PUASA SUNAT TIGA HARI SETIAP BULAN,
SALAT DHUHA TIDAK BERURUTAN, KOTORAN CICAK DI MASJID, BATAL SALAT ZUHUR DI RAKAAT KETIGA, SALAT SUNAT SESUDAH AZAN DAN SALAT SUNAT RAWATIB QABLIYAH
Pertanyaan Dari:
Saudara Kusdiyanto, IKIP PGRI Wates, Yogyakarta
Tanya:
Ada beberapa hal yang saya tanyakan kepada pengasuh rubrik Fatwa Agama SM:
1. Bolehkah puasa sunnat tiga hari setiap bulan dikerjakan tidak pada tanggal 13, 14 dan 15, tetapi dilaksanakan pada tanggal 14 s.d. tanggal 16 atau tanggal 15 s.d. tanggal 17 misalnya?
2. Dari maksimal delapan rakaat salat Dhuha, bolehkah dikerjakan secara tidak berurutan, misal pagi jam 08.00 dikerjakan dua atau empat rakaat, karena terburu-buru akan pergi. Kemudian pada jam 10.00 dikerjakan 4 rakaat lagi.
3. Karena banyaknya hewan di dalam masjid, cecak misalnya, kotorannya sering sulit dihindari. Sewaktu masuk masjid sudah saya periksa bahwa telapak kaki saya bersih, tetapi setelah selesai salat tampak bercak putih pada telapak kaki yang ternyata itu kotoran cecak. Apakah kotoran itu najis atau tidak dan apakah salat yang saya lakukan itu sah atau tidak?
4. Pada waktu salat Dzuhur telah mendapat tiga rakaat, tiba-tiba saya buang angin. Apakah saya harus mengerjakan salat Dzuhur sejak dari rakaat pertama lagi atau cukup hanya menambah satu rakaat saja setelah wudhu?
5. Apakah berbeda atau tidak salat sunnat sesudah azan dengan salat sunnat rawatib qabliyah?
Jawab:
1. Puasa tiga hari setiap bulan itu dasarnya ialah hadis riwayat an-Nasa’i dan disahihkan oleh Ibnu Hiban:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصُومَ مِنْ الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ الْبِيضَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ. وَقَالَ هِيَ كَصَوْمِ الدَّهْرِ [رواه النسائى وصححه ابن حبان]
Artinya: “Nabi memerintahkan kami untuk berpuasa tiga hari setiap bulan, yakni hari-hari cemerlang tanggal tiga belas, empat belas dan lima belas, dan sabdanya: Itu seperti puasa sepanjang masa.”
Karena dalam hadis sudah ditentukan tanggalnya, maka tidak bisa diganti pada tanggal lain. Hal ini dikarenakan puasa itu termasuk ibadah mahdah dimana waktu pelaksanaannya tidak mengalami perubahan, sehingga waktu dan tanggal pelaksanaannya harus mengikuti tuntunan. Apabila diganti pada tanggal lain tidak termasuk puasa al-baid (hari cemerlang).
