DAN MEMBELANJAKAN HARTA UNTUK GADIS BUKAN MUHRIMNYA
Pertanyaan
Dari:
B,
Cirebon
(Disidangkan pada hari Jum’at, 14 Shafar
1431 H / 29 Januari 2010)
Pertanyaan:
As-Salamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh...
Saya seorang simpatisan Muhammadiyah,
sudah lama dan sering membaca halaman-halaman yang ada dalam majalah Suara
Muhammadiyah serta sudah memiliki buku Tanya Jawab Agama yang berjumlah
lima jilid dan sudah barang tentu diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah pula.
Tapi sejauh ini pula saya belum menemukan hal-hal yang menerangkan tentang (a)
hukumnya onani yang hanya menerangkan sebatas batalnya puasa saja.
Sedangkan hukum onani itu sendiri belum ada keterangannya.
Dan hal lain yang belum pernah saya
temukan baik dalam buku Tanya Jawab Agama maupun dalam Majalah Suara
Muhammadiyah yaitu sesuatu yang berhubungan dengan hal membelanjakan harta,
baik tentang segi hukumnya dan berlaku bagi warga muslim. Tentunya yaitu tentang
pembahasan bagaimana hukumnya seorang suami atau seorang laki-laki yang
berstatus sudah berkeluarga masih juga mau melayani (atau memberi) pertolongan
(pada) seorang gadis non muhrim tanpa sepengetahuan istrinya. Apa hukumnya
berdosa dengan dasar perselingkuhan tersebut. Misalnya karena laki-laki
itupun mungkin juga menyenangi gadis tersebut. Sedang gadis tersebut
sangat memerlukan sekali pertolongan tersebut yang berupa uang guna keperluan
sekolahnya yang dia memang masih sekolah.
Yang jadi pertanyaan saya (b) bagaimana
sikap saya kepadanya yang harus saya lakukan agar diri saya tidak mendapat dosa
dari perbuatan saya sendiri. Dengan catatan saya tak pernah mengganggunya, tapi
saya menyukainya … dan anehnya diapun menganggap saya sebagai teman orang
tuanya. Mohon penjelasannya dan dapat dimuat di majalah Suara Muhammadiyah yang
sudah barang tentu saya tunggu. Terima kasih atas perhatian pengasuh dari PP
Muhammadiyah dan mohon maaf saya tidak dapat mencantumkan nama saya yang
sebenarnya.
Wa billahit-taufik wal-hidayah.
Was-Salamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa
barakatuh
Berikut jawaban atas pertanyaan saudara di
atas:
1. Tentang masalah onani.
Onani (istimnâ’) atau masturbasi
bagi perempuan adalah (perbuatan) mengeluarkan mani bukan melalui jalan
persetubuhan, baik dengan telapak tangan atau dengan cara yang lainnya (Mu’jam
Lughah al-Fuqahâ, vol. I: 65). Namun penjelasan dalam kitab-kitab fikih,
hemat kami cenderung pada kesimpulan bahwa onani adalah mengeluarkan mani atau
sperma dengan disengaja dan dilakukan dengan menggunakan tangan, baik tangannya
sendiri, tangan istri atau tangan budak perempuannya ketika syahwat sedang
muncul dan atau memuncak.
Mengenai perbuatan ini, para fuqaha yang sejak
dulu sudah membahasnya dalam kitab-kitab fikih karangan mereka terbagi menjadi
beberapa kelompok. Kelompok pertama
yaitu kalangan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zaidiyah yang mengharamkannya.
Argumentasi mereka adalah bahwa Allah memerintahkan untuk menjaga kemaluan
dalam semua perilaku, kecuali untuk istri dan budak yang dihalalkan (milku
al-yamîn).
Jika seseorang melampaui dua hal ini dan
dia beronani, maka dia dianggap seperti kaum Ad yang melampaui batas dari apa
yang dihalalkan Allah dan melakukan sesuatu yang diharamkan. Allah berfirman:
Kelompok kedua adalah kalangan ulama Hanafiyah yang berpendapat
bahwa onani haram dalam kondisi tertentu dan wajib dalam kondisi yang lain.
Mereka mengatakan: “Onani menjadi wajib, jika dia takut melakukan zina kalau
tidak beronani, sesuai dengan kaidah fikih:
“Mengambil perbuatan teringan dari dua
mudarat (bahaya yang ada)”.
Sedangkan mereka yang mengatakan haram, jika
dilakukan untuk memancing nafsu. Mereka mengatakan: “Tidak apa-apa dengan
onani, jika nafsu sudah menguasai dirinya sementara dia belum memiliki istri
atau budak wanita dengan tujuan mencari kestabilan”.
Kelompok ketiga adalah kalangan ulama mazhab Hambali yang
mengatakan bahwa onani hukumnya haram, kecuali jika dia takut terjebak dalam
perzinaan atau takut atas kesehatannya, sementara dia belum mempunyai istri
atau budak wanita. Dia juga
tidak mampu untuk menikah. Maka dalam kondisi seperti ini dia dibolehkan
beronani.
Selain ketiga kelompok di atas, terdapat pendapat independen dari beberapa sahabat, tabi’in dan ulama lainnya di antaranya: Abdulah bin Umar ra., Abdulah bin Abbas ra., Atha’, al-Hasan, dan Ibnu Hazm. Ibnu Abbas ra. dan al-Hassan membolehkannya. Sedang Abdulah bin Umar ra. dan Atha’ memakruhkannya. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani hukumnya makruh dan tidak berdosa, sebab seseorang menyentuh kemaluan sendiri dengan tangan kirinya hukumnya mubah sesuai dengan ijmak (kesepakatan para ulama). Jika memang mubah, maka hukum tidak akan berubah dari sifat mubah, kecuali sengaja mengeluarkan mani. (Fiqh as-Sunnah, vol. 3, h.424-426). Oleh sebab itu hukum asalnya tetap tidak haram, sebagaimana firman Allah:
... وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ....
Artinya: “... sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu ...” [QS.
al-An'âm (6): 119]
Ayat ini tidak
menunjukkan keharamannya. Dengan demikian, onani hukumnya halal, sebagaimana
firman Allah:
Artinya:“Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ...” [QS. al-Baqarah
(2): 29]
Dari
berbagai macam pendapat di atas, hemat kami bahwa onani hukumnya adalah makruh
karena cenderung tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Dan dalam kondisi
tertentu dibolehkan, namun tidak boleh dilakukan secara rutin atau terus
menerus. Kondisi tertentu itu antara lain seperti untuk kasus sepasang
suami-istri yang terpisahkan tempat tinggalnya. Para sahabat pun dalam sebuah
riwayat pernah melakukan onani ketika sedang bepergian melakukan perang.
Juga dibolehkannya seorang istri yang sedang dalam keadaan haid membantu
keluarnya mani sang suami (maaf, dengan tangan istri tersebut) di mana dalam
keadaan tersebut sang istri sedang terhalang secara syar’i (agama) untuk
melakukan hubungan suami istri. Sebagaimana merujuk pada sebuah riwayat dalam
Shahih Muslim kitab al-Haidh (646):
حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ ، أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا، إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ، لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ، فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ النَّبِيَّ . فَأَنْزَلَ الله تَعَالَى: وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ … إِلَى آخِرِ الآيَةِ. (البقرة الآية: 222) فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ :اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ. [رواه مسلم]
Artinya: “Telah
menceritakan pada kami Tsabit dari Anas ra. bahwa (suatu kebiasaan)
orang-orang Yahudi apabila wanita-wanita mereka sedang haid, mereka tidak mau
makan bersama-sama, bahkan tidak untuk tinggal serumah. Maka para sahabat
bertanya perihal itu, lalu turun ayat: “Mereka bertanya tentang haid. Katakanlah: Haid itu kotor. Karena itu jauhilah
wanita-wanita itu selama masa haid.” [QS. al-Baqarah (2): 222]. Lalu Rasulullah
saw. bersabda: “Kamu boleh melakukan segala-galanya selain bersenggama.” [HR.
Muslim]
Selain itu, artinya bagi mereka yang
membiasakan beronani dan tidak dalam kondisi tertentu, maka ia telah bermaksiat
dan melakukan perbuatan yang terkategori pengantar menuju zina. Padahal
Allah berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya
zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” [QS.
al-Isra’ (17): 3
Dari segi kesehatan, jika onani atau
masturbasi itu sering dilakukan dan menjadi kebiasaan, demikian dapat menggangu
kesehatan jasmani (susunan syaraf) dan rohaninya (mental-pikiran). Juga dapat
melemahkan potensi kelamin serta kemampuan ejakulasinya, sehingga sel sperma
lelaki cenderung gagal bertemu dengan sel telur wanita (ovum) (al-Jurjawi,
1931:198-199).
Beberapa langkah yang dianjurkan agar
setiap muslim menjauhi dan terhindar dari perbuatan onani ini di antaranya
sebagai berikut:
a. Menyibukkan diri dengan kegiatan atau
aktifitas yang bermanfaat.
b. Menjauhi
hal-hal yang dapat mengarah dan menyebabkan maksiat dan nafsu syahwat seperti
bacaan, film, dan media yang berbau pornografi dan lain-lainnya.
c. Menikah
jika seseorang tersebut sudah mampu. Namun jika belum mampu, sebagaimana
Rasulullah saw. menganjurkannya untuk berpuasa.
2. Tentang kasus yang dihadapi oleh saudara di atas dan pertanyaan-pertanyaan terkait yang diajukan.
Salah satu karakteristik ajaran Islam
adalah rahmatan lil-alamîn. Bahwa Islam sebagai rahmat bagi semesta
alam. Satu maksud dari karateristik tersebut bahwa ajaran Islam adalah ajaran
yang sarat akan manfaat dan mashlahat, baik pada tataran individu maupun sosial
kemasyarakatan. Oleh karena itu Islam mengajarkan pemeluknya untuk memberikan
manfaat dan mashlahat kepada orang lain atau sesamanya.
Demikian tercermin pula jika kita melihat
konsep harta dalam Islam. Harta dalam Islam adalah titipan Allah SWT,
pemilik seluruh alam raya dan segala isinya, termasuk pemilik harta benda.
Seseorang yang beruntung memperolehnya pada hakikatnya hanya menerima titipan
amanah untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemiliknya
(Allah SWT). Manusia yang dititipi itu berkewajiban memenuhi ketetapan yang
digariskan sang Pemilik, baik dalam pengembangan harta maupun penggunaannya.
Zakat merupakan salah satu ketetapan Allah
menyangkut harta, pun demikian dengan shadaqah dan infaq. Karena
Allah SWT menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia
seluruhnya, sehingga ia harus diarahkan guna kepentingan bersama. Manusia
adalah makhluk sosial yang berasal dari satu keturunan, sehingga manusia satu
dengan yang lainnya adalah saudara. Kebersamaan dan persaudaraan inilah yang
mengantarkan kepada kesadaran untuk menyisihkan sebagian harta kekayaan,
khususnya kepada mereka yang membutuhkan, baik dalam bentuk kewajiban zakat,
maupun shadaqah dan infaq.
Allah
berfirman:
Artinya: “Berimanlah
kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di
antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang
besar.” [QS. al-Hadid (57): 7]
Oleh
karena itu, perbuatan saudara memberikan pertolongan berupa biaya sekolah
terhadap gadis yang masih berstatus sekolah tersebut dikarenakan tidak mampu,
sesuai dengan firman Allah di atas. Jika perbuatan tersebut didasari niat
ikhlas membantu karena Allah SWT tanpa tendensi (motif) apapun dan dilakukan
dengan cara-cara yang benar, maka Insya Allah ridha Allah mengiringi saudara.
Terkait dengan dilema kasus yang saudara hadapi, dalam hal ini kami
menganjurkan beberapa hal sebagai berikut:
a. Hendaklah
pengeluaran harta tersebut diketahui dan dimusyawarahkan dengan istri anda.
Libatkanlah istri dalam hal pemberian yang bisa dikatakan beasiswa kepada
gadis yang anda tolong tersebut.
b. Perlu
diingat bahwa harta yang anda peroleh disebut harta bersama (suami-istri). Jika
pengeluarannya tanpa sepengetahuan istri, maka demikian termasuk berdosa.
c. Hindarilah
berdua-duaan dengan gadis yang anda ketahui bukan anggota keluarga (mahram)
tersebut. Mengingat perbuatan tersebut termasuk kategori khalwat yang
diperingatkan oleh sabda Rasulullah yang dapat menghantarkan pada
perselingkuhan (yang dapat merusak keharmonisan rumah tangga) dan bahkan
perzinaan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ ... [رواه مسلم، 1، كتاب الحج، 424/1341]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas
ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw ketika beliau berkhutbah,
bersabda (sebagai berikut): Janganlah seorang laki-laki menyendiri dengan
seorang perempuan, kecuali perempuan tersebut bersama mahramnya, …” [HR.
Muslim; Kitab al-Hajj: 424/1341]
Demikian
jawaban dari kami, semoga dapat memberikan solusi dan pencerahan atas persoalan
saudara.
Wallahu
‘alam bish-shawâb. *mr)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com