Pertanyaan dari:
EJ, di Cirebon
(nama dan alamat diketahui redaksi)
(Disidangkan
pada Jum’at, 13 Zulqa'dah 1428 H / 23 November 2007 M)
Pertanyaan:
Sehubungan kami sangat awam masalah hukum Faraid
(pembagian warisan) maka dengan ini kami memohon bantuan kepada bapak untuk
memecahkan masalah kami dengan silsilah seperti:
A (istri) menikah dengan B (suami) dikaruniai 2 anak,
C (putri) dan D (putra). Sehubungan hal sesuatu terjadi perceraian. Anak C (putri)
diserahkan dan dipelihara oleh Nenek dari B, anak D (putra) ikut ibu. Setahun
kemudian B (bapak) menikah lagi dengan istri II (E). Istri II membawa seorang anak
(F) dari hasil pernikahannya dengan suaminya yang dulu. Rumah tangga B dan E
dikaruniai seorang anak (G), jadi memiliki seorang anak kandung dan seorang
anak tiri.
B masih hidup, ia menjual warisannya senilai Rp
600.000.000,- dan memberikan warisan hanya kepada anak dari istri II (E) saja
yaitu hanya kepada anak kandungnya (G) dan anak tirinya (F), sedangkan dua anak
kandung yang dilahirkan dari istri pertama, yaitu C dan D tidak diberi warisan.
Kata B haram hukumnya jika diberi warisan darinya, karena dulu A menikah dengan
B tidak membawa harta sedikit pun.
Hukum persoalan kami, kepada bapak mohon
penjelasan dan mendapat bagian berapa, siapa saja yang berhak mendapatkan
warisan tersebut, berapa % harta yang diterima dari B dan haram tidak anak
dapat warisan?
Demikianlah permohonan kami semoga bapak dapat
memecahkan persoalan kami. Atas kebaikan dan bantuan bapak kami ucapkan terima
kasih.
Jawaban:
Perlu diketahui bahwa salah satu syarat dalam
pembagian warisan menurut ajaran Islam, yakni bahwa pewaris telah meninggal
dunia. (Periksa: Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, Ahkamul Mawarits fisy
Syari‘atil Islamiyah ‘ala Madzahibil Arba‘ah, halaman 13; H. Ahmad Azhar
Basyir, M.A., Hukum Waris Islam, halaman 16). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa jika pewaris belum meninggal dunia atau dengan kata lain masih
hidup, maka tidak terjadi pembagian warisan. Sehubungan dengan pertanyaan yang
saudara ajukan, maka sesungguhnya permasalahan yang saudara tanyakan, menurut
ajaran atau hukum Islam tidak atau belum menjadi permasalahan warisan.
Sungguhpun demikian akan kami jelaskan beberapa ketentuan hukum
Islam yang berkaitan dengan permasalahan yang saudara hadapi, yakni:
1. Pemberian harta oleh
seseorang kepada orang yang masih ada hubungan kekerabatan bahkan jika pemberi
meninggal dapat mewariskan harta kepada yang diberi selama pemberi masih hidup,
tidak dapat dikategorikan pewarisan. Sehubungan dengan pertanyaan saudara, maka
pemberian B kepada salah seorang anak kandungnya demikian pula kepada anak
tirinya tidak dapat dikategorikan sebagai pewarisan, melainkan dikategorikan
sebagai hibah.
Dalam hal pemberian atau hibah kepada anak diajarkan
agar pemberian itu dilakukan secara adil antara anak yang satu dengan anak yang
lain. Disebutkan dalam hadits:
1- اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ فِي الْعَطِيَّةِ. [رواه
البخاري]
Artinya: “Berbuat adillah kamu dalam pemberian di antara
anak-anakmu.” [HR. al-Bukhari]
2- عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ
أَنْحَلَنِي أَبِي نُحْلاً قَالَ إِسْمَعِيلُ بْنُ سَالِمٍ مِنْ بَيْنِ الْقَوْمِ
نِحْلَةً غُلاَمًا لَهُ قَالَ فَقَالَتْ لَهُ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ
ائْتِ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشْهِدْهُ فَأَتَى النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشْهَدَهُ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَهُ
إِنِّي نَحَلْتُ ابْنِي النُّعْمَانَ نُحْلاً وَإِنَّ عَمْرَةَ سَأَلَتْنِي أَنْ
أُشْهِدَكَ عَلَى ذَلِكَ قَالَ فَقَالَ أَلَكَ وَلَدٌ سِوَاهُ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ
قَالَ فَكُلَّهُمْ أَعْطَيْتَ مِثْلَ مَا أَعْطَيْتَ النُّعْمَانَ قَالَ لاَ قَالَ
فَقَالَ بَعْضُ هَؤُلاَءِ الْمُحَدِّثِينَ هَذَا جَوْرٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ هَذَا
تَلْجِئَةٌ فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي قَالَ مُغِيرَةُ فِي حَدِيثِهِ
أَلَيْسَ يَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا لَكَ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ سَوَاءٌ قَالَ
نَعَمْ قَالَ فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي وَذَكَرَ مُجَالِدٌ فِي حَدِيثِهِ
إِنَّ لَهُمْ عَلَيْكَ مِنْ الْحَقِّ أَنْ تَعْدِلَ بَيْنَهُمْ كَمَا أَنَّ لَكَ
عَلَيْهِمْ مِنْ الْحَقِّ أَنْ يَبَرُّوكَ. [رواه أبو داود وأحمد]
Artinya: “Diriwayatkan dari asy-Sya‘bi dari Nu‘man Ibnu Basyir,
ia berkata: Ayahku memberiku suatu pemberian. Berkata Isma‘il Ibnu Salim dari
salah seorang saudara-saudaranya. Ia (ayahnya) telah memberikan kepadanya
seorang budak laki-laki. Ia berkata: Ibuku ‘Amrah Binti Rawahah berkata
kepadanya: Datanglah kamu kepada Rasulullah saw dan persaksikanlah kepadanya.
Kemudian ia mendatangi Rasulullah saw dan mempersaksikan serta menyampaikan hal
itu seraya berkata: Saya telah memberi kepada anakku (an-Nu'man) suatu
pemberian, kemudian ‘Amrah meminta saya agar mempersaksikan ini kepadamu
(kepada Rasulullah saw). Rasulullah kemudian bertanya: Apakah kamu punya anak
laki-laki yang lain? Ia mengatakan; Saya menjawab: Ya. Kemudian beliau bertanya
lagi: Apakah mereka telah kau beri sebagaimana yang kau berikan kepada
an-Nu‘man? Ia menjawab, tidak. Maka sebagian anak-anak akan mengatakan: Ini
merupakan perbuatan curang, sedang yang lain akan mengatakan: Ini adalah
perbuatan pilih kasih. Maka persaksikanlah pemberian ini kepada selain diriku.
Berkata Mughirah dalam pembicaraan dengannya: Bukankah kamu menjadi senang,
mereka berbuat baik dan bersikap sopan yang sama kepadamu? la menjawab: Ya. Ia
berkata; Persaksikanlah hal itu kepada selain diriku. Dan disampaikan oleh Mujalid
dalam pembicaraan dengannya: Mereka punya hak terhadapmu untuk berlaku adil di
antara mereka, sebagaimana kamu mempunyai hak agar mereka berbuat baik
kepadamu.” [HR. Abu Dawud dan Ahmad]
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni
menjelaskan bahwa pemberian orang tua kepada anak boleh untuk dilebihkan dari
yang lain apabila dalam keadaan khusus, seperti kepada anak yang cacat,
misalnya buta atau yang lain, atau karena anak yang disibukkan dengan mendalami
dan mengembangkan ilmu; dan juga anak boleh dijauhkan dari pemberian, apabila
pemberian itu justru untuk berbuat maksiat. Dalam hal melebihkan pemberian
tersebut hendaknya dilakukan orang tua dengan penuh hikmah/kebijaksanaan dan
sedapat mungkin atas sepengetahuan atau sepersetujuan anak-anaknya yang lain.
Demikian pula Islam mengajarkan, tidak boleh seseorang
melakukan pemberian kepada orang lain yang mengakibatkan kerugian atau
kesengsaraan bagi anak. Secara umum dalam hadits Nabi saw disebutkan:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. [رواه ابن ماجه وأحمد]
Artinya: “Tidak boleh (memulai) berbuat kemadlaratan
dan tidak boleh pula berbuat untuk membalas kemadlaratan.”[HR. Ibnu Majah
dan Ahmad].
Dalam hadits lain yang berkaitan dengan pemberian wasiat,
Nabi saw bersabda:
إِنَّكَ
أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً
يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ [متفق عليه]
Artinya: “Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam
keadaan kaya lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta
kepada orang-orang.” [Muttafaq Alaih]
2. Sekali lagi kami tegaskan bahwa pewarisan baru
akan terjadi apabila pewaris telah meninggal dunia. Hanya saja diandaikan B
telah meninggal dunia, dalam saat itu isterinya masih hidup dan di kala B
meninggal dunia masih terikat dalam perkawinan atau dalam keadaan iddah talak
raj’i; demikian pula anak-anaknya yang disebutkan itu masih hidup, maka mereka
semua adalah ahli waris yang berhak mendapat bagian warisan.
3. Berdasarkan Kompilasi
Hukum Islam Pasal 96 ayat (1) yang berbunyi: “Apabila terjadi cerai mati, maka
separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Dengan demikian istri II (E) memperoleh separoh dari harta bersama
yaitu harta yang diusahakan selama perkawianan antara B dan E. Selain itu E
juga memperoleh bagain 1/8 dari harta waris yang ditinggalkan oleh B. Dalam
al-Qur’an disebutkan:
Artinya: “Maka para isteri memperoleh
seperempat dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika
kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu.” [QS. an-Nisa' (4): 12]
4. Bahwa anak dari perkawinan yang sah, berhak
mendapat warisan dari orang tuanya (ayah atau ibu) yang telah meninggal dunia.
Jika suami beristri lebih dari seorang atau menikah lebih dari satu kali dan
dari masing-masing istri mempunyai anak, maka anak dari istri yang manapun
berhak mendapat warisan dari ayahnya yang telah meninggal dunia. Anak laki-laki
bersama anak perempuan berkedudukan sebagai ahli waris ‘ashabah (mewarisi
seluruh harta waris setelah dikurangi bagian ahli waris yang memperoleh bagian
tertentu, misalnya bagian isteri adalah seperdelapan jika suami meninggal
dunia). Bagian masing-masing anak laki-laki dua kali bagian untuk masing-masing
anak perempuan. Berdasarkan firman Allah:
Artinya: “Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu
bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.”
[QS. an-Nisa’ (4): 11]
Jika anak lebih dari satu orang dan semuanya laki-laki
bagian mereka dibagi secara sama. Jika ahli waris seorang anak perempuan saja,
maka ia memperoleh separoh dari harta waris dan jika ahli waris dua orang anak
perempauan atau lebih tanpa anak laki-laki, mereka secara bersama-sama
memperoleh dua pertiga dari harta waris, yang kemudian dibagi secara sama
kepada semua ahli waris anak perempuan itu. Firman Allah:
Artinya: “…dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua (maksudnya dua atau lebih), maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka
ia memperoleh separoh harta.” [QS. an-Nisa’
(4): 11]
5. Pemberian oleh orang tua kepada anak selama
hidupnya, kelak dapat diperhitungkan dalam pembagian warisan jika orang tua
telah meninggal dunia. Disebutkan dalam Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam: “Hibah
orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”.
6. Contoh Perhitungan
Diumpamakan seluruh harta peninggalan B, sebanyak Rp.
650.300.000,-. Sebelum harta peninggalan ini dibagi, maka terlebih dahulu
dikeluarkan untuk membayar biaya perawatan jenazah, misalnya untuk membeli
perlengkapan dalam memandikan jenazah, membeli kain kafan dan ongkos gali kubur,
sebesar Rp. 300.000,-. Selama hidupnya ia pernah berwasiat akan memberikan
hartanya sebesar Rp 45.000.000,- untuk panti asuhan anak yatim; maka sebelum
harta peninggalan dibagi kepada ahli waris, wasiat ini harus ditunaikan
terlebih dahulu. Sampai dengan saat meninggal dunia B tidak mempunyai hutang,
namun masih mempunyai kesanggupan memberi dana untuk pembangunan masjid sebesar
Rp. 5.000.000,-; maka sebelum harta peninggalan dibagi, kesanggupan ini harus
dibayar terlebih dahulu, karena kesanggupan tersebut termasuk dalam kategori
hutang. Dengan demikian, harta warisnya sebesar Rp. 650.300.000,- dikurangi
dengan biaya-biaya perawatan janazah, wasiat dan hutang, sebesar Rp.
50.300.000,- yakni menjadi Rp. 600.000.000,-. Setelah dilakukan perhitungan secara
seksama terhadap harta peninggalan ini, ternyata dari Rp. 600.000.000,-
tersebut terdiri dari Rp. 200.000.000,- harta bawaan B, sedangkan yang Rp.
400.000.000,- merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan dengan E, atau
yang lazim disebut dengan harta bersama.
Cara perhitungannya adalah: Mula-mula separoh harta
bersama, diberikan kepada isteri (E), yakni 1/2 x Rp. 400.000.000,-
yaitu Rp. 200.000.000,-. Selebihnya yaitu Rp 200.000.000,- ditambah dengan
harta bawaan B sebesar Rp. 200.000.000,-, sehingga menjadi Rp. 400.000.000,-
dibagikan kepada ahli waris, yakni:
- Isteri (E) memperoleh 1/8 harta warisan x Rp. 400.000.000,- = Rp. 50.000.000,-. Dengan demikian secara keseluruhan E memperoleh Rp. 200.000.000,- + Rp. 50.000.000,- = Rp. 250.000.000,-.
- Sisa harta waris yakni Rp.
400.000.000,- dikurangi Rp. 50.000.000,- sama dengan Rp. 350.000.000,-
dibagi kepada semua anaknya, yaitu: C, D dan G. Jika G berjenis kelamin
laki-laki, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
C (perempuan) mendapat bagian 1
x 1 = 1
D dan G (laki-laki) mendapat bagian 2
x 2 = 4
Jumlah =
5
Bagian C adalah 1/5 x Rp. 350.000.000,- = Rp. 70.000.000.-
Bagian D dan G 4/5 x Rp. 350.000.000,- = Rp. 280.000.000.-
Bagian D Rp. 280.000.000,- : 2 =
Rp. 140.000.000,-
Bagian G Rp. 280.000.000,- : 2 =
Rp. 140.000.000,-
Jika G berjenis kelamin perempuan, maka pembagiannya
adalah sebagai berikut:
C dan G (perempuan) mendapat bagian 2
x 1 = 2
D (laki-laki) mendapat bagian 1
x 2 = 2
Jumlah =
4
Bagian C dan G 2/4 x Rp. 350.000.000,- = Rp. 175.000.000,-
Bagian C Rp. 175.000.000,- : 2 =
Rp. 87.500.000,-
Bagian G Rp. 175.000.000,- : 2 =
Rp. 87.500.000,-
Bagian D 2/4 x Rp. 350.000.000,- =
Rp. 175.000.000,-
Sebagaimana telah disebutkan bahwa pemberian orang tua
kepada anak selama hidupnya dapat diperhitungkan dalam pembagian warisan ini.
Maka jika memang telah terjadi pemberian orang tua kepada anak, demi keadilan
perlu untuk diperhatikan ketentuan ini.
F sebagai
anak tiri tidak mendapat warisan, namun al-Qur’an mengajarkan agar kerabat atau
orang miskin dan anak yatim yang hadir saat pembagian warisan hendaknya diberi
sekedarnya sebagai infaq atau shadaqah.
Demikian yang dapat kami
sampaikan semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam
bish-shawab. *dw)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com