2. Ada beberapa hadis yang menerangkan jumlah rakaat salat Dhuha, ada yang menyebutkan dua rakaat, empat rakaat, delapan rakaat dan ada juga hadis yang menyebutkan dua belas rakaat. Hadis-hadis tersebut sebagai berikut:
- Hadis yang menyebutkan salat Dhuha itu dua rakaat:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ [متفق عليه]
Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi saw berwasiat kepadaku untuk puasa tiga hari setiap bulan, salat Dhuha dua rakaat dan salat Witir sebelum tidur.” [Hadis riwayat Muttafaq ‘Alaih]
- Hadis yang menyebutkan bahwa salat Dhuha itu empat rakaat:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اللَّهُ [رواه أحمد ومسلم وابن ماجه]
Artinya: “Nabi pernah salat Dhuha empat rakaat dan pernah lebih sesuai kehendak Allah.” [HR. Ahmad, Muslim dan lbnu Majah]
- Hadis yang menyebutkan bahwa salat Dhuha itu delapan rakaat:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى سُبْحَةَ الضُّحَى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ يُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ [رواه أبو داود بإسناد صحيح]
Artinya: “Sesungguhnya Nabi saw mengerjakan salat Dhuha delapan rakaat dan salam setiap dua rakaat.” [HR. Abu Daud dengan sanad sahih]
- Hadis yang menerangkan bahwa salat Dhuha itu dua belas rakaat:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى الضُّحَى اِثْنَي عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَهُ قَصْرًا فِي الْجَنَّةِ [رواه الترمذي]
Artinya: “Dari Anas, ia berkata: Nabi saw bersabda: Barangsiapa mengerjakan salat Dhuha dua belas rakaat, Allah membangun sebuah istana baginya di surga.” [HR. at-Turmuzi]
Dari hadis-hadis di atas dapat diketahui bahwa salat Dhuha itu dikerjakan maksimal 12 rakaat dan ini bukan merupakan satu paket yang harus dikerjakan. Artinya boleh memilih jumlah rakaat sesuai dengan waktu/kesempatan yang ada. Artinya apabila mampu/sempatnya hanya dua atau empat rakaat, sudah dinilai cukup, demikian seterusnya.
3. Semua kotoran baik itu kotoran manusia atau hewan termasuk najis. Oleh karenanya ketika akan salat, badan, pakaian maupun tempat, tidak boleh kena najis. Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, al-Hakim dan lbnu Hiban dari Abu Hurairah menerangkan bahwa Nabi saw sedang mengerjakan salat kemudian melepas (membuka) terompahnya, maka orang-orang juga sama melepas terompah mereka. Setelah selesai salat Nabi saw bertanya, mengapa kalian membuka terompah? Mereka menjawab, karena kami melihat Nabi membukanya, lalu Nabi bersabda:
إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِى فَأَخْبَرَنِى أَنَّ بِهِمَا خَبَثًا فَإِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيُقَلِّبْ نَعْلَيْهِ فَلْيَنْظُرْ فِيهِمَا فَإِنْ رَأَى خَبَثًا فَلْيَمْسَحْهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ لَيُصَلِّ فِيهِمَا [رواه أحمد وأبو داود والحاكم]
Artinya: “Sesungguhnya Jibril datang memberi tahu kepadaku bahwa di terompahku ada kotoran, maka bila di antara kalian datang ke masjid, baliklah terompahnya dan supaya dilihat, kalau ada kotorannya supaya disapukannya ke tanah, lalu salat dengan memakai terompah itu.”
Dari hadis di atas diperoleh petunjuk:
a. Pakaian yang kena najis tidak boleh dipakai untuk salat.
b. Apabila sedang melakukan salat terkena najis dan diketahuinya najis tersebut harus dihilangkan, kemudian melanjutkan salat dengan tidak perlu mengulang dari awal. Tetapi bila yang bersangkutan tidak mengetahuinya maka salat jalan terus dan sah serta tidak perlu mengulanginya.
4. Buang angin atau kentut itu termasuk membatalkan wudu. Apabila salat belum selesai dan wudunya batal, maka salatnya juga batal dan tidak sah, setelah wudu ia harus mengulangi salatnya dari awal.
5. Salat sunnat rawatib adalah salat sunnat untuk mengiringi/menyertai salat fardu Bila dikerjakan sebelum salat fardu, disebut qabliyah dan bila dikerjakan setelah salat fardu disebut ba’diyah. Apabila sebelum salat fardu ada azan, maka sunnah qabliyah dikerjakan sesudah azan dan bila tanpa azan, salat sunnat qabliyah dikerjakan sebelum salat fardu, baik di rumah atau di masjid. Khusus pada salat Jum’ah tidak ada qabliyah Jum’at. Disamping itu ada salat sunnah yang lain, bukan rawatib qabliyah, tetapi dikerjakan sesudah azan. Bagi orang yang masuk masjid sesudab azan selesai, ia dapat melakukan salat tahiyyah mesjid dan salat qabliyah, tergantung dari kesempatan atau waktu yang tersedia.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah