TERHADAP NAFKAH ANAKNYA
Pertanyaan Dari:
Hamba Allah di Kalasan, Yogyakarta
Tanya:
1. Sampai umur berapa tahun seorang ayah masih bertanggung jawab terhadap anaknya dalam hal nafkah, keagamaan dan kelakuannya?
2. Seandainya ada seorang anak yang tidak disukai oleh orang tuanya, seperti ia murtad atau memeluk agama selain Islam, pemabuk, penjudi atau penjahat. Dapatkah orang tua mengucilkan (memutuskan kekeluargaannya)? Demikian halnya apakah anak yang murtad ini berhak atas warisan dari orang tuanya?
Jawab:
Kewajiban dan hubungan orang tua terhadap anaknya dapat dibedakan kepada dua hal, yaitu kewajiban yang bersifat materiil dan non materiil. Kewajiban di bidang materiil antara lain memberi nafkah sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat at-Talaq
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.”
Termasuk dalam kriteria memberi nafkah ialah memenuhi biaya pendidikannya. Batas kewajiban orang tua memberi nafkah ialah sampai anak menjadi dewasa dan mampu berdiri sendiri atau bisa mencari nafkah sendiri. Oleh karena itu sekalipun sudah dewasa tetapi apabila belum bisa mandiri, karena masih dalam masa studi, umpamanya, maka nafkahnya masih menjadi tanggungan orang tua. Al-Qur’an maupun hadis Nabi saw tidak menyebutkan secara pasti berapa usia dewasa tersebut. Dalam hadis hanya disebutkan bahwa tanda aqil balig yang dapat menerima taklif atau bebanan, khususnya dalam soal ibadah ialah bagi anak laki-laki apabila sudah ihtilam/ mimpi, sedangkan perempuan apabila sudah menstruasi.
Adapun kewajiban orang tua terhadap anaknya yang bersifat non materiil antara lain berujud: kecintaan, perlindungan, pemeliharaan, pendidikan dan pengajaran serta pertanggung jawabannya terhadap Allah. Tujuannya adalah agar anak kita menjadi anak yang berkualitas yang bermanfaat bagi masyarakat. Allah menyebutkannya dengan kriteria zurriyyah tayyibah dalam firman-Nya surat al-Furqan ayat 74:
“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Juga seperti disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 38:
“Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa"
Perintah untuk mendidik anak-anak kita agar menjadi seorang anak yang beragama Islam dengan baik dan benar, juga ditunjukkan dalam firman Allah surat at-Tahrim ayat 6:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka … ”
Kewajiban orang tua yang bersifat non materiil untuk mewujudkan anak yang berkriteria zurriyyah tayyibah, batasan tanggungjawabnya yaitu sampai anak menjadi dewasa, mampu menentukan jalan hidupnya sendiri. Oleh karena itu kalau orang tua sudah berusaha mendidiknya dan mengarahkan anaknya untuk menjadi seorang muslim yang baik, kemudian di belakang hari setelah si anak dewasa dan atas dasar kemauan dan pertimbangannya ia menjadi tidak beragama Islam lagi atau keluar dari agama Islam (murtad) maka orang tua tidak berdosa, karena sudah di luar kewajibannya sekalipun ia tetap mempunyai hak untuk menasehatinya.
Anak yang berperilakau jelek harus diupayakan perbaikannya, selagi ada cara lain yang dapat ditempuh sebaiknya jangan dikucilkan apalagi kalau sampai diputuskan hubungan kekeluargaannya, karena nafkah dari si anak tetap menjadi kewajiban orang tua. Berdosa hukumnya orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan. Demikian halnya sekalipun ia berbeda agama, tetapi hubungan nasabnya tidak akan dapat dihilangkan. Hanya saja dalam kaitannya dengan kewarisan ketentuannya memang berbeda. Karena kewarisan Islam itu selain didasarkan atas adanya hubungan kekeluargaan dan perkawinan juga menganut asas personalitas keislaman, artinya bahwa peralihan harta warisan hanya terjadi apabila antara pewaris dan ahli waris sama-sama beragama Islam. Oleh karena itu anak yang tidak beragama Islam tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tuanya yang beragama Islam. Kebalikannya, orang tua yang tidak beragama Islam tidak berhak menerima warisan dari anaknya yang bergama Islam. Ketentuan ini didasarkan kepada sabda Nabi saw, riwayat al-Bukhari Muslim dari Usamah ibn Zaid:
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ [رواه البخاري ومسلم]
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com