Kasus Pembagian Harta Warisan

Pertanyaan dari J, di Madura (nama dan alamat diketahui redaksi)
Disidangkan pada: Jum’at, 19 Shafar 1428 H / 9 Maret 2007 M


Pertanyaan:

Saya sangat mengharap bantuan penjelasan, bagaimana menurut agama pembagian harta waris yang saya hadapi saat ini dan sekarang sudah menjadi masalah di Pengadilan, yang saya maksud begini.
A (ayah) kawin dengan B (ibu) mempunyai 8 anak (2 orang laki-laki dan 6 orang perempuan) yang hidup cuma 1 orang adalah (C/laki­laki). Kemudian ibu (B) C meninggal dunia, meninggalkan harta hasil gono gini A dan B yaitu, sebidang tanah, rumah diatas tanah ini dengan isinya.

Setelah itu A kawin lagi dengan D (tidak menempati tanah dan rumah tersebut) dan mempunyai 2 orang anak perempuan yaitu, E dan F, kemudian isteri yang kedua (D) meninggal dunia, sedangkan C hidup/ikut juga bersama isteri yang ke-2 itu. Beberapa hari setelah D meninggal dunia, kedua anaknya (E dan F) diboyong ke rumah peninggalan isteri I (B), disitu mereka E dan F tinggal dengan bibinya (adik dari ayah/A). A kawin lagi dengan G (isteri ketiga) di tempat lain, C juga ikut/hidup bersama dengan isteri ke-3 dan akhirnya G meninggal dunia.

Harta gono gini antara A dan D dan juga antara A dan G banyak. Sebelum A meninggal, C sudah diberi tanah kering diatas segel tertulis sedangkan tanah sawah (pemberiannya dengan tidak tertulis). Kemudian C kawin dengan H, pada waktu/saat A masih kawin dengan isteri ke-3 (G), akhirnya perkawinannya C+H punya anak perempuan yaitu (J). Pada waktu J berusia 1 tahun, A meninggal dunia karena sakit. Setelah lewat 40 hari A meninggal, C meninggal karena kena setrum listerik, dengan meninggalkan seorang anak yatim yaitu (J) juga dengan banyak meninggalkan harta, yaitu harta waris dari A yang belum dibagi, kecuali tanah yang pakai surat diatas segel tadi itu.

Yang saya tanyakan, bagaimana cara pembagian harta-harta ini?
1.      Apakah harta hasil gono gini dari isteri yang I (pertama) juga harus dibagi ke E dan F?
2.      Apakah hanya harus dimiliki J kanena sebagai anak dari C?
3.      Jika harus dibagi bagaimana pembagiannya?
4.      Apakah J harus mendapat lagi dari sisa harta yang belum dibagi? Karena yang belum dibagi itu masih ada 4x dari apa yang telah diberikan langsung pada C, atau bagaimana pembagian yang benar menurut Islam atau pemerintah? Sebagai anak yatim J ditelantarkan oleh bibi-bibinya tersebut, yaitu (E+F).

Mohon penjelasannya, tolong didahulukan dari yang lain, karena penjelasan ini akan J jadikan petunjuk dalam sidang di pengadilan yang sudah berlangsung ini.
Atas segala bantuannya J ucapkan terima kasih, semoga betul-betul akan menjadi acuan penjelasan J di pengadilan nanti. 

Jawaban:

Dari keterangan saudara tentang hubungan dalam keluarga dapat kami gambarkan dalam diagram sebagai berikut: 


Urut-urutan yang meninggal dunia:
Pertama           : B
Kedua             : D
Ketiga             : G
Keempat         : A
Kelima            : C
Untuk selanjutnya, terlebih dahulu kami sampaikan bahwa dalam pembagian harta waris menurut Hukum Islam, adalah karena meninggal dunia orang yang mewariskan harta (muwarrits). Oleh karena itu untuk menjawab pertanyaan saudara akan kami lakukan dengan melihat secara kronologis terjadinya kematian orang yang mewariskan hartanya itu, sehingga urut-urutannya adalah sebagai berikut:

A.    Kematian B (isteri pertama); dengan diagram susunan kerabat yang menjadi ahli waris sebagaimana yang saudara sebutkan yaitu:
    


 Di luar diagram tersebut masih memungkinkan adanya ahli waris yang dapat menerima pembagian harta waris, yaitu ayah, ibu, kakek dan nenek dari B jika mereka masih hidup di saat B meninggal dunia. Namun jika sudah tidak ada, maka ahli warisnya hanyalah A suami dan C anak laki-laki, sebagaimana yang saudara sebutkan.

Harta warisnya, yaitu :
  1. Harta bawaaan B ( jika ada).
Hal ini didasarkan kepada Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam: Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh oleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
  1. ½ dari harta yang diperoleh selama perkawinan antara A dan B (harta bersama atau gono gini).
Hal ini didasarkan kepada Pasal 96 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam: Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang masih hidup. Dengan demikian, ½ harta bersama selebihnya diberikan kepada A (suami).
Jadi harta warisnya adalah yang tersebut pada nomor 1 ditambah yang tersebut pada nomor 2.

Cara pembagiannya: Jika ahli warisnya memang hanya suami dan seorang anak laki-laki, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
A (suami) memperoleh ¼ , berdasarkan firman Allah:

Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya.” [QS. an-Nisa’ (4): 12]

C (anak laki-laki) adalah ‘ashabah bin-nafsi, sehingga ia memperoleh harta waris yang ditinggalkan setelah dikurangi oleh bagian ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu (furudlul muqaddarah) yang dalam hal ini adalah A yang telah memperoleh ¼ bagian. Dengan demikian bagian C adalah selebihnya yaitu ¾ bagian dari seluruh harta waris.

B.     Kematian D (isteri kedua); susunan ahli waris dapat dilukiskan dalam diagram sebagai berikut:    



Di luar diagram tersebut masih memungkinkan ahli waris lain untuk memperoleh bagian harta waris, kecuali saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu dan cucu perempuan. Namun jika ahli warisnya memang seperti yang saudara sebutkan, maka mereka itu ialah: A (suami) serta E dan F (dua orang anak perempuan)

Harta warisnya, yaitu:
  1. Harta bawaan D (jika ada).
  2. ½ dari harta yang diperoleh selama perkawinan antara A dan D (harta bersama atau gono gini). Dalam menghitung harta bersama, didasarkan kepada Pasal 94 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam: Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat. 
Cara pembagiannya:
A (suami) memperoleh ¼.
E dan F (dua orang anak perempuan) memperoleh 2/3. Berdasarkan firman Allah:

Artinya: “…dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua (maksudnya dua atau lebih), maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.” [QS. an-Nisa’ (4): 11]

Cara menghitungnya yakni dengan menyamakan penyebut dua bagian itu, yaitu angka ¼ dan angka 2/3, angka penyebutnya adalah 12; sehingga menjadi:
A (suami) memperoleh 3/12
E dan F (dua orang anak perempuan) memperoleh 8/12
Jika dijumlahkan menjadi 11/12. Dengan demikian maka terjadilah kelebihan (radd)1/12. Kelebihan ini diberikan kepada E dan F, karena menurut Jumhur Fuqaha suami atau isteri tidak memperoleh bagian kelebihan (radd).

C.     Kematian G (isteri ketiga).
Ketika G meninggal dunia hendaknya diteliti ahli warisnya selain A sebagai suaminya. Kalau memang masih ada ahli waris yang lain, maka harta waris dibagi kepada ahli waris yang berhak menerima bersama dengan A sebagai suaminya. Tetapi apabila memang ketika G meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris kecuali A sebagai suaminya, maka A satu-satunya ahli waris. Jika A sebagai satu-satunya ahli waris, maka bagian A sebagai suami dan G meninggal dunia tanpa anak, maka bagian A adalah ½ dari harta waris yang ditinggalkan oleh G. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah:

Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.” [QS. an-Nisa’ (4): 12]

Selebihnya tidak diberikan kepada A sebagai suami, karena suami tidak dapat memperoleh kelebihan (radd) dan tidak dapat pula menjadi ‘ashabah (ahli waris) yang menghabiskan semua sisa harta waris. Separoh selebihnya yang diberikan kepada suami, diberikan kepada dzawul arham (kerabat yang tidak termasuk ahli waris yang memperoleh bagian tertentu dan juga bukan ahli waris yang menjadi ‘ashabah).

Sedangkan harta warisnya adalah harta bawaan G (bila ada) dan ½ dari harta bersama yang diperoleh selama perkawinan antara A dan G (gono gini).

D.    Kematian A, dengan diagram susunan ahli wari sebagai berikut:
    
Ahli warisnya yaitu C (seorang anak laki-laki)  serta E dan F  (dua orang anak perempuan).
Harta warisnya adalah semua harta A yang terdiri dari: harta bawaan (bila ada) dan ½ harta bersama yang diperoleh dari perkawinan dengan B, dengan D dan dengan G.
Cara pembagiannya yakni dengan memberikan bagian harta waris untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah:

Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” [QS. an-Nisa’ (4): 11]  

Dengan ketentuan tersebut, maka C memperoleh ½ dari harta peninggalan A, sedangkan E dan F masing-masing memperoleh ¼ harta peninggalan A. Terhadap pembagian harta waris yang akan diberikan kepada C, maka pemberian oleh A kepada C yang dilakukan semasa A masih hidup, diperhitungkan kepada warisan, artinya dimasukkan dalam perhitungan ½ dari harta waris yang diterima oleh C. Hal ini didasarkan kepada pasal 211 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan: Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.

E.     Kematian C. Tidak saudara jelaskan ketika C meninggal dunia, apakah tidak ada ahli waris lain selain J? Misalnya apakah isterinya masih hidup atau sudah meninggal dunia. Jika ketika C meninggal dunia isterinya masih hidup, maka ahli warisnya adalah isteri dan J anak perempuannya, sehingga dalam pembagian harta waris, isteri meperoleh 1/8 dan J seorang anak perempuan memperoleh ½ dari harta waris yang ditinggalkan oleh C. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah:

Artinya: “Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang ditinggalkan.” [QS. an-Nisa’ (4): 12]

Artinya: “Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta.” [QS. an-Nisa’(4): 11]

Dalam perhitungan dilakukan dengan menyamakan angka penyebutnya, yaitu angka ½ dan 1/8, maka penyebutnya adalah angka 8, sehingga isteri memperoleh 1/8 dan J seorang anak perempuan memperoleh 4/8. Jika dijumlahkan menjadi 5/8, sehingga masih ada kelebihan (radd) sebanyak 3/8. Kelebihan ini diberikan kepada J, sebab isteri tidak berhak mendapat radd.

Jika ketika C meninggal dunia, hanya meninggalkan ahli waris J seorang anak perempuan, tidak ada yang lain, maka J memperoleh ½ ditambah dengan kelebihan (radd) harta waris yang ditinggalkan oleh C. Atau dengan kata lain semua harta peninggalan C diwarisi oleh J.

Perlu kami sampaikan bahwa harta peninggalan dapat dibagikan kepada ahli waris apabila telah dikurangi dengan hutang baik hutang kepada orang lain maupun hutang kepada Allah, misalnya zakat, kifarah atau nadzar yang belum ditunaikan, serta wasiyat bila ada.

Demikianlah yang dapat kami jelaskan berdasarkan keterangan ahli waris yang telah saudara sampaikan kepada kami; dan apabila dalam kasus-kasus pembagian harta waris tersebut masih ada ahli waris yang lain tentu akan menjadi berbeda dalam perhitungannya. *dw)

Wallahu a‘lam bish-shawab

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah