Salat Tatawu' Setelah Wudlu, Hadis Ibnu Abbas

SALAT TATAWWU’ ANTARA ADZAN DAN IQAMAH, HADIS RIWAYAT IBNU ABBAS TENTANG ZAKAT FITRI DAN

HADIS RIWAYAT AISYAH TENTANG SHALAT MALAM

Pertanyaan Dari:
Saudara Arfan A. Tilome, NBM. 669.335, Jalan Jendral A. Yani 39/
Masjid Darul Arqom, Gorontalo, Sulut, 96115

Pertanyaan:
1.     Dalam HPT tercantum bahwa di antara shalat tatawwu’ adalah shalat antara azan dan iqamah, namun tidak tercantum dalilnya. Apakah shalat tersebut sunat qabliyah atau shalat sunat tersendiri? Dan apakah terdapat tuntunan Nabi saw tentang qabliyah Isya, karena dalam HPT tidak ditunjukkan dalilnya?

2.  Dalam hadis Ibnu Abbas tentang zakat fitrah terdapat isyarat Nabi saw bahwa zakat fitrah untuk menjadi makanan fakir-miskin di samping pembersih bagi yang berpuasa. Apakah hadis tersebut telah dinasakh oleh surat at-Taubah ayat 60 tentang zakat untuk delapan asnaf, sehingga zakat fitrahpun untuk delapan asnaf pula?

3.  Apa yang dimaksud kalimat “jangan engkau tanyakan eloknya dan lamanya” pada hadis Aisyah tentang qiyamu Ramadhan?

Demikian pertanyaan saya dengan penuh harap semoga pengasuh rubrik Fatwa Agama SM dapat memberi penjelasan demi untuk penga­malan agama secara benar, sebelumnya diucapkan terima kasih.

Jawab:
Saudara Arfan A. Tilome, terima kasih atas pertanyaannya. Untuk pertanyaan saudara kami jawab sebagai berikut:

1.   Untuk pertanyaan saudara yang pertama, memang dalam HPT halaman 318 mengenai shalat tatawwu’ antara lain disebutkan sebagai berikut: “Shalat-shalat tatawwu’ yang berdasarkan tuntunan dari Nabi saw yang berdalil hadis yang sahih, ialah: 1. shalat sesudah wudu, 2. shalat antara Azan dan Iqamah, 3. shalat Tahiyat (hormat ketika masuk) masjid, 4. shalat Rawatib, 5. shalat Malam, … dst.” Sebenarnya yang belum diberikan dalilnya bukan hanya shalat antara Azan dan Iqamah seperti yang saudara tanyakan, tetapi juga beberapa shalat yang lain. Namun demikian dalam kesempatan ini sementara kami hanya menjelaskan dalil shalat antara Azan dan Iqamah, antara lain yaitu hadis riwayat Jama’ah dari Abdullah bin Mugaffal, bahwa Nabi saw bersabda:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ ثُمَّ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ [رواه الجماعة]

Artinya: “Antara dua azan itu ada shalat (sunnah), antara dua azan itu ada shalat (sunnah), untuk yang ketiga kalinya Nabi bersabda: bagi siapa yang suka.”

Demikian juga disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu Hibban dari Ibnu Zubair, bahwa Nabi saw bersabda:

مَا مِنْ صَلاةٍ مَفْرُوضَةٍ، إِلا وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ [رواه الطبراني و الدارقطني وابن حبان]

Artinya: “Tiada satupun shalat fardu, melainkan sebelumnya ada dua rakaat sunnah.”

Dari dua hadis di atas dapat dipahami bahwa sebelum shalat fardu ada dua rakaat shalat sunnah (rawatib/qabliyah), termasuk di dalamnya sebelum Isya berdasarkan keumuman dalil, tetapi menurut para fuqaha shalat ini termasuk shalat sunnah gairu muakkadah.

2.   Untuk pertanyaan saudara yang kedua, bahwa hadis Ibnu Abbas tentang zakat fitrah menyebutkan:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ [رواه أبو داود وابن ماجه والحاكم]

Artinya: “Rasulullab saw telah mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan diri bagi orang yang berpuasa dart perkataan sia-sia dan kotor serta untuk memberi makan kepada orang miskin. Maka barangsiapa yang melakukannya sebelum shalat Ied maka zakat inilah yang diterima, dan barangsiapa yang melakukannya sesudah shalat Ied; maka itu sekedar sadaqah”.

Hadis di atas tidak dinasakh oleh surat at-Taubah ayat 60. At-Taubah 60 berlaku umum untuk semua sadaqah baik wajib maupun sunnah, sedangkan hadis lbnu Abbas berlaku khusus untuk zakat fitrah. Selanjutnya mengenai peruntukan zakat fitrah ini sudah pernah ditanyakan dan jawabannya dibahas antara lain dalam buku Tanya Jawab Agama jilid IV halaman 193-204, silahkan saudara baca.

3.   Kata-kata Aisyah “jangan engkau tanyakan eloknya dan lamanya’ adalah merupakan penggambaran Nabi saw ketika beliau melakukan qiyamu lail. Kata-kata Aisyah tersebut merupakan bagian dari hadis Aisyah riwayat al-Bukhari-Muslim tentang bilangan rakaat shalat malam, yaitu:

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: “Aisyah berkata: Rasulullah tidak menambah (rakaat shalat malam) dalam bulan Ramadhan dan lainnya dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, jangan menanyakan kebaikan dan panjangnya. Kemudian shalat lagi empat rakaat, maka jangan menanyakan kebaikan dan panjangnya. Kemudian shalat lagi tiga rakaat. Saya bertanya: Nabi, apa engkau tidur sebelum witir? Nabi menjawab: Aisyah, walaupun kedua mataku tidur tetapi hatiku tidak tidur.” (Hadis riwayat al-Bukhari-Muslim)

Mengenai makna “jangan engkau tanyakan eloknya (baiknya) dan panjangnya”, menurut penafsiran as-San’aniy, dalam Subulu as-Salam juz II halaman 13 dikatakan sebagai betikut: “Bahwa Aisyah melarang menanyakan hal tersebut ada tiga kemungkinan, yaitu: Pertama, kebaikan dan lamanya Nabi saw shalat malam tidak bisa disamai, oleh karena itu tidak perlu ditanyakan; atau kedua, kebaikan dan lamanya shalat malam Nabi saw sudah dimaklumi, sebab sudah populer karenanya tidak perlu ditanyakan; atau, ketiga, shalat malam Nabi saw tidak bisa dilukiskan mengenai kebaikan dan lamanya”.

Kesimpulannya, meskipun shalat/qiyamu Ramadhan itu hanya sebelas rakaat, tetapi kebaikannya sangat besar. Oleh karena shalat qivamu Ramadhan harus dilakukan dengan benar dan khusyu’, tidak boleh sambil gurauan. Allahu a’lam.

§  SM No. 1 Tahun Ke-84/1999

 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah