DAN SOAL
MALAIKAT YANG TIDAK MAU MASUK RUMAH
Pertanyaan Dari:
Iqbal Tawakkal, 21 tahun, NBM
1060760,
Jl. M. Kahfi no 27
Cipedak-Jagakarsa, Jakarta Selatan
(disidangkan pada hari Jum’at, 21
Muharram 1433 H / 16 Desember 2011 M)
Pertanyaan:
- Bolehkah keluarga muslim memelihara anjing ?
- Benarkah jika dikatakan bahwa malaikat tidak mau masuk ke rumah keluarga muslim yang memelihara anjing ?
- Hewan apa saja yang boleh dipelihara oleh keluarga muslim ?
Jawaban:
Wa
‘alaikumussalam wr. wb.
Terima kasih atas
pertanyaan yang saudara ajukan. Sebelum kami menjawab pertanyaan saudara, terlebih dahulu akan kami jelaskan
beberapa prinsip penting dari ajaran Islam yang terkait dengan pertanyaan
tersebut. Agama Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang (QS. 9: 128, 16: 125, 21: 107) dan kelemahlembutan
(QS. 3: 159). Umat Islam diajarkan oleh agamanya untuk tidak menyakiti siapapun dan apapun, kecuali berdasarkan
aturan yang telah digariskan oleh agama dengan alasan-alasan syar’i serta dengan batasan yang tegas dan jelas (QS. 2: 190). Islam
mengajarkan agar kita berbuat baik (ihsan) terhadap siapa saja, tanpa
melihat sekat-sekat keagamaan (QS. 60: 8) dan sekat-sekat primordial/kesukuan
(QS. 53: 31, 55: 60). Islam sejak awal telah memproklamirkan diri sebagai agama
kasih sayang yang mengajarkan umatnya “risalah menyantuni” (QS. 2; 274, 76: 9, QS.
107) dan “teologi berkorban” (76:9, 3:
134) kepada dan untuk sesama.
Bila kita telusuri
dan renungkan, ajaran mengenai kasih sayang ternyata tidak
hanya untuk manusia, tetapi juga berlaku
terhadap binatang. Dalam kitab-kitab fikih misalnya, kita bisa menemukan satu
bab tentang “berbuat baik kepada binatang” (al-rifqu bi al-hayawan) (al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah, II: 7901) atau bab “memberi
nafkah kepada binatang” (nafaqatu al-hayawan) (Fiqh al-Sunnah,
III: 565). Oleh karena itu umat Islam dilarang menyakiti
binatang atau menyiksanya, bahkan juga dilarang untuk
‘sekedar’ menelantarkannya.
Al-Quran telah
mengajarkan beberapa prinsip moral bagi umat Islam dalam memandang dan
berperilaku terhadap binatang. Misalnya
al-Quran mengajarkan bahwa binatang adalah ciptaan Allah
yang dapat dijadikan bahan renungan dan
sumber inspirasi bagi orang yang beriman (QS. 2: 164, 42: 29, 45: 4). Al-Quran
menegaskan bahwa binatang walau bagaimanapun adalah makhluk Allah seperti halnya manusia; diciptakan oleh Allah
dan berhak mendapatkan perlakuan baik dan layak. Dalam
al-Quran, Allah berfirman:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ
وَلاَ طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلاَّ أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ
Artinya: “Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat
(juga) seperti kamu”.. [QS. al-An’am
(6): 38]
Islam mengajarkan
bahwa berbuat baik dan lemah lembuh harus dilakukan kepada siapa saja, termasuk
juga kepada binatang.
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللهَ
رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِى عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِى عَلَى
الْعُنْفِ وَمَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُعْطِى عَلَى مَا سِوَاهُ .
[رواه مسلم]
Artinya: “Bahwasanya Rasululllah saw bersabda: Wahai Aisyah, sesungguhnya
Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Allah akan memberikan kepada
orang yang berlemah
lembut sesuatu yang tidak diberikan kepada orang yang kasar dan yang tidak juga
diberikan kepada yang lain.”
[HR. Muslim]
Berbuat baik kepada
binatang bahkan disebutkan dapat menjadi jalan atau cara memperoleh pahala dan mendapat
ampunan Allah dari dosa-dosa yang pernah dilakukan. Kisah yang tercantum dalam
hadis berikut ini penting untuk direnungkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِى بِطَرِيقٍ
اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ، فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ
خَرَجَ، فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ فَقَالَ
الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِى كَانَ
بَلَغَ بِى، فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلأَ خُفَّهُ، ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ،
فَسَقَى الْكَلْبَ، فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوا :يَا رَسُولَ اللهِ وَإِنَّ لَنَا فِى الْبَهَائِمِ أَجْرًا. فَقَالَ: فِى كُلِّ
ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ .
[متفق عليه]
Artinya:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw pernah bercerita:
Suatu ketika ada seorang laki-laki yang melewati satu jalan dalam keadaan
sangat kehausan. Kemudian ia menemukan sumur. Ia pun berhenti di sumur itu dan
meminum airnya. Ketika ia selesai dan beranjak dari sumur itu, ia menemukan
seekor anjing yang menjulur-julurkan lidah sembari memakan tanah yang lembab
karena saking hausnya. Si lelaki itu kemudian bergumam, ‘anjing ini telah
sampai rasa haus yang sangat, seperti yang tadi aku rasakan’. Ia pun kembali ke
sumur dan mengisi sepatunya dengan air, kemudian ia memegangi anjing tersebut dengan tangan dan
memberinya minum. Allah kemudian memberinya pahala dan mengampuni dosa-dosanya.
Para sahabat kemudian bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa di dalam binatang ada
(potensi) pahala juga bagi kami?’ Rasulullah menjawab: pada setiap yang
memiliki hati yang basah (makhluk hidup) ada (potensi) pahala.”
[HR.
Mutaffaqun Alaihi]
Setelah terlebih dahulu menekankan pentingnya berkasih sayang terhadap binatang,
Islam kemudian membuat regulasi dan batasan (syariah) dalam hal memanfaatkan dan berinteraksi dengan binatang. Aturan umum dari regulasi
tersebut misalnya Islam mengajarkan tentang halalnya binatang ternak (QS. 16:
66, 22: 28, 23: 21), dan binatang laut (HR. Abu
Dawud dan an-Nasai) untuk dimakan.
Islam mendorong agar manusia memfungsikan binatang sebagai partner untuk
membantunya mencari rezeki (QS. 5: 4, 16: 5-6) dan sebagai alat transportasi (40:
79). Selain itu, Islam kemudian mengharamkan binatang yang kotor (QS. 7: 157),
binatang buas yang bertaring dan bercakar (HR. Muslim), dan secara spesifik
al-Quran menyebut haramnya babi, binatang yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang dipukul, yang jatuh dan yang ditanduk (QS. 5: 3).
Berbeda
dengan kebanyakan binatang lainnya, binatang
yang banyak mendapatkan regulasi khusus dari agama Islam adalah anjing. Terdapat banyak
nash yang menyebutkan regulasi tersebut. Dengan pendekatan tematik terhadap berbagai
nash yang ada mengenai anjing, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada
dasarnya Islam melarang memelihara anjing, kecuali memanfaatkannya untuk kebutuhan-kebutuhan
yang sangat diperlukan. Di luar itu kebutuhan-kebutuhan
tersebut, Islam lebih cenderung mengambil sikap mengedepankan
larangan.
Dalam hal ini, nash-nash terkait adalah :
1- يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ
لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ
تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ
عَلَيْكُمْ . [المائدة (5): 4]
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad),
“Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah “Yang dihalalkan bagimu adalah
(makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang
telah kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.”
[QS. al-Maidah (5): 4]
2- عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنِ اتَّخَذَ
كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ صَيْدٍ أَوْ زَرْعٍ انْتَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ
كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ . [رواه مسلم وأبو داود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia
berkata, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang memelihara anjing, kecuali
anjing untuk menjaga ternak, berburu dan bercocok tanam, maka pahalanya akan
berkurang setiap satu hari sebanyak satu qirath.” [HR. Muslim dan Abu
Dawud]
3- عن ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُماَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِيَةٍ ، نَقَصَ كُلَّ
يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيرَاطَانِ . [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, dari Nabi saw,
beliau bersabda: Barangsiapa yang memelihara anjing, selain anjing ternak dan
anjing untuk berburu, maka berkuranglah setiap hari dari perbuatannnya dua
qirath.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Ayat al-Quran dan dua
hadis di atas menunjukkan bahwa menurut ajaran Islam anjing tidak boleh
dipergunakan kecuali untuk kepentingan membantu pertanian, menggembalakan hewan
atau berburu. Dari tiga fungsi tersebut, para ulama menarik satu ‘illah (kausa
hukum) berupa kemanfaatan dalam berinteraksi dengan anjing (Ibnu Bathal,
XI: 379). Jika
terdapat suatu manfaat tertentu yang bersifat halal, maka anjing boleh digunakan. Oleh karena itu
beberapa ulama kemudian memberlakukan kausa tersebut kepada fungsi anjing lainnya, seperti
menjaga rumah (al-Mahalla, IX: 13, Fath al-Bari, VII: 171) dan
menjadi hewan pelacak. Di luar kepentingan itu, Islam menutup rapat celah-celah
untuk memelihara anjing. Memang dalam literatur Islam klasik ditemukan bahwa
para ulama berbeda pendapat tentang jenis hukum memelihara anjing, apakah makruh atau sampai pada
derajat haram. Di antara
ulama yang menganggap makruh memelihara anjing adalah Ibnu Abdil Barr
(XIV: 218), seorang ulama dari Andalusia
yang bermazhab Maliki.
Menurutnya, sesuatu
yang dihukumi haram, haruslah bersifat tetap (konstan), tidak kondisional dan tanpa
mengenal eksepsi (pengecualian) (Nail al-Authar, XII: 493).
Menurutnya, memelihara anjing tidak mencapai derajat haram, karena
perbedaan situasi dapat membawa hukumnya menjadi berubah. Namun logika ini dapat
diselesaikan oleh satu kaedah hukum, مَا حُرِّمَ لِذَاتِهِ أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ ، وَمَا حُرِّمَ
لِلسَدِّ الذَّرِيْعَةِ أُبِيْحَ لِلْحَاجَةِ, artinya ‘sesuatu
yang diharamkan karena dzatnya [asalnya], maka ia dapat dibolehkan karena ada
suatu kondisi yang mendesak’. Sesuatu yang diharamkan sebagai langkah
preventif, maka ia dapat dibolehkan karena ada kebutuhan terhadapnya). Eksepsi
atau pengecualian memang dapat terjadi di dalam hal-hal yang haram karena ada
situasi yang mengharuskannya atau menghendakinya.
Sebagian besar
ulama Islam (seperti al-Nawawi, V; 421, Ibnu Rajab, Ibnu Hajar, XV: 413,
al-‘Aini, XXX: 486, al-Shan’ani, IV: 70) berpendapat bahwa memelihara anjing di
luar kepentingan yang telah disebutkan di atas hukumnya haram. Di antara
indikasi keharaman tersebut adalah keterangan Nabi saw tentang berkurangnya pahala setiap hari sebanyak satu atau dua qirath
karena memelihara anjing. Di dalam ilmu ushul fikih disebutkan bahwa perbuatan
haram ditunjukkan tidak semata-mata oleh suatu larangan (al-nahy),
tetapi bisa juga oleh implikasi (al-‘uqubah) yang ditimbulkan oleh
perbuatan tersebut (Wahbah al-Zuhailiy, I: 86-7).
Beberapa ulama
telah berusaha menjelaskan makna “berkurangnya pahala” dan besaran “qirath”
dalam hadis-hadis di atas. Pengertian
“berkurangnya pahala” menurut al-Qari seperti dinukil oleh
Mubarakfuri adalah hilangnya pahala masa
lalu. Sementara menurut Mubarakfuri sendiri
dalam Tuhfatul Ahwadzi (IV: 137) adalah perbuatan
baik di masa depan tidak diberi pahala. Tidak ada yang dapat dikomentari dari
dua kemungkinan penafsiran tersebut kecuali dengan mengatakan “wallahu a’lam”
(hanya Allah yang tahu). Tugas umat Islam adalah mempercayai bahwa perbuatan
memelihara anjing dapat berimplikasi negatif pada pahala kita
dan mengamalkannya. Sebesar apa
implikasi itu, kita serahkan kepada Allah.
Sedangkan
pengertian qirath dalam dua hadis di atas menurut para ulama adalah
suatu simbol akan kerasnya peringatan dari perbuatan memelihara anjing. Ibnu
Bathal (dikutip dari al-Ainiy, XXI: 98) menggunakan istilah innahu ghalazhun alaihim (memelihara
anjing adalah perkara berat untuk umat Islam). Sedangkan besaran qirath,
menurut para ulama hanya Allah yang tahu (Abadi, VI: 306). Bisa jadi qirath di sini hanya suatu metafora
(majaz) untuk suatu perbuatan yang amat tidak disukai oleh Allah.
Di antara ‘illah
(kausa atau motif hukum) dari terlarangnya memelihara anjing selain untuk kebutuhan
yang disebutkan di atas adalah penegasan dan peringatan dari Rasulullah saw, bahwa
malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat (memelihara)
anjing. Peringatan
Rasulullah tersebut bermakna bahwa rumah tersebut tidak mendapatkan kebaikan,
rahmat, keberkahan dan tidak mendapatkan pengampunan dari
Allah (al-Nawawi, VII: 207). Hadis yang menerangkan hal tersebut adalah:
عَنْ أَبِى طَلْحَةَ
الأَنْصَارِىِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم يَقُولُ: لاَ
تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ تَمَاثِيلُ . [رواه البخاري
ومسلم واللفظ له]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Thalhah al-Anshari, ia
berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Malaikat tidak masuk ke dalam
rumah yang di dalamnya terdapat anjing (dipelihara) dan patung (untuk
disembah)”. [HR. al-Bukhari dan Muslim dengan redaksi dari Muslim].
Suatu catatan
diperlukan di sini bahwa makna hadis tersebut tidak berarti bahwa malaikat maut
dan malaikat pencatat amal perbuatan manusia juga tidak masuk ke dalam rumah
manusia pemelihara anjing, sehingga pemelihara anjing berada pada “zona aman” (ghairu
mukallaf). Malaikat-malaikat tersebut tetap menjalankan tugasnya, karena
itulah kewajiban yang mereka emban dari Allah.
Dapat disimpulkan
dari pemaparan di atas, menurut agama Islam memelihara anjing hanya dapat
diperkenankan untuk kebutuhan-kebutuhan yang penting, seperti menjaga ternak,
menjaga sawah, menjaga rumah, berburu atau menjadi hewan pelacak. Di luar itu
memelihara anjing tidak diperkenankan. Catatan yang perlu diperhatikan adalah
untuk kebutuhan pengecualian tersebut hendaknya anjing jangan sampai masuk ke
dalam rumah (ruangan yang dihuni manusia), karena hal tersebut akan menghalangi
masuknya kebaikan, karena membuat orang lain tidak nyaman, merasa takut dan
risih. Selain itu keberadaan anjing di luar rumah harus benar-benar diperhatikan agar jangan sampai
menjilati pemiliknya atau menjilati barang-barang lain yang bersih. Karena
jilatan anjing, sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis, adalah suatu najis
yang harus dihindari (HR al-Bukhari dan Muslim).
Mengenai hewan apa
saja yang boleh dipelihara oleh keluarga muslim, kita dapat bersandarkan pada
satu kaedah fikih, اْلأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا دَلَّ
الدَّلِيْلُ عَلَي تَحْرِيْمِهِ
, artinya ‘pada dasarnya segala sesuatu itu boleh kecuali
setelah ada dalil yang melarang’. Menurut induksi yang kami lakukan, selain
hewan yang masuk ke dalam kategori di bawah ini, boleh dipelihara oleh umat
Islam:
- Hewan yang menimbulkan bahaya atau kerusakan, seperti ular, singa dan harimau. Dalilnya adalah hadis nabi : لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ , tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain (HR. al-Hakim).
- Hewan yang pada dasarnya haram untuk dimakan, seperti babi (QS. 2: 173).
- Hewan yang termasuk satwa langka dan dilindungi oleh undang-undang. Sebaiknya hewan jenis ini tidak dipelihara di rumah, tetapi diserahkan kepada kebun binatang, suaka margasatwa atau perlindungan pemerintah (QS. 4: 83).
Demikian jawaban
dari kami.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
M-Rf*)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com