Penanya:
Budi
Warsono, Jalan Janti Yogyakarta
Pertanyaan:
1.
Apakah
khutbah shalat Idul Fitri dan Idul Adha dimulai dengan takbir?
2. Apakah
khutbah Idul Fitri dan Idul Adha satu khutbah atau dua khutbah dengan duduk
di antara dua khutbah?
Jawaban:
Untuk menjawab pertanyaan saudara baik nomor 1 maupun nomor 2, akan
kami sampaikan terlebih dahulu Keputusan
Muktamar Tarjih ke XX di Garut pada tanggal 18 s.d. 23 Rabi’ul Akhir 1396 H / 18
s.d. 23 April 1976, yang berbunyi: “Sesudah
selesai shalat hendaklah Imam membaca khutbah satu kali, dimulai dengan “Al
Hamdulillah” dan menyampaikan nasehat kepada para hadirin dan menganjurkan
untuk berbuat baik.” Berdasarkan dalil:
لِحَدِيْثِ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ كَانَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى
إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ
وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ
أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ. [رواه البخاري ومسلم واللفظ
للبخاري].
Artinya: Beralasan
hadits Abu Sa’id yang mengatakan: “Pada hari raya Fithri dan Adlha Rasulullah
saw kalau pergi ke tempat shalat, maka yang pertama beliau kerjakan adalah
shalat, kemudian apabila telah selesai beliau bangkit menghadap orang banyak
ketika mereka masih duduk pada shaf-shaf mereka. Lalu beliau menyampaikan
peringatan dan wejangan kepada mereka dan mengumumkan perintah-perintah pada
mereka, dan jika beliau hendak memberangkatkan angkatan atau mengumumkan
tentang sesuatu beliau laksanakan kemudian pulang.” [HR. al-Bukhari dan
Muslim, lafadz al-Bukhari]
وَلِحَدِيْثِ جَابِرٍ قَالَ شَهِدْتُ
مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاَةَ يَوْمَ الْعِيدِ
فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ
قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلاَلٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَحَثَّ عَلَى
طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ
فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ. الحديث [رواه مسلم والنسائى] وَفِى رِوَايَةٍ
عَنْهُ عِنْدَ مُسْلِمٍ فَلَمَّا فَرَغَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَزَلَ وَ أَتَى النِّسَاءَ فَذَكَرَهُنَّ ... الحديث.
Artinya: Beralasan
pula hadits Jabir yang mengatakan: “Pernah aku mengalami shalat hari raya
bersama Rasulullah saw, lalu dimulai shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan
iqamah. Kemudian beliau bangkit bersandar pada Bilal, lalu beliau menganjurkan
orang tentang taqwa kepada Allah dan menyuruh patuh kepada-Nya dan menyampaikan
nasehat dan peringatan kepada mereka. Lalu beliau mendatangi para wanita dan
menyampaikan nasehat dan peringatan kepada mereka …” dan seterusnya hadits.
[HR. Muslim dan an-Nasai]. Dalam riwayat Muslim dengan kalimat: “Setalah
Nabiyullah saw selesai, beliau turun dan mendatangi para wanita dan menyampaikan
peringatan-peringatan kepada mereka … dan seterusnya hadits.”
Dalam hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, tidak ada
keterangan tentang memulai khutbah Id dengan takbir. Demikian pula tidak ada
keterangan tentang khutbah Id dengan dua khutbah. Oleh karena dalam hadits
tersebut tidak disebutkan bahwa khutbah Id dimulai dengan takbir, maka dalam
khutbah Id ini, digunakan hadits yang menjelaskan praktik Rasulullah saw dalam
memulai khutbah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits:
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا
تَشَهَّدَ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ ... [رواه أبو داود]
Artinya: “Diriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw jika memulai khutbah
dengan mengucapkan ‘al-hamdulillah’ …”. [HR. Abu Dawud].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ كَلاَمٍ
لاَ يُبْدَأُ فِيهِ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ فَهُوَ أَجْذَمُ. [رواه أبو داود].
Artinya: “Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Setiap pidato yang
tidak dimulai dengan ‘al-hamdulillah’, maka tidak barakah.” [HR. Abu Dawud].
Memang ada hadits yang menyatakan:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ
بْنِ عُتْبَةَ قَالَ السُّنَّةُ أَنْ تُفْتَتَحَ اْلخُطْبَةُ بِتِسْعِ
تَكْبِيْرَاتٍ تَتْرَى وَبِسَبْعِ تَكْبِيْرَاتٍ تَتْرَى. [رواه البيهقي].
Artinya: “Diriwayatkan
dari Abdullah Ibnu Abdullah Ibnu ‘Utbah ia berkata: Merupakan sebuah sunnah
Nabi membuka khutbah dengan tujuh takbir secara pelan-pelan dan yang kedua
dengan sembilan takbir secara pelan-pelan.” [HR. al-Baihaqi].
Asy-Syaukani dalam Nailul-Authar Juz III halaman 374
mengatakan bahwa Abdullah Ibnu Abdullah adalah seorang tabi’in, maka
berdasarkan ushulul-hadits ia tidak dapat diterima kalau ia mengatakan ‘sebagai
suatu sunnah Nabi’. Dengan demikian dapat kiranya dikatakan bahwa hadits ini
termasuk hadits maqtu’ yang oleh karenanya hadits tersebut tidak maqbul,
sehingga tidak dapat diamalkan isinya. Dengan tegas Ibnul-Qayyim mengatakan
bahwa memulai khutbah Idain (Fithri dan Adlha) dengan takbir, sama sekali tidak
ada sunnah yang dapat dijadikan dasarnya. Sebaliknya yang disunnahkan adalah
memulai segala macam khutbah dengan ‘al-hamdu’. Sejalan dengan pendapat
itu, Prof. Dr. TM Hasbi Ash-Shiddieqy, mengatakan tidak ada keterangan yang
kuat yang menerangkan bahwa Nabi saw memulai khutbah dengan takbir (Pedoman
Shalat, halaman 458).
Mengenai dua khutbah dalam shalat Id dengan duduk di antara dua
khutbah tersebut, juga ditemukan hadits sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ
بْنِ عُتْبَةَ قَالَ السُّنَّةُ أَنْ يَخْطُبَ اْلإِمَامُ فِي اْلعِيدَيْنِ
خُطْبَتَيْنِ يُفَصِّلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوْسٍ. [رواه الشافعي].
Artinya: Diriwayatkan
dari ‘Abdullah Ibnu ’Abdullah Ibnu ‘Utbah ia berkata: Merupakan sebuah sunnah Nabi seorang imam berkhutbah
dalam Idain (Fithri dan Adlha) dengan dua khutbah dan memisahkan antara
keduanya dengan duduk.” [HR. asy-Syafi’i].
عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَخَطَبَ قَائِمًا
ثُمَّ قَعَدَ قَعْدَةً ثُمَّ قَامَ. [رواه ابن ماجه].
Artinya: “Dari
Jabir ia berkata Rasulullah saw keluar pada Idul Fithri atau Idul Adlha,
kemudian berkhutbah dengan berdiri lalu duduk sejenak kemudian berdiri lagi.” [HR.
Ibnu Majah].
Terhadap hadits yang diriwayatkan oleh asy-Syafi’i, asy -Syaukani
-sebagaimana telah dikemukakan di atas,- menerangkan bahwa Abdullah Ibnu
Abdullah adalah seorang tabi’in sehingga tidak dapat diterima perkataannya yang
menyatakan ‘sebagai sunnah Nabi’. Dengan kata lain hadits ini termasuk hadits maqtu’
yang oleh karenanya tidak maqbul.
Terhadap hadits riwayat Ibnu Majah, dalam sanadnya terdapat Sa’id
Ibnu Muslim yang disepakati kedlaifannya (Sunan Ibnu Majah, Juz I,
halaman 408). Dengan demikian hadits inipun tidak maqbul. Sejalan dengan
keterangan ini, an-Nawawi dalam al-Khulashah mengatakan: Tak ada satupun dalil
yang kuat yang menetapkan bahwa khutbah Id
dilakukan dengan dua khutbah.
Dari keterangan yang telah disampaikan di atas, dan berdasarkan hadits-hadits yang dijadikan
alasan Keputusan Muktamar Tarjih ke XX yang telah dikutip sebelumnya, Majelis
Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai saat ini tetap berpendapat
bahwa khutbah shalat Idul Fitri dan Idul Adha tidak dimulai dengan takbir,
melainkan dengan ‘al-hamdu’ (tahmid) dan bahwa khutbah shalat Idul
Fitri dan Idul Adha hanya satu khutbah, bukan dua khutbah dengan disertai
duduk sejenak di antara keduanya.
Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com