Hadis Tentang Posisi Tumit Nabi SAW Ketika Sujud


Pertanyaan Dari:
PCM Bumiayu, Brebes


Pertanyaan:
1.      Di tempat kami, ada yang berfaham bahwa ketika sujud, posisi tumit dirapatkan. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. Bagaimana status hadis tersebut?
2.      Bagaimana posisi kaki yang benar ketika sujud, merapat ataukah merenggang?

Jawaban
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Jawaban kami adalah sebagai berikut. Untuk mengetahui tingkat kesahihan sebuah hadis, ada tiga langkah yang harus kita lakukan, yaitu:
1.      Melakukan takhrij, yaitu melacak hadis pada sumber-sumber aslinya (al-mashadir al-ashliyyah), yaitu kitab-kitab hadis primer yang memiliki sanad.   
2.      Melakukan i’tibar, yaitu menguraikan sanad untuk mengetahui kemungkinan adanya mutabi’ dan syahid. Mengetahui mutabi dan syahid diperlukan untuk mencari jalur penguat jika nanti ditemukan adanya perawi yang daif dalam sanad hadis tersebut. Mutabi adalah hadis yang memiliki kesamaan (baik redaksi maupun subtansinya) dengan hadis yang lain, disertai kesamaan perawi pada tingkatan sahabat. Syahid adalah hadis yang memiliki kesamaan (baik redaksi maupun subtansinya) dengan hadis yang lain, namun memiliki perbedaan perawi pada tingkatan sahabat.
3.      Melakukan kritik hadis. Dalam tahap ini yang dilakukan adalah mengumpulkan informasi tentang:
a. ketersambungan sanad (اتصال السند),
b. kredibilitas perawi (عدالة الرواة),
c. akurasi  hafalan perawi (ضبط الرواة),
d. koherensi dengan hadis lain (عدم الشذوذ),
e. keselamatan dari kecacatan tersembunyi (السلامة من العلة)

Berikut penelitian hadis riwayat al-Hakim yang saudara tanyakan.

Takhrij Hadis al-Hakim dan I’tibar Sanad

Setelah dilakukan penelitian, hadis riwayat al-Hakim tentang posisi kaki Rasulullah yang merapat ketika sujud, ternyata terdapat pula dalam Sunan al-Baihaqi, Sahih Ibnu Hibban dan Sahih Ibnu Khuzaimah. Berikut redaksi hadisnya:

قَالَتْ عَائِشَةُ زَوْجُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- : فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- وَكَانَ مَعِى عَلَى فِرَاشِى ، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ : أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ ، وَبِعَفْوِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ ، وَبِكَ مِنْكَ ، أُثْنِى عَلَيْكَ لاَ أَبْلُغُ كُلَّ مَا فِيكَ. فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ : يَا عَائِشَةُ أَخَذَكِ شَيْطَانُكِ. فَقُلْتُ : أَمَا لَكَ شَيْطَانٌ؟ قَالَ : مَا مِنْ آدَمِىٍّ إِلاَّ لَهُ شَيْطَانٌ ». فَقُلْتُ : وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ :« وَأَنَا ، لَكِنِّى دَعَوْتُ اللهَ عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ. [رواه ابن خزيمة و ابن حبان و البيهقي و الحاكم]

Artinya: “Aisyah istri Rasulullah berkata: Saya merasa kehilangan Rasullalah saw, padahal beliau beserta saya di tempat tidur saya, (kemudian saya mencari beliau) dan saya temukan Rasulullah sedang sujud dalam keadaan merapatkan dua tumitnya sambil menghadapkan ujung-ujung dua telapak kakinya ke arah kiblat. Aku mendengar beliau berdoa: “A’udzu biridlaka min sakhatika, wa ‘afwika min ‘uqubatika, wa bika minka, utsnia alaika la ablughu kulla ma fika”. Setelah selesai, beliau berkata kepadaku: “Wahai Aisyah, syaitan yang  ada pada dirimu telah memperdayaimu.” “Syaitan apa yang engkau maksud (wahai Rasulullah)?” Beliau menjawab: “Tidaklah setiap anak Adam, kecuali ia memiliki syaitan (yang berada bersamanya)”. Aku mengatakan: “Apakah engkau juga, ya Rasulullah?” beliau menjawab: “Aku juga, tetapi aku berdoa kepada Allah, maka aku selamat”. [HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan al-Hakim]
 


 
Keterangan: Jaringan sanad di atas menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak mempunyai syahid, sedangkan mutabi terdapat pada perawi setelah Said bin Abi Maryam.

Kritik Hadis :

Penelitian terhadap hadis di atas langsung dilakukan dengan melihat aspek kredibilitas dan akurasi perawi serta melihat kemungkinan terjadinya pertentangan dengan hadis lain yang lebih sahih. Untuk mempersingkat penelitian, faktor ketersambungan sanad dan keselamatan dari cacat yang tersembunyi tidak dilakukan.

a.    Kredibilitas dan Akurasi Hafalan Perawi
Setelah memperhatikan sanad (rantaian perawi) di atas, ditemukan seorang perawi yang lemah (dlaif) dalam aspek akurasi hafalan (dhabt), yaitu sosok yang bernama Yahya bin Ayyub. Berikut ini kami kutipkan data tentang perawi tersebut dari kitab Tahdzibu al-Tahdzib (vol. 11, hal. 163) karya Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H/1448 M).
Nama : Yahya bin Ayyub al-Ghafiqi Abul Abbas al-Mishri (dijuluki Bapaknya Abbas, berasal dari Mesir).

Guru-gurunya: Humaid, Yahya bin Said, Abdullah bin Abi Bakar, Abdullah bin Dinar, Rabi’ah bin Ja’far, Ismail bin Umayyah, Bakir bin Asyaj, Ibnu Juraij, Ubaidullah bin Abi Ja’far, Ubaidullah bin Jahr, Umarah bin Ghaziah, Abul Aswad, Muhammad bin Ajlan, Yazid bin Abi Habib, Yazud bin al-Had, Malik bin Anas dan Khalaq.

Murid-muridnya: Ibnu Juraij, al-Laits, Juraij bin Hazim, Ibnu Wahab, Ibnu Mubarak, Asyhab, Zaid bin Habba, Yahya bin Ishq, al-Maqbari, Abu Shalil, Said bin Abi Maryam, Said bin Afir, Ishaq bin al-Farat, Musa bin A’yun, Amru bin Rabi, dll.

Penilaian ulama terhadapnya:
a.       Imam Ahmad : hafalannya lemah,
b.      Ibnu Main : salih, tsiqah (kredibel)
c.       Ibnu Abi Hatim : jujur, hadisnya dapat ditulis tetapi tidak dapat dijadikan hujjah (dalil)
d.      Abu Dawud : tsiqah (kredibel)
e.       Nasai : Ia tidak apa-apa, di lain kesempatan ia menilai Yahya tidak kuat
f.       Ibnu Hibban : tsiqah (kredibel)
g.      Ibnu Saad: munkarul hadis
h.      Daruquthni : di sebagian hadisnya ada ketumpangtindihan
i.        Tirmidzi mengutip Bukhari : tsiqah (kredibel)
j.        Ismaili: tidak dapat dijadikan hujah
k.      Abu Zar’ah: ada kecacatan dalam hafalannya
l.     Ibnu Adi : jika ia menerima hadisnya dari orang yang tsiqah (kredibel), hadisnya tidak munkar. Ia jujur.
m.    Uqaili : memasukkannya ke dalam al-dlu’afa (orang-orang yang lemah)

Keterangan :
Melihat penilaian para kritikus hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa Yahya bin Ayyub adalah pribadi yang dipermasalahkan oleh para ulama. Sekalipun banyak ulama yang menganggapnya memiliki kredibilitas yang baik, namun ia adalah sosok yang memiliki hafalan yang lemah. Kelemahan hafalan tersebut juga tidak dapat dikuatkan oleh hadis yang lain karena tidak terdapat mutabi dan syahid untuknya. Kelemahan dalam faktor hafalan inilah yang membuat hadis di atas menjadi bernilai daif.

b.   Meneliti Koherensi Hadis
Langkah selanjutnya dalam menguji kesahihan hadis ini, adalah melihat apakah ia bertentangan (inkoheren) dengan hadis lain atau tidak. Setelah dilakukan penelitian, ternyata hadis ini bertentangan dengan hadis lain yang bernilai sahih, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan an-Nasai.  Di mana dalam hadis tersebut tidak disebutkan kisah Aisyah melihat kaki Rasulullah yang berdempet ketika salat. Hadis yang bertentangan dengan hadis yang lebih sahih disebut hadis syadz dan dikategorikan sebagai hadis daif.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِى عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ : اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ. [رواه مسلم و النسائي]

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah r.a. dia berkata, “Aku merasa kehilangan Rasulullah saw suatu malam dari tempat tidur, maka aku cari-cari beliau, selanjutnya kenalah satu telapak tanganku pada dua telapak kaki Rasulullah saw ketika beliau berada di masjid. Dua telapak kaki beliau tegak. Beliau berdo’a: “Ya Allah aku berlindung dari kemarahan-Mu dengan keridaan-Mu, berlindung dengan ampunan-Mu dari siksaan-Mu, saya berlindung pada-Mu dari siksaan-Mu, aku berlindung pada-Mu dari-Mu, aku tidak bisa menghitung pujian bagi-Mu, yakni Engkau seperti Engkau memuji pada diri-Mu.” [HR Muslim dan an-Nasai]

Keterangan :
Tampak dalam hadis ini, ada bagian cerita yang sama dan ada bagian yang berbeda dengan hadis riwayat al-Hakim di atas. Bagian yang sama adalah laporan bahwa Aisyah dalam suatu malam kehilangan Rasulullah dari sisinya dan kemudian berusaha mencari beliau. Kesamaan ini menunjukkan bahwa kejadian yang dilaporkan oleh al-Hakim dan Muslim dalam hadis masing-masing adalah peristiwa yang sama. Adapun bagian yang berbeda dalam dua hadis ini adalah hadis Muslim menceritakan Aisyah sempat memegang kaki Rasulullah ketika sujud dan hadis al-Hakim tidak. Hadis Muslim tidak menyebutkan Aisyah melihat posisi kaki Rasulullah ketika sujud yang merapat, sedangkan hadis al-Hakim menyebutkannya. Terakhir, hadis al-Hakim menyebutkan terjadinya dialog antara Rasulullah dan Aisyah setelah beliau selesai salat, sedangkan hadis Muslim tidak.

Hadis Abu Dawud dapat dijadikan penguat?

Setelah diteliti, hadis al-Hakim, ad-Daruquthni, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah yang disebutkan di atas ternyata memiliki pendukung dari hadis lain, yaitu hadis riwayat Abu Dawud, yang secara substansi senada dengan hadis di atas. Dalam hadis Abu Dawud ini, Rasulullah saw diriwayatkan memerintahkan untuk merapatkan kedua paha ketika salat. Jika kita perhatikan, merapatkan paha sama memang artinya dengan merapatkan kedua kaki. Namun demikian, sayang sekali setelah diteliti, hadis Abu Dawud  tidak dapat dijadikan penguat, karena hadis ini sendiri juga bernilai lemah. Terdapat seorang perawi yang bernama Darraj yang ditolak oleh para kritikus hadis. Ibnu Abi Hatim menilainya lemah dan Imam Ahmad menilainya munkarul hadis (dikutip dari Tahdzibu al-Tahdzib Ibnu Hajar, vol. 3, hal. 180). Dengan demikian ia tidak dapat dijadikan penguat untuk hadis al-Hakim, ad-Daruquthni, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah di atas. Berikut ini adalah jaringan sanad dan hadisnya:



  
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَفْتَرِشْ يَدَيْهِ افْتِرَاشَ الْكَلْبِ وَلْيَضُمَّ فَخِذَيْهِ.

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Jika salah seorang di antara kalian sujud, janganlah ia menempelkan kedua tangannya ke lantai (iftirasy), seperti perilaku anjing (yang sedang duduk) dan hendaklah ia merapatkan kedua pahanya.”

Hadis tentang Merenggangkan Kaki

Di sisi lain, terdapat pula hadis riwayat Abu Dawud yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. salat dengan merenggangkan kedua pahanya. Berikut adalah jaringan sanad beserta hadisnya.

عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ وَإِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَىْءٍ مِنْ فَخِذَيْهِ

Artinya: “Dari Abu Humaid, (ia meriwayatkan sifat salat nabi), bahwa beliau apabila sujud merenggangkan kedua pahanya dan tidak membebankan perutnya pada kedua pahanya.”

 

 Namun, setelah dilakukan penelitian ditemukan data bahwa menurut Nashiruddin Albani dalam Irwaul Ghalil, jilid 2 hal. 80, perawi yang bernama ‘Utbah dalam jaringan sanad di atas bernama lengkap Utbah bin Abi Hakim al-Hamdani. Jika memang nama lengkap Utbah menurut Albani tersebut benar, maka berarti ia adalah sosok yang lemah (daif). Karena dalam Taqribu al-Tahdzib, jilid 2, hal. 380, Ibnu Hajar menyebut Utbah bin Abi Hakim al-Hamdani sebagai “shaduq yukhtik katsiran” (perawi yang jujur, namun sering melakukan kesalahan).
 
Kesimpulan:

1.    Hadis Aisyah dari Muslim dan an-Nasai sahih, tetapi tidak ada di dalamnya dilalah (keterangan yang menunjukkan) tentang posisi kaki yang merapat ataupun merenggang.
2.    Baik hadis yang menyebutkan kaki Rasulullah saw merapat dan merenggang ketika sujud, kedua-duanya adalah daif, sehingga keduanya tidak bisa dijadikan hujah. 
3.    Karena tidak ada satupun informasi yang sahih mengenai hal ini, maka dapat dipilih posisi manapun yang nyaman untuk dilakukan.

Wallahu a’lam bish-shawab. *M-Rf)

Pimpinan Pusat Muhammadiyah