Musibah dan Bencana

MUSIBAH DAN BENCANA

Pertanyaan dari:
Fajar, Kampung Pereng Kecamatan Paguyangan Brebes
(disidangkan pada hari Jum'at, 14 Rabiul-Akhir 1430 H / 10 April 2009)


Pertanyaan :

Assalamu’alaikum wr.wb.
Saya berlangganan Suara Muhammadiyah melalui agen setempat. Al-hamdu lillah banyak masalah agama yang saya peroleh dari Suara Muhammadiyah. Untuk ini saya ada masalah yang mengganjal pada diri saya, karena itu saya ajukan pertanyaan dan mohon dengan hormat bapak bisa menjelaskannya.
1.     Di desa saya banyak orang menyatakan bahwa gempa bumi, angin puting beliung, tanah longsor, banjir bandang dan tsunami itu adalah sebab Tuhan sedang murka. Apakah dapat dibenarkan kata-kata semacam itu?
2.     Lalu bagaimana hubungannya dengan sifat rahman dan rahim-nya Allah? Apakah tidak bertentangan dengan hadits :

قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى نَفْسِهِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ إِنَّ  رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي [الحديث] 

Apakah hadits ini shahih dan apa maksudnya?
Mohon penjelasannya yang sejelas-jelasnya, agar hati dan benak saya lega. Sebelumnya mohon maaf dan terima kasih yang sedalam dalamnya.  


Jawaban :

Pernyataan bahwa gempa bumi, angin puting beliung, tanah longsor, banjir bandang, tsunami dan bencana-bencana lainnya yang telah terjadi dikarenakan bahwasanya tuhan sedang murka adalah sangat tidak dibenarkan. Untuk membuktikannya kita harus memahami secara mendalam makna dari istilah bencana tersebut dalam al-Qur’an sehingga kita bisa memaknai semua bencana yang terjadi dengan arif.
Bencana, keburukan atau dikatakan juga sebagai petaka disebut dengan berbagai istilah di dalam al-Qur’an. Misalnya, mushibah, bala’, ’iqab dan fitnah dengan pengertian dan cakupan yang berbeda:

1.     Kata mushibah, ia pada mulanya berarti mengenai atau menimpa. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sesuatu yang menimpa atau mengenai tersebut adalah sesuatu yang menyenangkan, namun bila al-Qur'an menggunakan kata mushibah maka itu berarti sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa manusia. Pengertian ini juga telah umum diketahui di Indonesia, bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa manusia disebut dengan musibah. Dalam penyelusurannya, ada beberapa hal yang dapat ditarik dari uraian al-Qur'an:

a.      Musibah terjadi karena ulah manusia, antara lain karena dosanya. Ini ditegaskan oleh firman Allah:

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيْرٍ. [الشورى، 42: 30]
Artinya: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” [QS. asy-Syura (42): 30]

b.     Musibah tidak terjadi kecuali atas izin Allah

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ. [التغابن، 64: 11]
Artinya: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali atas izin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. at-Taghabun (64): 11]

c.      Musibah, antara lain, bertujuan untuk menempa manusia, dan karena itu dilarang untuk berputus asa akibat jatuhnya musibah—walau hal tersebut adalah karena kesalahan sendiri—sebab bisa jadi ada kesalahan yang tidak disengaja atau karena kesalahan yang tidak disengaja atau karena kelengahan. Al-Qur'an menegaskan bahwa:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ. لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ. [الحديد، 57: 22-23]
Artinya: “Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kamu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. al-Hadid (57): 22-23]

2.     Kata bala’ . Akar kata ini mulanya berarti nyata/tampak, seperti firman Allah:

 يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِلُ. [الطارق، 86: 9]
Artinya: “Pada hari dinampakkan segala rahasia.” [QS. ath-Thariq (86): 9]
Namun makna tersebut berkembang sehingga berarti ujian yang dapat menampakkan kualitas keimanan seseorang. Dari beberapa ayat yang menggunakan kata bala’ dalam berbagai bentuknya dapat diperoleh beberapa hakikat berikut:
a.      Bala’ (ujian) adalah keniscayaan hidup. Itu dilakukan Allah, tanpa keterlibatan manusia yang diuji dalam menentukan cara dan bentuk ujian tersebut. Yang menentukan cara, waktu, dan bentuk ujian adalah Allah swt. Allah swt berfirman:

اَلَّذِي خَلَقَ اْلمَوْتَ وَالحْيََاةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ العَزِيْزُ الْغَفُوْرُ. [الملك، 67: 2]
Artinya: “(Dia) Yang menciptakan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu (melakukan bala’), siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [QS. al-Mulk (67): 2]

Karena bala’ adalah keniscayaan bagi manusia mukallaf, maka tidak seorang pun yang luput darinya. Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin berat pula ujiannya, karena itu ujian para nabi pun sangat berat. Dikarenakan bala’ adalah keniscayaan hidup, maka ada pula bala’ (ujian) tersebut berupa sesuatu yang menyenangkan. Adapun contoh dari bala’ (ujian) yang menyenangkan adalah anugerah yang diberikan Allah kepada Nabi Sulaiman as yang menyadari bahwa fungsi nikmat tersebut adalah sebagai ujian.

هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ. [النمل، 27: 40]
Artinya: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk menguji aku (melakukan bala’), apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” [QS. an-Naml (27): 40]

b.     Anugerah/nikmat yang berupa ujian itu, tidak dapat dijadikan bukti kasih Ilahi sebagaimana penderitaan tidak selalu berarti murka-Nya. Hanya orang-orang yang tidak memahami makna hidup yang beranggapan demikian. Hal ini antara lain ditegaskan-Nya dalam QS. al-Fajr (89): 15-17:
فَأَمَّا اْلإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاَهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاَهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ. كَلاَّ بَل لاَّ تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ. [الفجر، 89: 15-17]
Artinya: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka ia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku.” Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim.” [QS. al-Fajr (89): 15-17]

c.      Bala’ (ujian) yang menimpa seseorang dapat merupakan cara Allah mengampuni dosa, menyucikan jiwa, dan meninggikan derajatnya. Dalam perang Uhud tidak kurang dari tujuh puluh orang sahabat Nabi Muhammad saw yang gugur. Al-Qur'an dalam konteks ini membantah mereka yang menyatakan dapat menghindar dari kematian sambil menjelaskan tujuannya:

قُل لَّوْ كُنتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحَّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ. [آل عمران، 3: 154]
Artinya: “Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumah kamu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji (melakukan bala’) apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” [QS. Ali Imran (3): 154]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bala’ adalah bentuk ujian dari Allah yang dapat berupa hal-hal yang menyenangkan ataupun sebaliknya. Bala’ ditimpakan oleh Allah kepada manusia dengan tujuan untuk meningkatkan derajat seseorang tersebut dihadapan Allah. Dari sini pula dapat dilihat perbedaan antara musibah dan bala’, karena musibah sebagaimana terbaca di atas, pada dasarnya dijatuhkan Allah akibat ulah atau kesalahan manusia, sedangkan bala’ tidak harus demikian, dan bahwa tujuan dari bala’ adalah peningkatan derajat seseorang di hadapan Allah.

3.     Kata fitnah dalam al-Qur’an mengandung banyak arti, di antaranya:
a.      Perbuatan atau tindakan yang dapat menimbulkan kekacauan
b.     Membakar dalam neraka, membakar dalam arti dimasukkan ke dalam
c.      Neraka
d.     Menyiksa atau siksaan
e.      Kesesatan atau penyimpangan
f.      Ujian atau cobaan, baik berupa nikmat maupun kesulitan.

Arti fitnah yang terakhir itulah yang kemudian akan digunakan untuk memahami makna bencana dalam al-Qur’an.

وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ. [الأنفال، 8: 28]
Artinya: “Dan ketahuilah, bahwa harta kamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan (fitnah) dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. al- Anfal (8): 28] Baca juga QS. at-Taghabun (64): 15.

Bahkan pada QS. al-Anbiya’: 35 Allah mempersamakan antara kata bala’ dan fitnah. Allah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوَكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ. [الأنبياء، 21: 35]
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan  menguji kamu (melakukan bala’) dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan/ fitnah (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” [QS. al-Anbiya’ (21): 35]

Ini berarti bahwa fitnah/ cobaan dilakukan Allah sebagai peringatan, dan tentu saja apabila peringatan tidak juga diindahkan—setelah berkali-kali— maka adalah wajar menjatuhkan tindakan yang lebih keras. Dalam konteks uraian tentang fitnah, al-Qur'an menggarisbawahi bahwa:

وَاتَّقُواْ فِتْنَةً لاَّ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ. [الأنفال، 8: 25]
Artinya: “Dan peliharalah diri kamu dari pada siksaan (fitnah) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya.” [QS. al-Anfal (8): 25]

Ayat di atas menggunakan tiga kata yang kesemuanya dapat berarti sesuatu yang tidak menyenangkan. Yaitu kata fitnah, tushibanna yang seakar dengan kata mushibah, serta ‘iqab yang terambil dari kata ‘aqiba yang berarti belakang/kesudahan. Kata ‘iqab digunakan dalam arti kesudahan yang tidak menyenangkan/ sanksi pelanggaran. Berbeda dengan ‘aqibah/ akibat yang berarti dampak baik atau buruk dari satu perbuatan. Dan dari ayat di atas dapat difahami bahwa fitnah dapat menimpa orang yang tidak bersalah.

Beberapa kesimpulan yang dapat dipetik dari ayat-ayat di atas, antara lain adalah bahwa musibah terjadi atau menimpa manusia akibat kesalahan manusia sendiri, bala’ merupakan keniscayaan dan dijatuhkan Allah swt, walau tanpa kesalahan manusia. Adapun fitnah, maka ia adalah bencana yang dijatuhkan Allah dan dapat menimpa yang bersalah dan tidak bersalah.

Berpijak pada uraian-uraian di atas, terkait dengan ungkapan-ungkapan al-Qur’an dalam mengutarakan “keburukan/bencana yang menimpa manusia”, dapat dinyatakan bahwa bencana (alam) yang terjadi di muka bumi ini, dengan istilah al-Qur’an, secara umum, lebih tepat disebut sebagai fitnah (ujian atau cobaan). Hal ini dikarenakan bahwa bencana alam yang terjadi tidak hanya menimpa orang-orang yang berdosa saja melainkan juga mereka yang tidak berdosa (berbuat salah). Di sisi lain, kita dapat berkata bahwa jika yang berdosa ditimpa mudlarat akibat bencana tersebut, maka itu adalah akibat dosanya, sedang yang tidak berdosa, maka buat mereka yang masih hidup, itu adalah bala’, yakni ujian untuk melihat kualitas keimanan mereka. Adapun yang wafat tapi tidak berdosa, atau yang kesalahannya tidak setimpal dengan dampak buruk bencana tersebut, maka itu merupakan tangga yang mengantar mereka memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah.

Dari serangkaian pembahasan di atas dapat diketahui rumusan teologi bencana yang terdapat dalam al-Qur’an, yakni bahwa bencana yang terjadi pada dasarnya adalah akibat perbuatan manusia sendiri. Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa kesemuanya itu sudah menjadi ketentuan dan hukum Allah— yang telah tertulis di Lauh al-Mahfudz. Dalam tataran makna, bencana yang banyak terjadi akhir-akir ini dalam bahasa al-Qur’an lebih tepat untuk disebut sebagai fitnah (cobaan atau ujian) dengan cakupannya bahwa bencana tersebut tidak hanya menimpa mereka yang bersalah atau yang telah melakukan kerusakan di muka bumi, melainkan juga mereka yang tidak berdosa (berbuat salah). Di sisi lain, kita dapat berkata bahwa jika yang berdosa ditimpa mudlarat akibat bencana tersebut, maka itu adalah akibat dosanya, sedang yang tidak berdosa, maka buat mereka yang masih hidup, itu adalah bala’, yakni ujian untuk melihat kualitas keimanan mereka. Adapun yang wafat tapi tidak berdosa, atau yang kesalahannya tidak setimpal dengan dampak buruk bencana tersebut, maka itu merupakan tangga yang mengantar mereka memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah.

Mengenai hadis yang bapak utarakan, menurut penelusuran kami termasuk hadis shahih dan banyak diriwayatkan oleh periwayat-periwayat hadis, di antaranya adalah al-Bukhari, Muslim, at-Turmudzi dan lain-lainya yang semua jalur periwayatannya bersambung dan bersumber dari sahabat Abu Hurairah. Salah satu jalur periwayatannya adalah:

حدَّثَنا عَبْدَانُ عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَمَّا خَلَقَ اللهُ اْلخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ وَهُوَ يَكْتُبُ عَلَى نَفْسِهِ وَهُوَ وَضْعٌ عِنْدَهُ عَلَى اْلعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِي تَغلِبُ غَضَبِي. [رواه البخارى]
Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdan diriwayatkan dari Abu Hamzah dari A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda: Tatkala Allah menciptakan ciptaan, Allah telah menuliskan dalam kitab (Lauh al-Mahfudz), Dia menuliskannya langsung di arsy (Lauh al-Mahfudz), sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan  kemarahan dan kebencian-Ku.” [HR. al-Bukhari]

Menilik dari penjelasan di atas, tidak didapati kontradiksi terhadap sifat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang karena akibat dari bencana-bencana yang telah terjadi saat ini. Bukankah ketika kita melakukan kesalahan dan berbuat dosa Allah juga tidak segera langsung memberikan hukuman dan siksa kepada kita?

Wallahu a’lam bish-shawab. *aa)



 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah