Pertanyaan Dari:
Ketua salah satu PDM
di DIY,
disampaikan langsung
secara lisan kepada Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah
Tanya:
Di kampung sekitar tempat saya
tinggal, banyak teman-teman kita yang mengatakan bahwa apabila rukyat dapat
dilakukan di suatu tempat di dunia, maka rukyat itu berlaku untuk seluruh
dunia. Itu bagaimana duduk persoalannya dan bagaimana pandangan Tarjih?
Jawab:
Sebelum
menjawab pertanyaan tentang berlakunya rukyat di suatu tempat bagik seluruh
dunia (yang sering disebut dengan rukyat global), perlu terlebih dahulu dijelaskan
pandangan Tarjih tentang penetapan awal bulan kamariah. Dalam praktiknya di
lingkungan Muhammadiyah, seperti dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid,
digunakan hisab untuk penetapan awal bulan kamariah, termasuk bulan-bulan
ibadah. Majelis Tarjih dan Tajdid tidak menggunkan rukyat.
Alasan penggunaan hisab dalam
Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ (الرحمن:5)
Artinya:
Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan (QS. ar-Rahman, 55:5)
2. Al-Qur’an
Surat Yunus ayat 5
هُوَ
الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا
عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ (يونس:5)
Artinya: Dia-lah
yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) (QS. Yunus, 10: 185).
3.
Hadis al-Bukhari dan Muslim,
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ
فصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا
لَهُ [رواه البخاري
، واللفظ له ، ومسلم] .
Artinya: Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan
apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awan
terhadapmu, maka estimasikanlah [HR al-Bukhari, dan lafal di atas adalah
lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim].
4.
Hadis tentang keadaan umat yang masih ummi, yaitu sabda
Nabi saw,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ
الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ [رواه البخاري
ومسلم].
Artinya: Sesungguhnya kami
adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab.
Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh
sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari [HR al-Bukhari dan
Muslim].
Surat
ar-Rahman ayat 5 dan surat Yunus ayat 5 menegaskan bahwa benda-benda langit
berupa matahari dan Bulan beredar dalam orbitnya dengan hukum-hukum yang pasti
sesuai dengan ketentuan-Nya. Oleh karena itu peredaran benda-benda langit
tersebut dapat dihitung (dihisab) secara tepat. Penegasan kedua ayat ini tidak
sekedar pernyataan informatif belaka, karena dapat dihitung dan diprediksinya
peredaran benda-benda langit itu, khususnya matahari dan bulan, bisa diketahui
manusia sekalipun tanpa informasi samawi. Penegasan ayat itu justru merupakan
pernyataan imperatif yang memerintahkan untuk memperhatikan dan mempelajari
gerak dan peredaran benda-benda langit tersebut yang akan membawa banyak
kegunaan seperti untuk meresapi keagungan Sang Pencipta, dan untuk kegunaan
praktis bagi manusia sendiri antara lain untuk dapat menyusun suatu sistem
pengorganisasian waktu yang baik seperti dengan tegas dinyatakan oleh 5 surat
Yunus (... agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu).
Pada zamannya,
Nabi saw dan para Sahabatnya tidak menggunakan hisab untuk menentukan masuknya
bulan baru kamariah, melainkan menggunakan rukyat seperti terlihat dalam hadis
pada angka 3 di atas dan beberapa hadis lain yang memerintahkan melakukan
rukyat. Praktik dan perintah Nabi saw agar melakukan rukyat itu adalah praktik
dan perintah yang disertai ‘illat (kausa hukum). ‘Illatnya dapat difahami dalam
hadis pada angka 4 di atas, yaitu keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi
(Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, II: 152). Keadaan ummi artinya adalah
belum menguasai baca tulis dan ilmu hisab (astronomi), sehingga tidak mungkin
melakukan penentuan awal bulan dengan hisab seperti isyarat yang dikehendaki
oleh al-Quran dalam surat ar-Rahman dan Yunus di atas. Cara yang mungkin dan
dapat dilakukan pada masa itu adalah dengan melihat hilal bulan secara
langsung: bila hilal terlihat secara fisik berarti bulan baru dimulai pada
malam itu dan keesokan harinya dan bila hilal tidak terlihat, bulan berjalan
digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa.
Sesuai dengan
kaidah fikih (al-qawa‘id al-fiqhiyyah) yang berbunyi,
الحكم يدور
مع علته وسببه وجودا وعدما
Artinya:
Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ‘illat dan
sebabnya [I‘lam al-Muwaqqi‘in, IV: 105],
maka ketika ‘illat
sudah tidak ada lagi, hukumnya pun tidak berlaku lagi. Artinya ketika keadaan
ummi itu sudah hapus, karena tulis baca sudah berkembang dan pengetahuan hisab
astronomi sudah maju, maka rukyat tidak diperlukan lagi dan tidak berlaku lagi.
Dalam hal ini kita kembali kepada semangat umum dari al-Quran, yaitu melakukan
perhitungan (hisab) untuk menentukan awal bulan baru kamariah.
Telah jelas
bahwa misi al-Quran adalah untuk mencerdaskan umat manusia, dan misi ini adalah
sebagian tugas pokok yang diemban oleh Nabi Muhammad saw dalam dakwahnya. Ini
ditegaskan dalam firman Allah,
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّينَ رَسُولاً
مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ [الجمعة
(62) :
2].
Artinya: Dia-lah
yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul yang berasal dari kalangan
mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka
dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan kebijaksanaan. Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata [Q. al-Jumu‘ah (62): 2].
Dalam rangka
mewujudkan misi ini, Nabi saw menggiatkan upaya belajar baca tulis seperti
terlihat dalam kebijakannya membebaskan tawanan Perang Badar dengan tebusan
mengajar kaum Muslimin baca tulis, dan beliau memerintahkan umatnya agar giat
belajar ilmu pengetahuan seperti tercermin dalam sabdanya,
طلب
العلم فريضة على كل مسلم [رواه الطبراني عن عبد الله بن
مسعود ، ووكيع عن أنس]
Artinya: Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim [HR ath-Thabarani
dari ‘Abdullah Ibn Mas‘ud, dan riwayat Waki‘ dari Anas].
Dalam kerangka
misi ini, sementara umat masih dalam keadaan ummi, maka metode penetapan awal
bulan dilakukan dengan rukyat buat sementara waktu. Namun setelah umatnya dapat
dibebaskan dari keadaan ummi itu, maka kembali kepada semangat umum al-Quran
agar menggunakan hisab untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Atas dasar
itu, beberapa ulama kontemporer menegaskan bahwa pada pokoknya penetapan awal
bulan itu adalah dengan menggunakan hisab,
اْلأَصْلُ
فِيْ إِثْباَتِ الشَّهْرِ أَنْ يَكُوْنَ باِلْحِسَابِ
Artinya: Pada asasnya
penetapan bulan qamariah itu adalah dengan hisab [yaraf al-Qudah].
Dalam
Muhammadiyah digunakan hisab hakiki wujudul hilal. Arti hisab hakiki adalah
bahwa penanggalan didasarkan kepada gerak sebenarnya (hakiki / sesungguhnya)
dari Bulan. Hisab hakiki berbeda dengan hisab urfi, yang tidak mendasarkan pada
gerak sebenarnya dari Bulan, sehingga antara hisab urfi dan gerak Bulan tidak
selalu sejalan, terkadang hisab urfi mendahului dan terkadang terlambat. Wujul
hilal artinya keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam setelah
terjadinya konjungsi. Jadi hisab hakiki wujudul hilal itu menetapkan bulan baru
dengan tiga kriteria, yaitu:
a.
telah terjadi ijtimak (konjungsi), yaitu tercapainya
satu putaran sinodis Bulan mengelilingi bumi,
b.
ijtimak terjadi sebelum terbenamnya matahari, dan
c. pada saat matahari terbenam Bulan berada
di atas ufuk.
Apa yang dikemukakan di atas adalah alasan
syar‘i. Sedangkan alasan astronomis adalah:
1) Rukyat tidak dapat dijadikan landasan
untuk membuat kalender, karena dengan rukyat, awal bulan baru bisa diketahui
pada H-1, dan rukyat tidak bisa meramal tanggal jauh ke depan sehingga tidak
mungkin membuat penjadwalan waktu.
2)
Rukyat tidak
bisa menyatukan tanggal di seluruh dunia karena rukyat terbatas jangkauannya.
Rukyat hanya bisa dipedomani pada kawasan normal, yaitu kawasan di bawah garis
60º LU dan di atas garis 60º LS. Kawasan di luar itu adalah tidak normal karena
munculnya Bulan akan terlambat. Di kawasan Lingkaran Artika dan
Lingkaran Antartika pada musim dingin yang bisa dilihat hanya Bulan purnama dan
Bulan cembung. Bulan sabit berada di bawah ufuk selama musim dingin.
3)
Rukyat akan membelah kawasan muka bumi menjadi dua
bagian, yaitu kawasan yang bisa merukyat dan kawasan yang pada sore yang sama
tidak bisa merukyat yang berakibat terjadinya perbedaan memasuki bulan baru.
Kawasan yang sudah bisa merukyat hilal memasuki bulan baru pada malam itu dan
keesokan harinya, sementara kawasan yang tidak bisa melihat hilal pada sore
tersebut memasuki bulan baru lusa. Rukyat akan senantiasa membelah muka bumi,
sehingga mustahil menyatukan awal bulan kamariah berdasarkan rukyat. Berikut
ini adalah peta kurve rukyat Syawal 1428 H (11 Oktober 2007 M) berdasarkan
kriteria rukyat ‘Audah.
Kurve rukyat Syawal 1428 H (11 Oktober
2007 M).
Garis A adalah
garis terbenamnya Matahari dan Bulan bersamaan. Sedangkan kurve B menunjukkan bahwa
kawasan di dalam kurve B tersebut bisa merukyat hilal Syawal pada sore Kamis 11
Oktober 2007. Tampak bahwa hilal Syawal terlihat di kawasan kecil di selatan
benua Amerika Latin, yaitu beberapa daerah di Cile, sementara di ibukota
Santiago sendiri hilal Syawal tidak dapat dilihat. Pada kawasan dunia lainnya
hilal syawal 1428 (2007) tidak dapat dirukyat pada hari tersebut. Keadaan ini
memaksa dunia memasuki 1 Syawal 1428 H pada hari yang berbeda.
4)
Atas dasar itu, maka pada tahun tertentu, rukyat akan memaksa
umat Islam di dunia untuk melaksanakan puasa Arafah pada hari yang berbeda
dengan hari terjadinya wukuf di Arafah (Mekah) secara riil. Sebagai contoh
adalah Zulhijah 1431 H. Pada sore Sabtu (hari konjungsi) 06 November 2010 M, di
Mekah tinggi (titik pusat) Bulan geosentrik saat Matahari terbenam baru
mencapai setengah derajat (0,5º). Tinggi toposentrik malah masih minus. Itu
artinya Mekah akan menggenapkan Bulan Zulkaidah 30 hari dan akan memulai
tanggal 1 Zulhijah 1431 H pada hari Senin 08 November 2010 M dan hari Arafah
akan jatuh pada hari Selasa 16 November 2010 M. [Catatan: di Mekah rukyat
selalu tidak akurat, sering terjadi klaim rukyat padahal Bulan masih di bawahg
ufuk sebagaimana kasus-kasus beberapa tahun belakangan]. Sementara itu di bagian
selatan benua Amerika Latin hilal Zulhijah insya Allah terlihat pada hari Sabtu
06 November 2010 H apabila langit cerah. Di ibukota Cile, Santiago, tinggi
Bulan geosentrik adalah 09º 49’ 35”. Itu artinya bahwa sebagian besar
masyarakat Muslim Amerika Latin akan memasuki 1 Zulhijah pada hari Ahad 07
November 2010 M dan hari Arafah akan jatuh pada hari Senin 15 November 2010 M.
Jadi timbul perbedaan hari mengerjakan puasa Arafah antara Mekah dan Amerika
Latin. Pertanyannya kapan orang Muslim di sana melaksanakanpuasa Arafah: pada
hari Senin sesuai penanggalan mereka? Padahal di Mekah belum terjadi wukuf
karena wukuf baru keesokan harinya (Selasa). Atau mereka menunda satu hari,
menunggu wukuf hari Selasa di Mekah, tapi itu adalah hari Idul Adha bagi mereka
(tanggal 10 Zulhijah). Inilah problem penanggalan yang ditimbulkan oleh rukyat.
Contoh
lain adalah Zulhijah 1455 (Februari 2034 M). Sore Ahad 19 Februari 2009 M,
hilal Zulhijah diperkirakan dapat dilihat di Mekah. Konjungsi terjadi hari Ahad
19-02-2034 M pukul 02:10 Waktu Mekah dan tinggi Bulan geosentrik saat matahari
terbenam sore Ahad adalah 07º 34’ 26”. Ini artinya Mekah memulai 1 Zulhijah
1455 H pada hari Senin 20 Februari 2034 M dan arafah jatuh pada hari Selasa 28
Februari 2034 M. Sementara di Yogyakarta tinggi geosentrik titik pusat Bulan
baru mencapai 03º 29’ 30” (tinggi toposentrik 02º 29’ 49”). Menurut kriteria
Istambul dan ‘Audah, tinggi Bulan demikian belum memungkinkan untuk dapat
dirukyat. (Catatan: di Indonesia tinggi 2º saja dianggap telah dapat dirukyat,
dan ini tidak sesuai dengan kriteria internasional). Jadi rukyat akan memaksa
Indonesia memasuki Zulhijah 1455 H (2034 M) pada hari berbeda dan akan
menimbulkan problem pelaksanaan puasa Arafah. Jadi rukyat tidak dapat
menyatukan kalender Islam dan sebaliknya memaksa memasuki bulan kamariah baru
pada hari berbeda sehingga timbul problem anatara lain pelaksanaan puasa
Arafah.
Dengan alasa-alasan di atas, maka
tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan hisab. Menyadari hal ini, maka Temu
Pakar II yang diselenggrakan oleh ISESCO di Maroko tahun 2009 menegaskan bahwa
pemecahan problem penetapan bulan kamariah tidak dapat dilakukan kecuali
berdasarkan penggunaan hisab.
Kembali kepada
pertanyaan pokok tentang rukyat di suatu tempat yang diberlakukan bagi seluruh
dunia, maka hal itu secara astronomis adalah mustahil apabila yang dimaksud
adalah rukyat fisik (fikliah). Kemustahilan rukyat global fikliah itu adalah
karena jangkauan rukyat untuk dapat ditransfer ke arah timur maksimal adalah 9
jam atau 10 jam, sementara selisih waktu antara zona timur dan zona barat
adalah 24 jam. Bahkan sejak Kiribati mengubah dan membelokkan Garis Tanggal
Internasional ke batas timur negara tersebut sejak tahun 1995, beda waktu zona
timur (pada titik K) dengan zona barat menjadi 26 jam. Apabila terjadi rukyat
di Maroko pada suatu sore pada jam 07:00 sore, maka rukyat Maroko jam 07:00
sore itu hanya dapat diberlakukan paling timur adalah di Indonesia bagian
timur. Lebih dari itu, maka tidak bisa diberlakukan lagi karena sudah keburu
subuh. Apabila terjadi rukyat di New York pukul 06:00 sore musim semi, maka
orang Indonesia tidak mungkin menunggu rukyat New York itu, karena saat rukyat
terjadi di new York, di Indonesia hari sudah pukul 06:00 pagi. Jadi rukyat
global secara fikliah itu adalah mustahil.
Perlu
dicatat bahwa memang dalam kitab-kitab fikih, banyak ulama yang membenarkan
rukyat global (rukyat di suatu tempat berlaku utnuk seluruh dunia). Imam Ibn
Taimiyyah, asy-Syaukani, Ibn ‘Abidin, semuanya pendukung rukyat global. Imam
Nawawi mengutip pendapat sejumlah ulama Syafiiah bahwa apabila terjadi rukyat
di suatu tempat, maka berlaku untuk seluruh muka bumi. Perlu dicamkan bahwa
ulama-ulama tersebut mengemukakan ijtihadnya dalam kondisi astronomi belum
mencapai kemajuan spektakuler seperti sekarang. Mereka belum semua mengetahui
bahwa bumi ini bulat, belum ada garis Tanggal Internasional, belum banyak
memahami bahwa Bulan bergerak secara semu semakin meninggi ke arah barat, dan
banyak lagi yang lain. Bahkan banyak di antara ulama itu yang sama sekali tidak
memahami dasar-dasar astronomi, meskipun banyak yang menguasainya. Jadi
kesimpulannya adalah bahwa rukyat di suatu tempat mustahil diberlakukan di
seluruh dunia. Yang bisa dipakai hanyalah imkanu rukyat global, tetapi imkanu
rukyat bukanlah rukyat, melainkan adalah hisab. Kemustahilan menggunakan rukyat
global juga telah ditegaskan dalam keputusan Temu Pakar II di Maroko yang
kutipannya dikemukakan berikut ini.
Sebagai
penutup perlu dikutipkan keputusan “Temu Pakar II untuk Perumusan Kalender
Islam” yang dilangsungkan di Maroko dengan disponsori oleh ISESCO (Islamic
Educational, Scientific and Cultural Organization), suatu badan OKI (Organisasi
Konferensi Islam), yang berbunyi:
Kedua,
Masalah Penggunaan Hisab: Para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan
problematika penetapan bulan kamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin
dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal
bulan kamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu
salat, dan menyepakati pula bahwa penggunaan hisab itu adalah untuk penolakan
rukyat dan sekaligus penetapannya.
Dalam
keputusan tersebut juga ditegaskan bahwa kita tidak mungkin menggunakan rukyat
global dan beberapa prinsip lain seperti tercermin dalam butir ketiga
keputusannya yang berbunyi,
Ketiga, Masalah Transfer Imkanu Rukyat: Mengingat bahwa rukyat hilal
dilakukan ketika terbenamnya matahari setelah terjadinya konjungsi, dan rukyat
itu terkait dengan tempat sebagaimana halnya waktu-waktu salat, dan berbeda
dengan konjungsi yang ditentukan untuk seluruh muka bumi, demikian juga rukyat
terkait dengan cara mengintai hilal seperti rukyat visual dengan mata
telanjang, atau dengan bantuan alat optik, atau dari pesawat, atau dengan
satelit, maka para peserta menegaskan bahwa prinsip “transfer rukyat” –yang
berdasarkan kepadanya kawasan yang tidak dapat melihat hilal berpegang kepada
rukyat yang terjadi pada tempat lain– tidak mungkin didiberlakukan secara umum
ke seluruh dunia, sebab ketika terjadinya rukyat hilal pada suatu petang di
suatu kawasan sebelah barat, kawasan sebelah timur telah memasuki hari
berikutnya karena adanya perbedaan waktu antara kawasan timur dan barat.
Transfer rukyat semacam itu bertentangan dengan upaya penyatuan kalender Islam.
Demikian pula halnya dengan prinsip “penyatuan rukyat” –yang dengannya bulan
baru tidak dimulai sebelum terjadinya rukyat baik secara visual maupun dengan
hisab (imkanu rukyat) di suatu tempat di muka bumi, karena alasan yang sama.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah