Pertanyaan dari:
Pimpinan Ranting
Pemuda Muhammadiyah Desa Trirenggo Bantul, Kompleks Masjid Dakwah Pepe Tegal,
Telp. (0274) 6936959 (Muhammad
Syahruddin, Ketua)
(disidangkan pada
Jum'at, 23 Syakban 1430 H / 14 Agustus 2009 M)
Pertanyaan:
Sehubungan
dengan bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1430 H, kami mengajukan
permohonan pertimbangan pelaksanaan lomba Takbir Idul Fitri, apakah secara
dalil Qur’an dan Hadits dapat dilaksanakan atau tidak? Perlu kami sampaikan
bahwa kegiatan pawai takbir ini telah dilaksanakan secara rutin (minimal 5 tahun terakhir) dan merupakan
kegiatan pengkaderan yang paling efektif. Jika tidak dilakukan, masyarakat akan merasa kehilangan atas kegiatan syiar
Islam tersebut. Namun demikian, terdapat perselisihan dalam struktur dan warga
Muhammadiyah mengenai pelaksanaan kegiatan takbir tersebut. Kami berharap,
perselisihan ini dapat terselesaikan melalui pengkajian oleh Majelis Tarjih Pimpinan
Pusat Muhammadiyah.
Jawaban:
Satu
bagian penting dari bangunan ajaran Islam yang juga bisa diumpamakan menjadi
pondasi tegaknya bangunan itu adalah dakwah, yang secara sederhana bermakna seruan/
ajakan. Umat Islam adalah umat dakwah dan risalah, yang keduanya menjadi ciri khas
tersendiri yang membedakannya dari umat-umat lain. Umat dakwah maksudnya adalah
sekelompok orang yang selalu mengajak kepada kebenaran dan mencegah dari
kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar). Umat risalah maksudnya adalah
sekelompok orang yang menyampaikan visi dan misi, dalam hal ini visi dan misi
Islam yang wilayahnya mencakup keseluruhan alam. Jika
kedua hal ini terlaksana, maka satu sifat ajaran Islam yaitu; ‘rahmatan lil
’alamin’ (rahmat untuk semesta alam) akan terlihat dan terbukti nyata. Di
samping itu, kebenaran ajaran Islam akan semakin tegak. Firman Allah:
Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.” [QS. al-Anbiya (21): 107]
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ...
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah.” [QS. Ali ‘Imran (3): 110]
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali ‘Imran (3): 104]
Satu
metode untuk menuju ke arah pembuktian tersebut adalah dengan –dalam bahasa
ilmu dakwah disebut- syiar dakwah. Syiar dakwah dapat dilakukan dengan bermacam
metode dan bentuk asalkan tetap berjalan sesuai dengan koridor ajaran Islam. Terkait pertanyaan dari saudara, lomba takbir
keliling bertepatan dengan momentum dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha)
dapat dimasukkan dalam kategori syiar dakwah ini.
Selanjutnya,
jika ditelisik, masalah takbir pada dua hari raya, termasuk hal yang
dituntunkan oleh Islam. Untuk takbir pada hari Idul Adha dan hari-hari Tasyriq
juga ketika bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, beberapa dalil yang dapat
dirujuk antara lain firman Allah swt serta beberapa hadits dan atsar. Di
antaranya:
Artinya: “Dan
berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.
Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada
dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari
dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan
bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan
kepada-Nya.” [QS al-Baqarah
(2): 203]
Imam Ibnu Katsir berkomentar: “Termasuk dalam
cakupan ayat ini adalah berdzikir sebentar selepas shalat lima waktu, meski
dzikir tidak dibatasi pada satu waktu tertentu (tapi bisa dilakukan kapanpun).
Dalam masalah ini terdapat banyak pendapat para ulama, namun yang sering dilakukan
adalah (takbir) seusai shalat subuh pada hari Arafah hingga usai shalat ashar
pada hari tasyriq terakhir.” (Tafsir Ibnu Katsir, vol.I/651)
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ
عَاصِمٍ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ
نَخرُجَ يَوْمَ اْلعِيْدِ، حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكَرَ مِنْ خِدْرِهَا، حَتَّى نُخْرِجَ
الْحَيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيْرِهِمْ وَيَدْعُوْنَ
بِدُعَائِهِمْ، يَرْجُوْنَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ.
رواه البخاري
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Umar
bin Hafsh, telah menceritakan pada kami ayahku dari Ashim dari Hafshah dari
Ummu Athiyah, berkata: ‘Kami diperintahkan pergi shalat ’Idul (Fitri) bahkan
anak-anak gadis pergi keluar dari pingitannya. Begitu juga wanita-wanita yang
sedang haidh, tetapi mereka ini hanya berdiri di belakang orang banyak, turut
takbir dan berdoa bersama-sama. Mereka mengharapkan memperoleh berkah dan
kesucian pada hari itu’.” [HR. al-Bukhari: 971]
وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُكبِّرُ فِي قُبَّتِهِ
بِمِنىً فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ اْلمَسْجِدِ فَيُكَبِّرُونَ وَيُكبِّرُ أَهْلُ اْلأَسْوَاقِ
حَتَّى تَرْتَجَّ مِنىً تَكْبِيراً. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُكَبِّرُ بِمِنىً تِلْكَ
اْلأَيَّامَ وَخَلْفَ الصَّلَوَاتِ وَعَلَى فِرَاشِهِ وَفِي فُسْطَاطِهِ وَمَجْلِسِهِ
وَمَمْشَاهُ تِلْكَ اْلأَيَّامَ جَمِيْعاً. وَكَانَتْ مَيْمُونَةُ تُكَبِّرُ يَوْمَ
النَّحْرِ، وَكَانَ النِّسَاءُ يُكَبِّرْنَ خَلْفَ أََبَانَ بْنِ عُثْمَانَ وَعُمَرَ
بْنِ عَبْدِ اْلعَزِيْزِ لَيَالِيَ التَّشْرِيقِ مَعَ الرِّجَالِ فِي اْلمَسْجِدِ.
[رواه البخاري، باب التكبيرِ أَيّامَ مِنىً، وَإِذا غَدا إِلى عَرَفةَ]
Artinya: “Umar (ra.) bertakbir dalam kubahnya di Mina kemudian
orang-orang di dalam masjid mendengarnya, merekapun (ikut) bertakbir, juga
orang-orang di pasar (ikut) bertakbir hingga Mina ramai dengan kumandang
takbir. Ibnu Umar juga bertakbir di Mina pada hari-hari itu, di samping juga seusai
shalat, di atas dipannya, di serambi (rumahnya), pada majelisnya, dan (orang-orang)
di jalanan pada hari-hari itu. Maimunah juga bertakbir ketika hari raya kurban.
Para perempuan juga bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul
Aziz pada malam hari-hari tasyriq bersama para laki-laki di dalam masjid.” [HR. al-Bukhari, bab Takbir pada Hari-hari di Mina, dan ketika Berangkat
menuju Arafah]
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هٰرُونَ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ
الزُّهْرِي أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ
اْلفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يُأْتَي اْلمُصَلَّى وَحَتَّى يُقْضَي الصَّلاَةَ فَإِذَا
قَضَى الصَّلاَةُ قُطِعَ التَّكْبِيرُ.
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Yazid bin Harun dari Ibnu
Abi Dzi’bu dari az-Zuhri bahwasannya Rasulullah Saw keluar pada hari fitri lalu
ia bertakbir hingga sampai ke tempat shalat dan hingga shalat ditunaikan.
Apabila shalat ditunaikan, takbirpun berhenti.” [Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah, 5611, dengan sanad shahih dan didukung oleh jalur lain
dari Ibnu Umar]
Dari
dalil-dalil di atas, para ulama mazhab fikih yang empat berkesimpulan bahwa takbir,
baik untuk hari raya Idul Fitri dan Idul Adha’ disunahkan. Demikian menurut
mazhab Syafi’i dan Maliki serta dipegangi oleh Jumhur ulama. Mazhab Hanbali
menyimpulkannya wajib, sedang mazhab Hanafi tidak disunahkan bertakbir. (Ibnu
Qudamah; al-Mughni, vol 3/255, Asy-Sfai’i; al-Umm, vol. 4/286, ).
Untuk waktu kapan dimulainya takbir, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan
Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa takbir dimulai setelah matahari tenggelam pada
malam ’Id sampai dengan dimulainya shalat ’Id dan atau ketika Imam selesai berkhutbah menurut Imam Ahmad. (Majmu’
al-Fatawa, vol. 24/221). Sedang untuk lafal takbir, banyak dan luas sekali
riwayat seputar hal ini sehingga para
ulama seperti Imam Malik, al-Qurthubi, dan ash-Shan’aniy menganjurkan kita
untuk memilih salah satunya. Di antaranya sebuah riwayat sebagaimana termaktub
dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih hasil Muktamar Tarjih ke-20 di Garut,
Jawa Barat tahun 1976, yaitu:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ
عَنْ إِبرٰهِيْمَ قَالَ: كَانُوا يُكَبِّرُونَ يَوْمَ عَرَفَةَ وَأَحَدُهُمْ مُسْتَقْبِلَ
اْلقِبْلَةِ فِي دُبُرِ الصَّلاَةِ: اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَٰهَ
إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، وَ ِللهِ اْلحَمْدُ.
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Abu Bakar, menceritakan
pada kami Jarir dari Mansur dari Ibrahim, berkata: ”Mereka bertakbir di hari
Arafah dan salah seorang di antara mereka menghadap kiblat setelah tunaikan
shala: Allahu Akbar (Allah Maha Besar), Allahu Akbar, tiada Tuhan selain Allah,
dan Allahu Akbar, Allahu Akbar, dan pujian bagi Allah.” [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 5640]
Kesimpulannya,
mengenai masalah lomba takbir keliling dengan melihat nash-nash di atas dan
kaitannya dengan syiar agama Islam, maka tidak mengapa diadakan kegiatan ini. Kegiatan
lomba takbir ini tidak dikategorikan sebagai rangkaian ibadah Ramadhan dan Idul
Fitri atau Idul Adha. Tapi lebih kepada kategori syiar agama Islam. Bisa juga
dikategorikan sebagai salah satu budaya-tradisi yang dihasilkan oleh Islam. Tentu
saja pihak penyelenggara dan peserta tetap harus menjaga norma-norma ajaran Islam,
di antaranya mengetahui dan melaksanakan adab berjalan dalam Islam. Jangan
sampai kegiatan ini malah mengganggu perjalanan orang-orang yang sedang lewat
di jalan yang digunakan route takbir keliling, membuat gaduh karena diiringi
bunyi-bunyian yang mengganggu kedamaian dan ketenangan, perlu diperhatikan juga
ketepatan pengucapan lafal takbir, hingga memakai kostum yang sopan sesuai
dengan ajaran Islam. Juga agar jangan sampai niat awal diadakannya kegiatan ini
-seperti tersirat dalam butir pertanyaan-, hanya sekedar untuk menarik dan
meningkatkan roda pengkaderan organisasi. Tapi, utamakan diniatkan dengan
ikhlas demi syiar agama Islam.
Wallahu a'lam bish-shawab. *mr)
Download File |
Pimpinan Pusat Muhammadiyah