ جاء جَبَّارُ بن صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جاء
فَقَامَ عن يَسَارِ رسول اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم ، فَأَخَذَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدَيْنَا جميعا
فَدَفَعَنَا حتى أَقَامَنَا خَلْفَهُ ، فَجَعَلَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
يَرْمُقُنِي وأنا لاَ أَشْعُرُ ثُمَّ فَطِنْتُ بِهِ فقال هَكَذَا بيده يَعْنِي
شُدَّ وَسَطَكَ فلما فَرَغَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال يا جَابِرُ قلت
لَبَّيْكَ يا رَسُولَ اللَّهِ قال إذا كان وَاسِعًا فَخَالِفْ بين طَرَفَيْهِ وإذا
كان ضَيِّقًا فَاشْدُدْهُ على حَقْوِكَ... [رواه مسلم ، حديث رقم 3010]
Artinya: (Dari Jabir
diriwayatkan bahwa ia berkata): … … … Kami melakukan perjalanan bersama
Rasulullah saw. Ketika menjelang petang dan kami mendekati sebuah mata air di
perkampungan Arab, Rasulullah saw berkata: Siapa orang yang mau pergi lebih
dahulu untuk menebat balong, kemudian minum dan mengambilkan air untuk kami?
Jabir meneruskan ceriteranya: Maka akupun berdiri sambil berata: Saya orangnya
wahai Rasulullah! Lalu Rasulullah saw berkata lagi: Siapa orang yang mau
menemani Jabir? Maka Jabbar Ibn Shakhr berdiri dan berkata: Saya wahai
Rasulullah! Lalu kami berangkat ke balong tersebut, lalu kami mengisi satu atau
dua ember, kemudian kami menebatnya, lalu kami mengisi ember lagi sehingga penuh.
Maka orang pertama yang datang kepada kami adalah Rasulullah saw dan berkata:
Boleh saya ambil air ini? Kami menjawab: Silahkan wahai Rasulllah! Lalu beliau
memberi untanya minum dan unta itupun minumlah. Setelah itu Rasulullah menarik
tali kekang untanya dan unta tersebut berhenti minum, kemudian buang kencing.
Kemudian Rasulullah mengendurkan tali kekangnya dan mendudukkan untanya.
Kemudian Rasulullah pergi ke balong dan berwuduk. Kemudian aku berdiri dan
berwuduk pada tempat wuduk Rasulullah itu, sementara Jabbar Ibn Shakr pergi
buang hajat. Rasulullah saw berdiri hendak mengerjakan shalat, sementara saya
memakai kain yang saya coba selempangkan dan menyambung ujungnya, akan tetapi tidak
sampai. Kain itu mempunyai rumbai lalu saya balikkan dan kemudian selempangkan kedua
ujungnya lalu saya tahan dengan daguku. Kemudian saya (Jabir) datang lalu
berdiri di sebelah kiri Rasulullah saw, lalu beliau memegang tanganku dan
menarikku agar berdiri di sebelah kanannya. Kemudian Jabbar Ibn Shakhr datang,
lalu berwuduk, kemudian bergabung dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah saw,
maka beliau memegang tangan kami dan mendorong kami sehingga kami berdiri di
belakang beliau. Rasulullah memandangi saya sementara saya tidak sadar, kemudian
saya menyadarinya. Beliau berkata dengan isyarat tangannya: begini, maksudnya
ikatkan ke pinggangmu. Setelah selesai shalat, beliau memanggilku: Wahai Jabir!
Saya wahai Rasulullah, jawabku. Beliau berkata: Apabila kainnya lebar, maka selempangkan
kedua ujungnya, akan tetapi apabila tidak lebar, maka ikatkan saja ke
pinggangmu! [HR Muslim].
Kedua adalah hadis-hadis
yang menyatakan bahwa imam maju ke muka bilamana ada orang ketiga yang hendak
ikut berjamaah. Hadis-hads itu diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dan
ath-Thabarani. Hadis Ibn Khuzaimah adalah sebagai berikut:
عن عمرو بن سعيد أنه قال دخلت على جابر بن عبد الله أنا وأبو
سلمة بن عبد الرحمن فوجدناه قائما يصلي عليه أزار فذكر بعض الحديث وقال أقبلنا مع
رسول الله صلى الله عليه وسلم فخرج لبعض
حاجته فصببت له وضوءا فتوضأ فالتحف بازاره فقمت عن يساره فجعلني عن يمينه وأتى آخر
فقام عن يساره فتقدم رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي وصلينا معه فصلى ثلاث عشرة
ركعة بالوتر [رواه ابن خزيمة] .
Artinya: Dari ‘Amr Ibn Sa‘id
(diwartakan bahwa) ia berkata: Aku dan Abu Salamah Ibn ‘Abdur-Rahman menemui
Jabir Ibn ‘Abdullah. Kami mendapatinya sedang berdiri mengerjakan shalat dengan
memakai sehelai kain pinggang. Ia menceritakankan sebagian kisahnya dan
mengatakan: Kami berangkat bersama Rasulullah saw, maka beliau keluar untuk suatu
keperluan dan aku menuangkan air wuduknya. Maka beliau berwuduk, lalu memakai
kain pinggangnya, kemudian aku berdiri di sebelah kirinya, maka beliau memindahkanku
ke sebelah kanannya. Seseorang datang dan berdiri di sebelah kirinya, maka
Rasulullah saw maju ke muka sambil shalat, dan kamipun shalat bersamanya. Beliau
melakukan shalat tiga belas rakaat [HR Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibn
Khuzaimah, III: 18, hadis no. 1536].
Pada bagian lain [III:
87-88, hadis no. 1674], dengan sanad yang persis sama (kecuali rawi dari Jabir
yang disebut ‘Amr Ibn Abi Sa‘id), Ibnu Khuzaimah membawakan hadis ini dengan
agak lebih panjang dengan beberapa detail mirip dengan hadis Muslim di atas,
yaitu:
عن عمرو بن أبي سعيد أنه قال دخلت على جابر بن عبد الله أنا وأبو
سلمة بن عبد الرحمن فوجدناه قائما يصلي فذكر الحديث وقال أقبلنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى إذا كنا بالسقيا أو
بالقاحة قال ألا رجل ينطلق إلى حوض الأياية فيمدره وينزع فيه وينزع لنا في أسقيتنا
حتى نأتيه فقلت أنا رجل وقال جابر بن صخر أنا رجل فخرجنا على أرجلنا حتى أتيناها
أصيلا فمدرنا الحوض ونزعنا فيه ثم وضعنا رؤوسنا حتى ابهار الليل أقبل رجل حتى وقف
على الحوض فجعلت ناقته تنازعه على الحوض وجعل ينازعها زمامها ثم قال أتأذنان ثم
أشرع فإذا هو رسول الله صلى الله عليه
وسلم فقلنا نعم بأبينا أنت وأمنا فأرخى
لها فشربت حتى ثملت ثم قال لنا جابر بن عبد الله فدنا حتى أناخ بالبطحاء التي
بالعرج فخرج لبعض حاجته فصببت له وضوءا فتوضأ فالتحف بإزاره فقمت عن يساره فجعلني
عن يمينه ثم أتاه آخر فقام عن يساره فتقدم رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي وصلينا معه ثلاث عشرة ركعة بالوتر .
Artinya: Dari ‘Amr Ibn Abi
Sa‘id
(diwartakan
bahwa) ia berkata: Saya dan Abu Salamah Ibn ‘Abdur-Rahman menemui Jabir Ibn
‘Abdullah. Kami menemuinya sedang berdiri mengerjakan shalat. Kemudian ia
menceritakan kisahnya dan mengatakan: Kami berangkat bersama Rasulullah saw
sehingga ketika kami sampai di as-Suqya atau al-Qahah, beliau berkata: Apa
tidak ada orang yang mau berangkat duluan ke telaga al-Uyayah [dalam teks lain
disebut al-Utsayah, MTT] untuk menebatnya serta mengambil air dan mengisikan
gentong air kami sampai kami datang ke sana. Maka saya (Jabir Ibn ‘Abdullah)
berkata: Saya orangnya! Lalu Jabir Ibn Sakhr [dalam hadis-hadis lain:
Jabbar Ibn Sakhr, dan yang terakhir ini yang benar, MTT] berkata pula: Saya
juga! Lalu kami pergi berjalan kaki sehingga kami sampai di telaga itu di waktu
sore. Kami lalu menebatnya dan mengambil air, kemudian kami membaringkan diri
sehingga malam larut. Seorang lelaki datang dan berhenti di dekat telaga.
Untanya bersikeras untuk minum di telaga dan ia melawannya dengan menarik
kekangnya. Kemudian lelaki itu bertanya:
Boleh saya ambil air ini? Kemudian ia menggiring untanya untuk minum.
Ternyata lelaki itu adalah Rasulullah saw. Maka kami mengatakan: Sungguh,
silahkan! Lalu ia menundukkan untanya dan unta itupun minum dan menyisakan
sedikit air. Kemudian Jabir Ibn Abdullah melanjutkan ceritanya kepada kami:
Kemudian beliau mendekat dan mendudukkan untanya di hamparan pasir bagian
sungai yang tidak berair (batha’) di al-‘Arj. Kemudian beliau pergi untuk suatu
keperluan, sementara aku menuangkan air wuduknya. Lalu kemudian beliau
berwuduk, kemudian memakai kain pingangnya, lalu aku berdiri di sebelah kirinya
dan beliau memindahkanku ke sebalah kanannya. Kemudian datang orang lain dan
berdiri di sebelah kirinya, maka Rasulullah saw
maju ke muka sambil shalat, dan kami salat bersamanya tiga belas rakaat
dengan witir [HR Ibnu Khuzaimah, III: 87-88, hadis no. 1674].
Sedangkan
ath-Thabarani juga meriwayatkan hadis ini tetapi dengan versi amat pendek
sebagai berikut:
عن جابر قال قام رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي فقمت عن
يساره فحولني عن يمينه ثم أتى جبار بن صخر فقام عن يساره فتقدم رسول الله صلى الله
عليه وسلم فقمنا خلفه .لم يرو هذا الحديث عن خالد بن يزيد إلا ابن لهيعة [رواه الطبرني]
Artinya: Dari Jabir (diwartakan
bahwa) ia berkata: Rasulullah saw berdiri shalat, maka aku berdiri di sebelah
kirinya, maka ia memindahkanku ke sebelah kanannya. Kemudian Jabbar Ibn Shakhr
datang dan berdiri di kirinya, maka Rasulullah saw maju sehingga kami berada di
belakangnya. Hanya Ibnu Lahi‘ah saja yang meriwayatkan hadis ini dari Khalid [HR ath-Thabrani, al-Mu‘jam
al-Ausath, VIII: 375, hadis no. 8918].
At-Turmudzi
meriwayatkan hadis versi lain pendek yang juga digunakan untuk menjadi dasar
imam maju ke muka, sebagai berikut:
عَنْ
سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَالَ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا كُنَّا ثَلاَثَةً أَنْ يَتَقَدَّمَنَا أَحَدُنَا
[رواه الترمذي] .
Artinya: Dari Samurah Ibn
Jundab (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw menyuruh kami, apabila
ada tiga orang, agar salah seorang maju ke muka [HR. at-Turmudzi].
3.
Otentikasi hadis-hadis di atas
Bagimana kesahihan
hadis-hadis di atas? Dengan mengikuti prosedur penelitian hadis, seperti
dikemukakan terdahulu, dapat dikatakan bahwa hadis Muslim sahih sanadnya.
Rangkaian rawi dalam sanad Muslim adalah: Muslim – Harun dan Muhammad – Hatim –
Ya‘qub Ibn Mujahid – ‘Ubadah Ibn al-Walid – Jabir yang merupakan Sahabat yang
menjadi sumber hadis ini. Setelah melakukan proses penelitian dengan
langkah-langkah seperti disebutkan pada permulaan tulisan ini diperoleh data
bahwa semua rawi dalam sanad Muslim di atas adalah terpercaya (tsiqah),
sanadnya sendiri muttasil (bersambung) dan marfuk (sampai kepada Nabi saw).
Hanya saja perlu
dijelaskan bahwa tentang Hatim (Ibn Isma‘il) dalam sanad tersebut ada
pernyataan an-Nasa‘i bahwa dia daif. Akan tetapi ahli-ahli hadis lain
menyatakannya tsiqah (terpercaya). Ia adalah rawi yang dipakai oleh
jamaah ahli hadis, khususnya ahli hadis yang enam termasuk al-Bukhari dan
Muslim. Ibn Sa‘ad (w. 230/844) menegaskan: ia adalah seorang terpercaya dan
dapat dihandalkan (tsiqah ma‘mun) [At-Thabaqat al-Kubra, V: 425].
Ibnu Hibban memasukkannya dalam daftar rawi terpercaya [ats-Tsiqat,
VIII: 210-211]. Al-‘Ijli (w. 261/875) dan Ibnu Ma‘in (w. 233/847) menyatakannya
terpercaya (tsiqah). Ia berasal dari Kufah, kemudian pindah dan tinggal
di Madinah. Ia meninggal tahun 186/802 atau 187/803.
Ibnu Hajar (w.
852/1449) ada menyatakan, “Saya membaca pada tulisan adz-Dzahabi dalam al-Mizan
bahwa an-Nasa‘i mengatakan: Hatim tidak kuat (laisa bil-qawi) [at-Tahdzib,
II: 110]. Setelah dicek dalam al-Mizan memang adz-Dzahabi (w. 748/1348)
menegaskan sebagai berikut: Hatim Ibn Isma‘il – rawi yang dipakai al-Bukhari
dan Muslim, orang Madinah – adalah terpercaya dan masyhur lagi jujur (shaduq);
an-Nasa‘i mengatakan: tidak kuat (laisa bil-qawi); sejumlah ahli hadis
menyatakannya terpercaya; Ahamd mengatakan: mereka menganggap padanya ada
sedikit kealpaan (fihi ghaflah) [Mizan al-I‘tidal, II: 162].
Benarkah an-Nasa’i
mengatakan Hatim laisa bil-qawi seperti ditegaskan oleh adz-Dzahabi?
Dari pelacakan terhadap kitab-kitab karya an-Nasa’i tidak ditemukan pernyataan
semacam itu. Bahkan dalam karyanya Kitab
adl-Dlu‘afa’ wa al-Matrukin tempat di mana an-Nasa’i mendaftar
nama-nama rawi daif, an-Nasa’i tidak membuat entri nama Hatim Ibn Isma‘il.
Hatim Ibn Isma‘il hanya disebut dua kali di bawah entri nama lain, yaitu entri
ke-143 [I: 33] dan entri ke-670 [I:116] sebagai berikut:
143- حميد بن صخر يروي عنه حاتم بن إسماعيل
ليس بالقوي
670- أبو الأسباط يروي
عنه حاتم بن إسماعيل ليس بالقوي
143- Humaid
Ibn Shakhr, yang meriwayatkan hadis darinya adalah Hatim Ibn Isma‘il, tidak
kuat (laisa bil-qawi);
670- Abu
al-Asbath, yang meriwayatkan hadis darinya adalah Hatim Ibn Isma‘il, tidak kuat
(laisa bil-qawi).
Hanya pada dua tempat
ini saja an-Nasa’i menyebut nama Hatim dalam Kitab adl-Dlu‘afa wa
al-Matrukin. Jelas dari dua pernyataan an-Nasa’i di atas bahwa yang
didaifkan bukan Hatim Ibn Isma‘il, melainkan nama yang menjadi entri kitab,
yaitu Humaid dan Abu al-Asbath. Walhasil tidak dapat dibuktikan bahwa an-Nasa’i
mendaifkan Hatim. Bahkan an-Nasa’i sendiri dalam dua kitab hadisnya, yaitu Sunan
al-Mujtaba (yang lebih dikenal dengan Sunan an-Nasa’i) dan as-Sunan
al-Kubra menggunakan Hatim Ibn Isma’il sebagai rawi dalam sanad-sanad
hadisnya. Seandainya an-Nasa’i memang mendaifkannya, maka di sisi lain lebih
banyak kritikus hadis menyatakannya terpercaya. Dalam hal seperti ini, suatu
pernyaaan daif harus dijelaskan sebab kedaifannya. Jika tidak, maka didahulukan
pernyataan yang mentsiqahkan. Berhubung tidak ada penjelasan mengapa ia
didaifkan, maka dipegangi pendapat yang mentsiqahkan Hatim, yang memang jumlahnya
lebih banyak. Sedangkan pernyataan Ahmad bahwa fihi ghaflah (ada sedikit
kealpaan) tidak menjadi unsur pencacat. Yang menjadi unsur pencacat adalah fahsyul-ghalath
(keliru mencolok) dan katsratul ghaflah (banyak kealpaan). Adapun
sesekali keliru atau terkadang lengah adalah hal yang manusiawi dan ada pada
setiap orang.
Atas dasar itu, maka
Hatim Ibn Isma‘il dipandang sebagai rawi yang terpercaya seperti dinyatakan
oleh banyak ahli hadis. Oleh karena itu hadis Muslim yang dikutip di atas
adalah sahih sanadnya dan ini sesuai dengan pernyataan al-Hakim bahwa hadis ini
sahih.
Adapun dua hadis Ibnu
Khuzaimah di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Sanadnya adalah: Ibnu
Khuzaimah – Yunus Ibn ‘Abd al-A‘la – Yahya Ibn ‘Abdullah Ibn Bukair – al-Lais
Ibn Sa‘ad – Khalid Ibn Yazid – Sa‘id Ibn Abi Hilal – ‘Amr Ibn Sa‘id [dalam hadis
kedua ‘Amr Ibn Abi Sa‘id] – Jabir, yaitu Sahabat yang menjadi sumber hadis. Perlu
diperhatikan pada hadis kedua dari Ibn Khuzaimah sanadnya bukan ‘Amr Ibn Sa‘id,
melainkan ‘Amr Ibn Abi Sa‘id.
Setelah biografi para
rawi dalam sanad ini diteliti secara keseluruhan ditemukan data sebagai
berikut. Pertama bahwa sanad Ibn Khuzaimah memuat rawi bernama Sa‘id Ibn
Abi Hilal. Terdapat penilaian yang berlawanan tentang dirinya. Kebanyakan ahli
hadis menyatakannya sebagai rawi yang dapat diterima. Abu Hatim (w. 277/890),
Ibn Sa‘ad (w. 244/848), dan as-Saji (w. 309/920), menyatakannya sebagai rawi tsiqah
(terpercaya). Begitu pula al-‘Ijli (w. 261/875), Ibn Khuzaimah (w.
311/923), ad-Daraqutni (w. 385/995), al-Baihaqi (w. 458/1066), dan al-Khathib
al-Baghdadi (w. 463/1071) semuanya mentsiqahkannya. Akan tetapi Imam Ahmad (w.
241/855) dan Ibn Hazm (w. 456/1062) mendaifkannya. Imam Ahmad mengatakan: Saya
tidak mengerti hadis macam apa hadisnya, ia melakukan kekacauan dalam hadis [at-Tuhfah
al-Lathiah, I: 407]. Jadi alasan Ahmad mendaifkannya karena ia melakukan
kekacauan (at-takhlith) dalam hads-hadis. Al-A‘zhami yang mentahqiq
kitab Shahih Ibn Khuzaimah membuat catatan yang menunjukkan keraguannya
tentang kesahihan hadis ini. Ia mengatakan: Sanadnya sahih, kecuali Sa‘id, ia
mengalami kekacauan [Catatan kaki dalam Shahih Ibn Khuzaimah, III: 18]. Untuk
hadis nomor 1674 ia mengutip catatan al-Albani: Rijal sanad ini terpercaya,
kecuali ‘Amr Ibn Abi Sa‘id, tidak saya kenali, di samping itu Sa‘id Ibn Abi
Hilal mengalami kekacauan (ikhtalatha) [III: 87, catatan kaki].
Sanad hadis Ibnu
Khuzaimah ini memang problematik. Problemnya, di samping ada rawi yang dipertentangkan
ketsiqahannya, juga adanya kekacauan nama rawi dari siapa Sa‘id Ibn Abi Hilal
menerima hadis. Apakah dia adalah ‘Amr Ibn Sa‘id seperti tertera dalam sanad
hadis nomor 1536 atau ‘Amr Ibn Abi Sa‘id seperti pada sanad hadis nomor 1674,
yang keduanya adalah hadis yang sama dengan sanad yang sama. Bahkan al-Bukhari [at-Tarikh
al-Kabir, V: 338] dan Ibnu Abi Hatim [al-Jarh wa at-Ta‘dil, VI: 271]
menyebut namanya ‘Amr Abu Sa‘id (Ibn diganti Abu). Siapakah gerangan rawi ini?
Apabila ia adalah ‘Amr Ibn Sa‘id, maka ada tiga kemungkinan. Pertama, ‘Amr Ibn
Sa‘id Ibn a-‘Ash Abu Umayyah al-Ansari, mantan gubernur Madinah untuk Muawiyah
dan Yazid. Ia meninggal tahun 69/688 atau tahun 70/689, seorang rawi hadis
terpercaya. Kalau memang inilah dia, berarti sanad ini terputus dan karena itu
daif, sebab Sa‘id Ibn Abi Hilal yang menerima hadis darinya lahir di Mesir
tahun 70/689 sehingga tidak ada muasarah dan tidak mungkin bertemu (liqa’) dengan
‘Amr Ibn Sa‘d Abu Umayyah. Kemungkinan kedua ia adalah ‘Amr Ibn
Sa‘id al-Khaulani, maka ini adalah rawi lemah “yang tidak halal menulisnya
dalam buku”, begitu ia dideskripsikan. Kalau ia adalah rawi ini, maka sanad
hadis ini berarti daif. Kemungkinan ketiga ialah bahwa ia adalah ‘Amr Ibn Sa‘id Abu Sa‘id al-Qurasyi
ats-Tsaqafi, seorang Tabiin, rawi terpercaya. Namun tidak ada petunjuk yang
meyakinkan bahwa rawi kita ini adalah ‘Amr ats-Tsaqafi ini. Dalam buku-buku
biografi isyarat malah mengarah kepada Abu Umayyah di atas. Dalam Tahdzib
al-Kamal disebutkan bahwa Sa‘id Ibn Abi Hilal meriwayatkan hadis dari Abu
Umayyah dan tidak menyebut-nyebut ‘Amr ats-Tsaqafi. Kitab Tarikh Madinah
Dimasyq yang memuat riwayat hidup ats-Tsaqafi secara panjang tidak memberikan
isyarat bahwa di antara orang yang meriwayatkan hadisnya adalah Sa‘id Ibn Abi
Hilal. Selanjutnya apabila rawi kita ini adalah ‘Amr Ibn Abi Sa‘id, maka nama
ini sama sekali tidak tercatat dalam kitab-kitab rijal hadis, dan berarti ia
adalah majhul. Kalau ia adalah ‘Amr Abu Sa‘id, maka keterangan tentang ‘Amr Abu
Sa‘id ini juga tidak ada. Abu Hatim hanya menyatakan singkat: “‘Amr Abu Sa‘id
meriwayatkan hadis dari Jabir; yang meriwayatkan hadis darinya adalah Sa‘id Ibn
Abi Hilal” [al-Jarh wa at-Ta‘dil, VI: 271], tanpa ada keterangan tentang
identitas dan kualifikasinya sebagai rawi hadis.
Adapun hadis singkat
ath-Thabarani sanadnya adalah: ath-Thabarani
– Miqdam – Asad Ibn Musa – Ibn Lahi‘ah – Khalid Ibn Yazid – Abu
az-Zubair – Jabir yang merupakan Sahabat yang menjadi sumber hadis tersebut.
Setelah melakukan
pelacakan terhadap rawi-rawi yang merangkai sanad ini ditemukan hal-hal sebagai
berikut ini. Pertama dalam sanad itu ada nama Miqdam. Nama lengkapnya
adalah Abu ‘Amr Miqdam Ibn Dawud Ibn ‘Isa Ibn Talid al-Ra‘ini al-Misri. Para
biografer yang dirujuk sejauh ini tidak mencatat kelahiranya, namun disebutkan
wafatnya tahun 283/896 [al-Mizan, VI: 507. Lisan al-Mizan, VI:
84]. Ia adalah fakih dan mufti, namun dari segi periwayatan hadis ia dinilai
lemah. An-Nasa‘i menyatakannya tidak tsiqah. Ibnu Yunus mengatakan: ia
menjadi omongan (takallamu fih). Muhammad Ibn Yusuf al-Kindi mengatakan:
ia adalah fakih dan mufti yang riwayat hadisnya tidak terpuji. Abu al-‘Abbas Ibn
Dilhats mendaifkannya [adz-Dzahabi, Tarikh, XXI: 309]. Dalam al-Kasyf
al-Hatsits, kitab yang menghimpun nama-nama rawi yang tertuduh memalsukan
hadis, ada isyarat bahwa Miqdam tertuduh meriwayatkan hadis mauduk [I: 261].
Kemudian hal kedua
yang perlu dicatat adalah bahwa dalam sanad ini terdapat pula Ibnu Lahi‘ah yang
juga dinilai lemah oleh banyak ahli hadis, tetapi ada yang menilainya diterima.
Al-Bukhari mencatat nama lengkapnya sebagai ‘Abdullah Ibn Lahi‘ah Ibn ‘Uqbah
Abu ‘Abdur-Rahman al-Hadlrami [at-Tarikh al-Ausath, II: 207]. Ia adalah
hakim Mesir, diangkat tahun 155/772 oleh Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur dengan
gaji 30 dinar (Rp. 12.750.000,-) per bulan. Lahir tahun 97/717 dan tahun 170/786
rumah dan buku-bukunya terbakar dan pada tahun 174/790 ia meninggal [Tadzkirah
a-Huffazh, I: 239]. Yahya al-Qattan menilainya sebagai rawi tidak ada
apa-apanya (laisa bi sayai’). ‘Abdur-Rahman Ibn Mahdi menyatakan: Jangan
meriwayatkan hadis darinya sedikit ataupun banyak. Ahmad Ibnu Hanbal
mendaifkannya. Yahya Ibnu Ma‘in pernah ditanya tentang riwayat Ibnu Lahi‘ah
dari Abu az-Zubair, dia menjawab: Ibnu Lahi‘ah lemah hadisnya. Abu Zur‘ah
menilainya sebagai rawi yang tidak dabit dan hadisnya tidak dapat menjadi
hujjah [al-Jarh wa at-Ta‘dil, V: 145]. Ahmad Ibn Hanbal cenderung
menerima. Jadi hadis ath-Thabarani ini juga daif karena di dalamnya ada rawi
yang disepakati lemah, yaitu Miqdam, dan diperselisihkan, tetapi lebih banyak
yang menyatakannya lemah, yaitu Ibnu Lahi‘ah.
Atas dasar apa yang
dikemukakan di atas terlihat bahwa hadis-hadis tentang imam maju ke muka
apabila ada orang masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu orang adalah lemah
dan tidak bisa menjadi hujjah. Apakah tidak mungkin bahwa hadis-hadis yang dibicarakan
di atas bercerita tentang kisah pada waktu yang berlainan, dalam arti suatu
kali Rasulullah saw memundurkan jamaah satu orang di sampingnya ketika ada
orang lain masuk seperti riwayat Muslim, dan pada ketika yang lain beliau maju
ke muka seperti dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dan ath-Thabarani? Apabila dilihat
keseluruhan hadis itu, ternyata semuanya sesungguhnya berbicara tentang kisah
yang sama dengan variasi matan yang berbeda bahkan bertentangan. Dengan kata
lain hadis Ibnu khuzaimah dan ath-Thabarani adalah varian dari hadis Muslim
dkk. Hal ini tampak jelas dengan membaca hadis Ibnu Khuzaimah versi yang lebih
panjang, yang detailnya mirip dengan hadis Muslim dkk. Mata air tempat Jabir
dan Shakhr mengambil air dan kemudian Rasulullah shalat di situ adalah Mata Air
al-Utsayah, yang terletak pada rute perjalanan Madinah – Mekah setelah melewati
Zulhulaifah.
Berhubung dalam satu
peristiwa yang mengisahkan kisah yang sama terdapat episode yang mengandung
detail yang bertentangan, yaitu di satu sisi dinyatakan Rasulullah mendorong
Jabir dan Shakhr agar mundur ke belakang, dan di sisi lain Rasulullah yang maju
ke muka, maka berarti dalam hadis-hadis ini ada pertentangan matan. Manakah
yang mahfuz dan mana yang syazz. Hasil kajian memperlihatkan bahwa hadis Muslim
mahfuz dan karena itu hadis Ibnu Khuzaimah dipandang syazz karena sanad Muslim
lebih kuat dan lebih banyak rawi yang meriwayatkan dengan matan yang menyatakan
Nabi saw mendorong Jabir dan Shakhr agar mundur ke belakang. Ibnu ‘Abdil-Barr
juga mengatakan bahwa hadis Jabir melalui ‘Ubadah ini adalah mahfuz [at-Tamhid,
XXIV: 271]. Oleh karena itu hadis Ibnu Khuzaimah dan ath-Thabarani harus
ditolak karena ada kekacauan sanad dan bertentangan dengan hadis Muslim dkk
yang sanadnya lebih kuat.
Sedangkan hadis
at-Turmudzi ternyata juga daif karena di dalam rangkaian sanadnya terdapat
seorang rawi yang bernama Abu Ishak Ismail Ibn Muslim al-Basri, termasuk
generasi Tabiin kecil, dari suku al-Azd, berasal dari Kufah dan tinggal di
Mekah [Tahdzib al-Kamal, III: 189]. Ia sebenarnya seorang fakih dan
memberi fatwa serta orang jujur. Namun dari segi periwayatan hadis ia banyak
melakukan kekacauan hadis, dan sering melakukan kesalahan. Oleh karena itu para
ahli hadis menilainya daif. Sufyan ats-Tsauri (w. 161/778) menegaskan bahwa ia
adalah seorang yang kacau. Imam Ahmad (w. 264/855) mengatakan bahwa hadisnya
munkar. Yahya Ibn Ma‘in (w. 233/847) menyatakan ia seorang yang tidak bermutu (laisa
bi syai‘). ‘Ali Ibn al-Madini (w. 234/848) menyatakan bahwa hadisnya tidak
ditulis (la yuktabu hadisuh). Al-Juzajani (w. 259/873), Abu Zur‘ah (w.
264/878), dan Abu Hatim (w. 277/890), ketiganya ahli hadis terkemuka,
menyatakannya sebagai sangat lemah dan kacau [Tahdzib at-Tahdzib, I:
289]. Oleh karena itu hadis at-Turmudzi di atas tidak dapat dijadikan hujah.
Lagi pula sebenarnya hadis ini tidak berbicara tentang masbuk yang masuk jamaah
yang makmumnya satu orang, melainkan berbicara tentang jamaah dua orang di mana
posisi berdirinya apakah di kiri dan kanan imam, atau di belakang imam. Hadis
ini menegaskan bahwa posisi berdiri dua makmum itu di belakang imam, bukan di
kanan dan kiri imam sebagaimana pendapat Ibnu Mas‘ud, seperti ditegaskan oleh
at-Turmudzi setelah mengutip hadis dimaksud.
Jadi atas dasar itu semua
yang dapat dijadikan hujjah adalah hadis Muslim dkk. Menurut hadis ini, makmum
seorang yang berdiri di samping imam mundur apabila ada makmum yang baru datang
hendak ikut berjamaah dan makmum yang baru datang itu berdiri bersamanya di
belakang imam. Praktik seperti ini dilakukan pula oleh Sahabat Nabi saw sebagaimana
disebutkan dalam sebuah asar dari ‘Abdullah Ibn ‘Utbah:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ
أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِالْهَاجِرَةِ
فَوَجَدْتُهُ يُسَبِّحُ فَقُمْتُ وَرَاءَهُ فَقَرَّبَنِي حَتَّى جَعَلَنِي
حِذَاءَهُ عَنْ يَمِينِهِ فَلَمَّا جَاءَ يَرْفَا تَأَخَّرْتُ فَصَفَفْنَا
وَرَاءَهُ [رواه مالك]
Artinya: Dari ‘Ubaidillah Ibn
‘Abdillah, dari ayahnya (yaitu ‘Abdullah Ibn ‘Utbah, diriwayatkan) bahwa ia
berkata: Aku mendatangi ‘Umar Ibn al-Khattab di tengah hari, dan aku
menemukannya tengah mengerjakan shalat tathawwu‘, maka aku berdiri di
belakangnya, lalu dia menarikku dan menempatkanku di sebelah kanannya sejajar
dengannya. Ketika Yarfa [Yarfa
adalah salah seorang pembantu rumah tangga Umar Ibn al-Khattab] datang, aku
mundur dan kami berdiri bersaf di belakangnya [HR Malik].
Para fukaha juga
banyak mengikuti pendapat ini. Al-Mawardi (w. 450/1058), dalam ensiklopedi
fikihnya al-Hawi al-Kabir, menyatakan bahwa apabila imam mengimami
seorang makmum laki-laki, maka makmum itu berdiri di samping kanannya, kemudian
bilamana orang lain datang untuk ikut berjamaah, maka yang lebih utama adalah
bahwa makmum tersebut mundur dan berdiri di belakang imam bersama orang baru
datang itu, dan bukan imam yang maju bergeser dari tempatnya. Hal itu karena
Nabi saw menggeser Ibnu ‘Abbas dari kiri ke sebelah kanannya dan bukan beliau
yang bergeser tempat. Begitu pula dalam kasus Jabir dan Ibnu Shakhr [al-Hawi
al-Kabir, II: 340].
Ibnu ‘Abidin (w.
1258/1888) menegaskan bahwa pendapat yang jelas adalah bahwa makmumlah yang
harus mundur apabila datang orang ketiga, atau jika tidak, orang ketiga itu
menariknya ke belakang … Ini didukung oleh riwayat dalam Shahih Muslim
tentang kisah Jabir [Hasyiyah, I: 568].
Asy-Syaukani, dalam
kitab as-Sail al-Jarrar, menegaskan, “Adapun mengenai masyruknya menarik makmum yang berdiri di
samping imam, hal itu ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan dalam Shahih
Muslim dan kitab-kiab hadis lain dari Jabir bahwa Nabi saw menyuruhnya
berdiri di samping kanan beliau dan kemudian seseorang lain datang dan berdiri
di samping kirinya, lalu Nabi saw memegang kedua tangan mereka dan mendorong mereka
agar berdiri di belakang beliau” [I:264].
4.
Kesimpulan
Dari semua uraian di
atas, ringkasan fatwa ini ketegasannya adalah :
- Hadis
ath-Thabrani tentang menarik makmum ke belakang, yang dikutip pada
permulaan uraian ini, adalah daif dan tidak dapat menjadi hujjah.
- Hadis-hadis
tentang imam maju ke muka apabila ada orang masuk ke dalam jamaah yang
makmumnya satu orang, yang dirwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, ath-Thabarani
dan at-Trmudzi, adalah juga daif dan tidak dapat menjadi hujjah.
- Hadis
yang sahih adalah hadis Muslim bahwa makmum satu orang di samping imam itu
mundur atau diberi tahu supaya mundur ke belakang apabila ada orang yang
hendak masuk ke dalam jamaah yang makmumnya satu yang berdiri di samping
kanan imam. Inilah cara masuk jamaah yang makmumnya satu orang yang
didukung oleh hadis-hadis yang sahih.
Masalah Duduk Dalam Khutbah ‘Id
Mengenai
ini telah dijelaskan dalam buku Tuntunan Ramadan dan Idul Fitri
yang disusun oleh Majelis Tarjih [Bab VIII E]. Dalam buku tersebut diuraikan
sebagai berikut.
Salat
Id dikerjakan dua rakaat, mendahului khutbah dan setelah selesai shalat imam
langsung berkhutbah dan khutbahnya hanya satu kali, yaitu tidak
diantarai dengan duduk antara dua khutbah. Dasarnya adalah,
1. Hadis Sa‘id al-Khudri,
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى
الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ
وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ
أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ [متفق عليه واللفظ للبخاري]
.
Artinya:
Dari Abu Sa‘id al-Khudri (diriwayatkan bahwa) ia
berkata: Rasulullah saw keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha menuju
lapangan tempat shalat, maka hal pertama yang dia lakukan adalah shalat,
kemudian manakala selesai beliau berdiri menghadap orang banyak yang tetap
duduk dalam saf-saf mereka, lalu Nabi saw menyampaikan nasehat dan pesan-pesan
dan perintah kepada mereka; lalu jika beliau hendak memberangkatkan angkatan
perang atau hendak memerintahkan sesuatu beliau laksanakan, kemudian beliau
pulang [Hadis muttafaq ‘alaih, dan ini lafal al-Bukhari].
2. Hadis Jabir,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاَةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلاَلٍ
فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ
وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ
... [رواه مسلم والنسائي] .
Artinya: Dari Jabir Ibnu
‘Abdillah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya menghadiri shalat hari raya
bersama Rasulullah saw, beliau mulai dengan shalat sebelum khutbah tanpa azan
dan qamat, kemudian beliau berdiri dengan bersandar kepada Bilal. Lalu ia
mengajak orang supaya bertakwa kepada Allah, menyuruh patuh kepada-Nya, memberikan
nasehat dan peringatan kepada mereka, kemudian beliau berjalan mendatangi
wanita-wanita, lalu menyampaikan nasehat dan peringatan untuk mereka ...
[HR Muslim dan an-Nas±’i].
Dari
hadis-hadis yang dikemukakan di atas dan hadis-hadis sahih lainnya tidak
terdapat keterangan bahwa khutbah Id itu dua kali seperti khutbah Jumat. Dalam
hadis-hadis di atas khutbah disebut dengan bentuk tunggal, tidak dalam bentuk
ganda (mutsanna). Semua itu mengisyaratkan bahwa khutbah ‘Id itu hanya
satu kali. Pada hadis Abu Said (no. 1) dan hadis Jabir (no. 2) di atas tidak
disebutkan bahwa Rasulullah saw mengantarai khutbahnya dengan duduk. Dengan
demikian disimpulkan bahwa khutbah Id itu adalah satu kali tanpa diselingi
dengan duduk.
Memang
terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang menyatakan bahwa Nabi saw
keluar pada hari Idul Fitri atau Idul Adha, kemudian berkhutbah, lalu duduk
sejenak kemudian berdiri lagi. Dalam praktik memang banyak yang mengamalkan
khutbah ‘Id itu dua kali. Hanya saja hadis Ibnu Majah itu daif, karena di dalam
sanadnya terdapat Abu Bahr ‘Abdur-Rahman Ibnu Usman yang dinyatakan daif.
As-Sayyid Sabiq menegaskan, “Semua hadis yang menyebutkan khutbah Id itu dua
kali adalah daif” [As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, I: 322]. An-Nawawi dalam al-Khulashah
menyatakan, “tidak ada satu hadispun yang sahih mengenai pengulangan khutbah
(khutbah dua kali) pada shalat Id. Dasar bahwa khutbah ‘Id itu dua kali adalah
qiyas” [Dikutip oleh az-Zaila‘i dalam Nashb ar-Rayah, II: 221].
Qiyas
tidak dijadikan dasar suatu amalan apabila mengenai hal tersebut tedapat hadis.
Qiyas baru digunakan apabila mengenai suatu masalah tidak ada hadis. Mengenai
khutbah ‘Id ini jelas terdapat hadis-hadis yang menerangkan khutbah ‘Id Nabi
saw dan di dalamnya tidak disebutkan adanya duduk antara dua khutbah. Oleh
karena itu qiyas tidak digunakan dan Majelis Tarjih dan Tajdid menarjih pendapat
yang menyatakan bahwa dalam khutbah ‘Id tidak ada duduk antara dua khutbah
sesuai dengan hadis-hadis dimaksud.
Wallahu
a'lam. *sy)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com