Khutbah Lebih Panjang dari Sholat

Pertanyaan dari Abdullah, Pasar Panyambungan, kode pos 22912

Pertanyaan:

1.      Khutbah Jum’at yang lebih panjang dari salatnya apakah termasuk bid’ah? Dan apakah hukumnya?
2.      Apa hukumnya jika imam pada salat Jum’at tidak membaca surat al-‘A’la dan al-Ghasiyah?

Jawab:
Untuk menjawab pertanyaan saudara, perlu kami jelaskan lebih dahulu pengertian bid’ah: Dimaksudkan dengan bid’ah ialah menciptakan ibadah baru yang tidak berdasarkan dalil syar’i (al-Qur’an dan as-Sunnah). (al-Jurjani, 1321: 29)

Perlu diketahui bahwa yang peling berhak menciptakan cara ibadah hanyalah Allah dan Rasul-Nya

Pada salat Jum’at apabila khutbahnya panjang, sedang salatnya dilakukan singkat, atau tidak membaca surat al-‘A’la dan al-Ghasyiyah, maka perbuatan tersebut bukanlah tergolong bid’ah, sebab tidak menciptakan ibadah, melainkan meninggalkan sunnah Rasul. Karena menyingkat khutbah dan memanjangkan salat, dan membaca surat al-‘A’la pada rakaat pertama dan membaca al-Ghasyiyah pada raka’at kedua hukumnya sunnah, maka apabila melakukannya mendapat pahala, dan apabila meninggalkannya, tidak berdosa, salat dan khutbahnya sah/tidak batal.


Pertanyaan :

1.   Ketika turun dari mimbar, khatib melihat dalam jama’ah ada anggota jam’ah yang lebih fasih bacaannya dan lebih memenuhi syarat menjadi imam shalat, apakah boleh diserahkan menjadi imam kepada orang tersebut? Apakah shalat tersebut tidak batal?
2.  Dalam khutbah kedua, apakah rukun khutbahnya sama dengan khutbah pertama? Dan apakah boleh membaca surat al-‘Asri dan surat al-Ahzab: 56?

Jawab:

1. Orang yang berhak menjadi imam dalam shalat, yang afdhal adalah orang yang paling baik dan paling banyak menghafal al-Qur’an dan paling menguasai ilmu keislaman, tetapi bukan berarti bahwa jika imamnya kurang baik adalah tidak sah shalatnya.

Maka apabila ada di antara anggota jama’ah, ada orang yang lebih fasih, boleh saja diserahkan kepadanya untuk menjadi imam shalat. Dalam suatu hadis disebutkan sebagai berikut:

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ اْلأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا ... ( أخرجه مسلم)

“Dari Abi Mas’ud al-Anshariy, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Orang yang paling berhak menjadi imam bagi suatu kaum adalah orang yang paling baik bacaannya (penguasaannya), jika mereka sama tingkatannya dalam bacaan, maka orang yang paling menguasai al-Sunnah, jika mereka sama dalam penguasaan al-Sunnah, maka orang yang paling dahulu berhijrah, jika mereka sama dalam berhjrah, maka yang paling dahulu masuk Islam…”  (Ditahrijkan oleh Muslim, I, kitab al-masajid, no. 290/673: 298)

Berdasarkan hadis tersebut, maka menyerahkan kepada orang yang lebih fasih bacaannya adalah lebih afdhal. Maka dalam mencari khatib Jum’at hendaknya dipilih orang yang khutbahnya baik dan fasih bacaannya.

2. Dalam beberapa hadis, baik hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim  maupun al-Nasa’i, tidak membedakan antara khutbah pertama dan khutbah kedua. Maka para ulama berpendapat bahwa rukun khutbah pertama dan kedua adalah sama.
Dibawah ini kami kutipkan hadis mengenai khutbah Jum’at:

a.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْه قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَقْعُدُ ثُمَّ يَقُومُ كَمَا تَفْعَلُونَ الْآنَ ( أخرجه البخاري)

“Dari Ibni Umar ra, ia berkata bahwa Nabi saw berkhutbah dengan berdiri, kemudian duduk, kemudian berdiri lagi, sebagaimana kamu sekalian melakukannya sekarang” (ditahrijkan oleh al-Bukhari, I, kitab al-Jum’ah: 108)

b.
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ كَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَتَانِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيُذَكِّرُ النَّاسَ ( أخرجه مسلم)

“Dari Jabir bin Samurah, ia berkata: Bagi Nabi saw (pada salat Jum’at) ada dua khutbah, yang antara keduanya beliau duduk. (Pada khutbah tersebut) beliau membaca al-Qur’an dan mengingatkan manusia (agar ingat kepada Allah)”. (Muslim, I, kitab Jum’ah, no. 34/862: 378)

c.
عَنْ عَبْدِ اللهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ الْخُطْبَتَيْنِ وَهُوَ قَائِمٌ وَكَانَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ  ( أخرجه النسائ)

“Dari Abdullah, bahwa Rasulullah saw berkhutbah dengan dua khutbah, sambil berdiri, memisahkan antara dua khutbah tersebut dengan duduk”. (ditahrijkan oleh an-Nasa’i, III, kitabal-Jumu’ah, hlm. 109)

Adapun ayat-ayat yang sering dibaca dalam khutbah ialah: surat Ali Imran (3): 102, an-Nisa’ (4): 1 dan al-Ahzab (33): 70. tetapi bukan berarti bahwa membaca ayat lainnya tidak boleh, sebab bacaan ayat-ayat tersebut hukumnya adalah sunnah, bukan wajib.


 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah