Hukum Membuat Patung dan Melukis


Pertanyaan Dari:
Amrillah, dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Bali,
immbali2012@yahoo.com
(disidangkan pada hari Jum’at, 9 Safar 1434 H / 21 Desember 2012 M)

Pertanyaan:

Ada salah satu kader kita, dia adalah mahasiswa seni rupa di IKIP PGRI Bali, dia bertanya: Bagaimana hukum membuat patung dan melukis? Karena dia selalu ditakut-takuti akan dituntut oleh Allah untuk membuatkan nyawa terhadap keduanya. Mohon penjelasan.
 
Jawaban:

Terima kasih kepada saudara Amrillah yang telah menyampaikan pertanyaan kepada kami. Pertanyaan yang saudara ajukan tersebut sebenarnya sudah ada pembahasannya dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah pada bab Hukum Gambar (cetakan III hlm. 283) dan lebih lengkap lagi terdapat dalam Tanfidz Keputusan Munas Tarjih ke-23 di Banda Aceh tentang Kebudayaan dan Kesenian dalam Perspektif Islam halaman 1-12. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan serupa juga telah bayak ditanyakan oleh orang lain dan telah dijawab oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah lewat fatwa-fatwanya yang antara lain terdapat dalam Buku Tanya Jawab Agama I: Masalah Aqidah no. 10; II: Masalah kesenian dan Adat; V: Masalah Hukum Gambar dan Menggambar.

Dengan membaca referensi-referensi tersebut sebenarnya pertanyaan saudara sudah dapat terjawab dengan cukup lengkap. Namun untuk mempertegas dan memfokuskan kepada pertanyaan yang saudara ajukan, maka kami mencoba menyajikan kembali jawaban-jawaban tersebut yang sekiranya relevan dengan pertanyaan saudara di atas.

Mengenai hukuman di hari Kiamat bagi para pembuat patung dan lukisan yaitu diperintahkan untuk membuatkan nyawa kepada benda-benda tersebut, bersumber pada sebuah hadis Muttafaq ‘alaih (disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim) dari sahabat Ibnu Umar dengan lafal sebagai berikut,



عَنْ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa di hari kiamat. Kepada mereka dikatakan: Hidupkanlah apa-apa yang kamu buat itu.” [HR. Muslim, II: 323; al-Bukhari, VII: 85, hadis no. 5957-8]

Jika dilihat secara parsial, yaitu dengan hanya melihat hadis tersebut, maka kesimpulan yang didapatkan akan mengarah kepada pengharaman pembuatan patung dan lukisan. Namun dalam hal ini, Majelis Tarjih menggunakan metode Istiqra’ Ma’nawi. Sebuah metode pengambilan hukum dengan cara mengumpulkan seluruh dalil-dalil yang sejenis dan mengkomparasikannya, sehingga akan menghasilkan sebuah hukum yang komprehensif tidak parsial.

Dalil-dalil lain yang sejenis dengan tema hadis di atas namun memiliki sudut pandang yang  berbeda antara lain adalah sebagai berikut:
Firman Allah swt dalam surat Saba’ (34): 13;



يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَاسِيَاتٍ.

Artinya: “Mereka (para jin itu) membuatkan untuknya (Sulaiman) apa yang ia kehendaki berupa gedung-gedung tinggi, tamatsil (patung-patung) dan piring-piring besar seperti kolam dan periuk yang tetap berada di tungkunya.” [QS. Saba’ (34): 13], (Tanya Jawab Agama V:225).

Hadis Nabi Muhammad saw:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِي. [رواه البخاري]

Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah ra ia berkata: Aku selalu bermain boneka di dekat Nabi saw. Aku mempunyai beberapa orang teman yang bermain bersamaku. Apabila Rasulullah saw datang mereka bubar, lalu beliau mengumpulkan mereka untuk bermain kembali bersamaku.” [HR. al-Bukhari, VII: 133, hadis no. 6130]

Jika diperhatikan secara seksama, maka zahir-nya dalil-dalil di atas bertentangan satu sama lain. Yaitu, hadis pertama membicarakan tentang hukuman bagi pembuat gambar, namun ayat al-Qur’an dan hadis yang kedua menunjukkan kebolehan membuat dan mempunyai gambar dan boneka/patung. Oleh karena itu, dalam masalah ini Majelis Tarjih melakukan pengkompromian terhadap beberapa dalil yang nampak bertentangan tersebut. Hasilnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam Himpunan Putusan Tarjih hlm. 281 yang menyatakan: gambar (dalam kasus ini termasuk juga patung) itu hukumnya berkisar kepada ‘illat (sebabnya), ialah ada 3 macam:
a.    Untuk disembah, hukumnya haram berdasarkan nash.
b.    Untuk sarana pengajaran hukumnya mubah.
c.    Untuk perhiasan ada dua macam: pertama, tidak dikhawatirkan mendatangkan fitnah, hukumnya mubah; kedua, mendatangkan fitnah ada dua macam: yang pertama, jika fitnah itu kepada maksiat hukumnya makruh, dan jika fitnah itu kepada musyrik hukumnya haram. (Tanya Jawab Agama V: 224).

Dari pemaparan di atas perlu kiranya kami menjelaskan dua istilah yang kami anggap penting untuk diketahui yaitu kata fitnah dan maksiat.

Fitnah dalam bahasa arab secara bahasa memiliki banyak makna. Bahkan dalam kamus Lisanul-Arab Ibnu Mandzur kata fitnah mempunyai berbagai macam makna, mulai dari makna yang paling ringan seperti aib/noda sampai makna terberat seperti kesesatan dan kekufuran (Kamus Lisanul-Arab Ibnu Mandzur, Babul-Fa, XIII: 317-318). Kata yang kedua adalah maksiat, secara bahasa kata maksiat adalah lawan dari ketaatan dan memiliki beberapa makna, antara lain adalah kedurhakaan dan kesalahan (Kamus Lisanul-Arab Ibnu Mandzur, Babul-‘Ain, VI: 293-295). 

Untuk menghindari pemaknaan yang keliru, penting kiranya kami menambahkan catatan bahwa makna fitnah dan maksiat yang mengarah kepada hukum makruh di atas hanya pada fitnah dan maksiat yang bermakna ringan sebatas kesalahan, misalnya seperti membuat karikatur tokoh nasional untuk mengejeknya. Namun jika yang dimaksud maksiat adalah lawan dari ketaatan dan merupakan perbuatan durhaka maka sudah jelas hukumnya adalah haram, misalnya saja membuat lukisan yang seronok yang dapat menimbulkan syahwat bagi yang melihatnya dan membuat patung para dewa untuk disembah.

Namun perlu diperhatikan bahwa, perbuatan kesalahan yang terus-menerus dilakukan juga dapat mengarah kepada kemaksiatan yang berat dan menjadi dosa besar, oleh karena itu meskipun hukumnya dikatakan makruh namun lebih baik untuk menghindari perbuatan-perbuatan tersebut sejauh-jauhnya.

Keputusan mengenai hukum menggambar diambil berdasarkan beberapa pertimbangan:

Pertama, masalah seni gambar dan patung dapat dikategorikan sebagai masalah hukum yang ma’qulul-ma’na, yaitu masalah hukum syar’i yang logika hukumnya dapat dipahami melalui penalaran rasional.

Kedua, larangan pembuatan patung dan gambar makhluk hidup itu dapat dilihat dalam konteks perjuangan Nabi Muhammad saw memberantas ajaran penyembahan berhala dan menegakkan ajaran tauhid yang murni, apabila membuat patung dan gambar itu tidak diberantas maka akan terjadi perusakan akidah baru itu. Sedangkan bilamana tidak dikhawatirkan merusak akidah, maka larangan tersebut tidak ada. Seperti dalam kasus boneka mainan anak-anak. Hal ini juga dapat dipahami dari alasan Nabi saw memerintahkan penyingkiran tabir bergambar karena memalingkan beliau dari Allah dan mengingatkan pada dunia serta mengganggu kekhusyukan salatnya. Jika semua alasan itu tidak ada, maka larangannya pun tidak ada.

Ketiga, di zaman modern, pembuatan patung dan gambar makhluk bernyawa kebanyakan bukanlah untuk disembah dan bagaimanapun, rasanya tidak ada umat Islam yang menyembah patung. Di lain pihak, patung dan gambar mempunyai beberapa manfaat, yang dulu tidak ada di zaman Nabi saw, misalnya untuk pelajaran, pengabadian peristiwa sejarah seperti patung biorama, dan lain-lain.

Keempat, dalam al-Qur’an kecaman kepada patung adalah karena dipuja dan diyakini sebagai penjelmaan Tuhan. Sedangkan patung-patung yang dibuat Nabi Sulaiman as tidak dikecam karena bukan untuk tujuan dan tidak terkait dengan penyembahan. (Tanya Jawab Agama V: 227-228).

Wallahu a’lam bish-shawab.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah