PERMASALAHAN RUKYAT
Pertanyaan
dari:
Seorang
mahasiswa S2 Ilmu Falak IAIN Walisanga, Semarang,
tidak
ada nama, disampaikan lewat pesan pendek (sms)
(disidangkan
pada hari Jum’at, 20 Syakban 1432 H / 22 Juli 2011 M)
Tanya:
Saya
mahasiswa Semarang, yang dahulu pernah wawancara dengan bapak. Saya mau tanya,
apa kelemahan rukyat menurut Muhammadiyah?
Jawab:
Hal yang perlu difahami adalah bahwa
di zaman Nabi saw metode penentuan awal bulan kamariah, khususnya bulan-bulan
ibadah, adalah rukyat. Nabi saw sendiri memerintahkan melakukan rukyat untuk
memulai Ramadan dan Syawal, sebagaimana dapat kita baca dalam hadis beliau,
صُوْمُوْا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا
عِدَّةَ شَعْباَنَ ثَلاَثِيْنَ
[رواه البخاري ، واللفظ له ، ومسلم]
Artinya: Berpuasalah kamu ketika
melihat hilal dan beridulfitrilah ketika melihat hilal pula; jika Bulan
terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Syakban tiga
puluh hari.
[HR
al-Bukhari, dan
lafal di atas adalah lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim]
Dalam
hadis lain beliau diriwayatkan mengatakan,
لاَ
تَصُوْمُوْا حَتىَّ تَرَوُا اْلهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتىَّ تَرَوْهُ فَإِنْ
غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ
[رواه البخاري
ومسلم]
Artinya: Janganlah kamu berpuasa
sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridulfitri sebelum melihat hilal;
jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah. [HR al-Bukhari dan Muslim]
Hadis
pertama jelas memerintahkan berpuasa atau beridulfitri ketika hilal bulan
bersangkutan terlihat; hadis kedua melarang berpuasa atau beridulfitri sebelum
dapat merukyat hilal bulan bersangkutan. Oleh karena itu para fukaha
berpendapat bahwa penentuan awal bulan kamariah, khususnya yang berkaitan
dengan ibadah, dilakukan berdasarkan metode rukyat.
Namun dalam perjalanan sejarah
peradaban Islam, muncul gagasan untuk menggunakan hisab sebagai metode
penentuan awal bulan kamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Tercatat bahwa
ulama pertama yang menyatakan sah menggunakan hisab adalah Mutharrif Ibn ’Abdillah Ibn as-Syikhkhir (w.
95/714), seorang ulama Tabiin Besar. Kemudian Imam asy-Syafi‘i (w.
204/820), dan Ibn Suraij (w. 306/918), seorang ulama Syafiiah abad ke-3 H. Memang
mula-mula penggunaan hisab dibatasi saat bulan tertutup awan saja. Namun
kemudian pemakaian hisab itu meluas hingga mencakup penentuan awal bulan dalam
semua keadaan tanpa mempertimbangkan keadaan cuaca. Di zaman modern penggunaan
hisab semakin meluas dan didukung oleh ulama-ulama besar seperti Muhammad
Rasyid Rida, Mustafa al-Maraghi, Syeikh Ahmad Muhammad Syakir, Muastafa Ahmad
az-Zarqa, Yusuf al-Qaradawi, Syeikh Syaraf al-Qudhah, dan banyak yang lain. Dalam
“Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam” tahun 2008 di Maroko,
diputuskan bahwa,
Para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan kamariah di kalangan kaum Muslimin tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penggunaan hisab untuk menetapkan awal bulan kamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat...
Apabila dilihat secara fakta alam, maka penggunaan rukyat di zaman Nabi saw itu tidak bermasalah karena umat Islam di zaman itu hanya berada di Jazirah Arab saja. Islam belum tersebar di luar kawasan itu. Apabila hilal terukyat di Madinah atau di Mekah, maka tidak ada masalah bagi daerah lain, karena belum ada umat Islam di luar rantau Arabia itu. Begitu pula sebaliknya apabila di Mekah atau Madinah hilal tidak dapat dilihat, maka tidak ada dampaknya bagi kawasan lain di timur atau di barat. Namun setelah Islam meluas ke berbagai kawasan di sebelah barat dan timur serta utara (pada abad pertama Hijriah Islam sudah sampai di Spanyol dan di kepulauan Nusantara), maka rukyat mulai menimbulkan masalah. Persoalannya adalah bahwa rukyat itu terbatas liputannya di atas muka bumi. Rukyat pada saat visibilitas pertama tidak mengkaver seluruh muka bumi. Ia hanya bisa terjadi pada bagian muka bumi tertentu saja, sehingga timbul masalah dengan bagian lain muka bumi. Hilal mungkin terlihat di Mekah, tetapi tidak terlihat di Kawasan timur seperti Indonesia. Atau hilal mungkin terlihat di Maroko, namun tidak terlihat di Mekah. Apabila ini terjadi dengan bulan Zulhijah, maka timbul persoalan kapan melaksanakan puasa Arafah bagi daerah yang berbeda rukyatnya dengan Mekah. Perlu dicatat bahwa Bulan bergerak (secara semu) dari timur muka bumi ke arah barat dengan semakin meninggi. Oleh karena itu semakin ke barat posisi suatu tempat, semakin besar peluang orang di tempat itu untuk berhasil merukyat. Jadi orang di benua Amerika punya peluang amat besar untuk dapat merukyat. Sebaliknya semakin ke timur posisi suatu tempat, semakin kecil peluang orang di tempat itu untuk dapat merukyat. Orang Indonesia peluang rukyatnya kecil dibandingkan orang Afrika yang lebih di barat. Apalagi orang Selandia Baru, Korea atau Jepang akan lebih banyak tidak dapat merukyat pada saat visibilitas pertama hilal di muka bumi.
Problem pertama yang muncul
sehubungan dengan masalah keterbatasan rukyat ini adalah apa yang dicatat dalam
hadis Kuraib yang amat terkenal itu,
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى
مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا
وَاسْتُهِلَّ عَلَىَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ
لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِى آخِرِ الشَّهْرِ
فَسَأَلَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ
فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ
فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ
مُعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ
نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَوَلاَ تَكْتَفِى
بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم [رواه مسلم]
Artinya: Dari Kuraib (yang menyampaikan) bahwa Ummul-Fadl Binti al-Haris mengutusnya menemui
Mu‘awiyah di Syam. Kuraib menjelaskan: Saya pun tiba di Syam
dan menunaikan keperluan Ummul-Fadl. Ketika saya berada di Syam, bulan Ramadan pun masuk
dan saya melihat hilal pada malam Jumat. Kemudian pada akhir bulan Ramadan,
saya tiba kembali di Madinah. Lalu Ibn ’Abbas menanyai saya dan dia
menyebut hilal. Ia bertanya: Kapan kalian melihat hilal? Saya menjawab: Kami melihatnya
malam Jumat. Ia bertanya lagi: Apakah engkau sendiri melihatnya? Saya menjawab:
Ya, dan banyak orang juga melihatnya. Mereka berpuasa keesokan harinya dan juga
Mu‘awiyah berpuasa (keesokan harinya). Akan tetapi kami
melihatnya malam Sabtu. Oleh karena itu kami akan terus berpuasa hingga genap
tiga puluh hari atau hingga melihat hilal (Syawal). Lalu saya balik bertanya:
Apa tidak cukup bagimu rukyat Mu‘awiyah dan puasanya? Ia menjawab: Tidak! Demikianlah
Rasulullah saw memerintahkan kepada kita. [HR Muslim]
Rukyat Ramadan yang dilaporkan
Kuraib dalam hadis ini, menururt suatu penelitian, adalah rukyat Ramadan tahun
35 H, bertepatan dengan hari Kamis sore (malam Jumat), 03 Maret 656 M.
Permasalahn rukyat dalam hadis ini adalah bahwa di Damaskus rukyat berhasil
dilakukan pada malam Jumat, sementara di Madinah malam Sabtu 04 Maret 656 M.
Timbul pertanyaan dapatkah rukyat Damaskus diberlakukan ke Madinah? Ibn Abbas
dalam hadis tersebut mejelaskan tidak dapat. Jadi awal Ramadan tahun itu
berbeda antara Damaskus dan Madinah, meskipun kedua kota itu masih dalam satu
negara Daulat Umaiyyah.
Masalah ini kemudian dalam sejarah
Islam berkembang menjadi apa yang dikenal dengan “masalah matlak”. Matlak
adalah batas berlakunya rukyat yang terjadi di suatu tempat. Pertanyaannya
adalah apakah rukyat yang terjadi di suatu tempat dapat diberlakukan kepada
tempat lain yang tidak dapat merukyat? Kalau dapat sejauhmana? Mengenai ini
terdapat dua pendapat dalam fikih. Pertama pendapat yang menolak doktrin
matlak. Bagi mereka tidak ada matlak. Rukyat yang terjadi di suatu tempat
berlaku untuk seluruh penduduk di muka bumi. Pendapat ini dipegangi oleh para
fukaha Hanafi dan beberapa ulama Syafiiah. Imam Nawawi (w.676/1277), seorang
ulama Syafii, menyatakan dalam Syariat Muslim bahwa
rukyat di suatu tempat di muka bumi berlaku untuk seluruh muka bumi (VII: 197).
Kebanyakan ulama lain memegangi doktrin matlak, yaitu bahwa rukyat tidak dapat
diberlakukan ke seluruh dunia, harus dibatasi berlakunya. Namun mereka tidak
sepakat tentang batasan itu. Ada yang mengatakan hanya berlaku dalam batas
salat belum bisa diqasar (± 90 km).
Ada yang berpendapat dapat berlaku dalam satu negeri, dan ada pula dalam
beberapa negeri berdekatan. Ibn Taimiah menolak semua pendapat ini dan mengatakan
bahwa “rukyat tidak ada kaitannya dengan qasar salat dan negeri atau
negeri-negeri tidak ada batas yang jelas.” Memang di zaman dahulu tidak ada
batas geografi wilayah suatu negara seperti halnya sekarang ini.
Kini pada abad ke-21, umat Islam sudah
berada di seantero keliling bola bumi yang bulat ini. Bahkan di pulau-pulau
terpencil di Samudera Pasifik pun sudah ada umat Islam, seperti di kepulauan
Tongga dan Samoa. Rukyat yang terjadi pada hari pertama visibilitas hilal tidak
dapat mengkaver seluruh umat Islam di dunia. Justeru rukyat akan memaksa umat
Islam di dunia berbeda memulai bulan baru. Mari kita lihat simulasi rukyat pada
beberapa tahun berbeda sebagaimana divisualisasikan pada beberapa ragaan
berikut (Pembuatan semua ragaan didasarkan kepada al-Mawaqit ad-Daqiqah).
Ragaan 1: Kurve rukyat hilal Ramadan 1503 H (Selasa,
18 Juni 2080 M)
Ragaan 1
di atas memperlihatkan kurve rukyat hilal Ramadan hari Selasa sore 18 Juni 2080
dengan mata telanjang apabila cuaca terang. Kawasan yang tercakup dalam
lengkungan kurve rukyat adalah kawasan yang dapat melihat hilal ramadan 1503 H
(Selasa 18 Juni 2080 M), yaitu sebagian besar benua Amerika, benua Afrika,
sebagian agak besar Eropa dan Asia. Sementara Australia, Selandia Baru, Papua Nu
Gini, dan bagian utara bumi yang terletak di atas lintang 60º LU tidak dapat
melihat hilal Ramadan 1503 H (2080 M). Pada hal rukyat ini adalah yang paling
maksimal karena ujung kurvenya hampir mencapai garis Tanggal internasional di
sebelah timur muka bumi.
Berikutnya mari kita lihat pula
simulasi rukyat yang divisualisasikan dalam ragaan 2 berikut. Pada Ragaan 2
terlihat bahwa di Mekah hilal Zulhijah 1455 H insya Allah akan terlihat pada
hari Ahad 19 Februari 2034 M (tinggi toposentrik hilal hari itu 6,5º).
Sementara pada hari itu di kawasan timur seperti di Indonesia hilal Zulhijah
belum akan terlihat. Akibatnya Mekah mendahului kawasan timur satu hari dalam memasuki
Zulhijah 1455 H, yaitu pada hari Senin 20-02-2034 M. Sementara itu kawasan
timur bumi akan memasuki Zulhijah pada hari Selasa 21-02-2034 M. Ini akan
menimbulkan masalah puasa Arafah, kapan kawasan timur berpuasa Arafah. Kalau
mengikuti Mekah, maka di kawasan timur baru tanggal 8 Zulhijah karena kawasan
timur terlambat 1 hari. Kalau puasa Arafahnya tanggal 9 Zulhijah waktu
setempat, maka di Mekah tidak lagi wukuf, melainkan sudah Iduladha (10
Zulhijah). Jadi inilah dilemma yang ditimbulkan oleh rukyat.
Ragaan
2: kurve rukyat hilal Zulhijah 1455 (Ahad sore 19 Februari 2034 M)
Mari kita lihat satu lagi simulasi
rukyat, yaitu Zulhijah 1439 sebagaimana divisualisasikan pada Ragaan 3.
Ragaan 3 memperlihatkan bahwa hilal
Zulhijah 1439 H terlihat jauh di sebelah barat bumi, yaitu di Samudera Pasifik
termasuk Kepulauan Hawaii, pada Sabtu sore 11 Agustus 2018 M. Di ibukota
Honolulu saat matahari terbenam, tinggi toposentrik hilal tersebut adalah 08º
07’ 37”. Jadi posisi hilal sudah sangat tinggi dan dapat dilihat dengan mata
telanjang apabila cuaca terang. Akan tetapi, sebagaimana diperlihatkan oleh
Ragaan 3, hilal Zulhijah 11-08-2018 itu tidak terlihat di daratan lima benua.
Ragaan
3: Kurve rukyat Zulhijah 1439 H (Sabtu sore 11 Agustus 2018 M)
Problemnya adalah karena pada hari
Sabtu belum dapat melihat hilal Zulhijah, maka Mekah akan masuk Zulhijah pada
hari Senin 13-08-2018 M, dan hari Arafah di Mekah jatuh Selasa 21-08-2018 M.
Sementara itu Hawaii karena sudah dimungkinkan melihat hilal akan memasuki
Zulhijah hari Ahad, 12 Agustus 2018 M, dan tanggal 9 Zulhijah di Hawaii akan
jatuh pada hari Senin 20-08-2018 M. Bagaimana mereka puasa Arafah. Kalau
puasanya hari Senin itu mendahului Mekah karena di Mekah baru tanggal 8
Zulhijah dan belum terjadi wukuf. Kalau mereka menunggu Mekah, berarti mereka
puasa Arafah tanggal 10 Zulhijah menurut penanggalan Hawaii, dan itu adalah
hari Iduladha di Hawaii. Suatu kawasan yang sudah terpampang hilalnya di ufuk
mereka tidak boleh menunda masuk bulan baru karena alasan apapun misalnya mau
menunggu Mekah, karena Nabi saw mengatakan berpuasalah apabila melihat hilal.
Dengan demikian sangatlah jelas
problem yang ditimbulkan oleh rukyat. Kalau ini mau disebut kelemahan silahkan
sebut demikian. Secara singkat keseluruhan problem rukyat itu adalah:
1)
rukyat
tidak bisa membuat sistem penanggalan yang akurat;
2)
rukyat
tidak dapat menyatukan sistem penanggalan (kalender) hijriah sedunia secara
terpadu dengan konsep satu hari satu tanggal di seluruh dunia;
3)
rukyat
tidak dapat dilakukan secara normal pada kawasan lintang tinggi di atas 60º LU dan
LS;
4)
rukyat
menimbulkan problem puasa Arafah karena tidak dapat menyatukan hari Arafah di
Mekah dan kawasan lain pada bulan Zulhijah tertentu.
Oleh karena itu tidak berlebihan
apabila Temu Pakar II di Maroko menyatakan bahwa penyatuan kalender Islam se
dunia tidak mungkin dilakukan kecuali dengan berdasarkan hisab. Memang,
sebagaimana dikemukakan oleh Nidhal Guessoum, adalah suatu ironi yang
memilukakan bahwa setelah hampir 1,5 milenium perkembangan peradaban Islam, umat
Islam belum mampunyai suatu sistem penanggalan terpadu yang akurat, pada hal
6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem
kalender yang terstruktur dengan baik. Menurut Prof. Dr. Idris Ibn Sari, Ketua
Asosiasi Astronomi Maroko, sebab umat Islam tidak mampu membuat kalender
terpadu adalah karena mereka terlalu kuat berpegang kepada rukyat.
Kini dalam rangka mewujudkan
kalender Islam tunggal (terpadu) yang dapat menyatukan selebrasi umat Islam
sedunia, sedang dilakukan perumusan kalender Islam yang dibuat dan diuji selama
kurang lebih satu abad hingga akhir tahun 2100. Ada empat rancangan yang diuji
dan telah sering diberitakan. Perkembangan paling mutakhir tentang uji
validitas ini adalah bahwa uji tersebut telah mencapai 93 tiga tahun, dan akan
segera diadakan Temu Pakar III untuk membahas hasil uji validitas tersebut. *sy)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com