Shalat Taubat dan Pasang Gigi

DASAR SHALAT TAUBAT DAN HUKUM PASANG GIGI
Penanya:
Sujoko, Sekretaris PCM Ampel,
Boyolali, Jawa Tengah


Pertanyaan:

1.      Mengapa dalam HPT tidak dikenal dengan shalat taubat, padahal dalam majalah As-Sunnah ada shalat taubat serta disebutkan dalil-dalilnya? Mohon penjelasan!
2.      Bagaimana hokum pasang gigi?


Jawaban:

Mengenai pertanyaan No. 1 tentang shalat taubat tidak tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

HPT itu merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi saw. Kalau kita baca buku-buku seperti Nailul-Authar karangan Imam asy-Syaukani, Subulus-Salam karangan Imam ash-Shan‘ani, Zadul-Ma‘ad karangan Ibnul-Qayyim al-Jauziyah, juga mereka tidak mencantumkan di dalamnya tentang shalat taubat. Hanya akhir-akhir ini dalam kitab-kitab yang ditulis oleh as-Sayyid Sabiq dalam Fiqhus-Sunnah atau TM Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pedoman Shalat, kedua ulama ini mencantumkan dan menempatkan shalat taubat dalam deretan shalat-shalat sunat.

Kalau kita meneliti latar belakang mengapa dalam HPT tidak dicantumkan/ dimasukkan shalat taubat, juga shalat tasbih, dalam deretan shalat-shalat sunat, karena hadits-hadits tentang shalat taubat itu masih diperselisihkan tentang keshahihannya oleh para ahli hadits. Memang di dalam kitab Sunan Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan Ahmad, masing-masing mereka membawa hadits Ali karramallaahu wajhah, dimana di dalam sanadnya ada orang yang namanya Asma bin Al-Hakam. Begitu pula dalam hadits riwayat Imam al-Baihaqy, Ibnu Abi Syaibah, al-Humaidi, Abu Ya‘la dan ath-Thabrani, juga semuanya ini melalui jalan Ali, yang di dalam sanadnya terdapat orang yang namanya Asma bin al-Hakam, dimana posisi Asma bin al-Hakam ini diperselisihkan oleh para ulama hadits . Artinya, sebagian ulama melemahkan Asma bin al-Hakam, bahkan Imam al-Bukhari mengingkari/menolak hadits dari jalan Asma bin al-Hakam ini. Tetapi sebagian ulama ahli hadits lainnya menganggap tsiqah Asma bin al-Hakam tersebut.

Karena ada perbedaan pendapat ulama ahli hadits tentang Asma bin al-Hakam dan tidak ada riwayat dari jalan lainnya sebagai penguat, maka sesuai dengan qaidah umum yang dipegang ahli hadits, yaitu ‘jarah didahulukan daripada ta‘dil’, artinya cacat didahulukan daripada pujian, atas dasar itulah Majelis Tarjih pada waktu itu tidak memasukkan shalat taubat ke dalam deretan shalat-shalat sunat dalam HPT.
Demikian latar belakang secara singkat mengapa dalam HPT tidak dimasukkan shalat taubat dalam deretan shalat-shalat sunat.

Mengenai jawaban pertanyaan No. 2 dapat dijawab secara singkat pula sebagai berikut:

Oleh karena masalah ini menyangkut masalah muamalah dan tidak ada larangan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka kembali kepada prinsipnya yang umum, yaitu: الأَصْلُ فِى اْلمُعَامَلَةِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى خِلاَفِهِ. Artinya: Prinsip dalam muamalah adalah mubah, kecuali ada dalil yang menunjuk kepada kebalikannya, artinya tidak boleh. Memasang gigi (palsu) itu merupakan suatu hajat/kebutuhan bagi orang yang tidak ada lagi giginya untuk bisa mengunyah makanan sebelum ditelan atau untuk membantu pencernaan makanan. Di samping itu, orang yang tidak ada gigi tidak bisa membaca al-Qur’an secara baik, misalnya membaca perkataan/potongan ayat وَلاَ الضَّآلِّيْنَ dengan benar.

Di dalam buku يسألونك من الدين والحياة juz 2 halaman 239, Ahmad asy-Syarbasi menukil pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad asy-Syaibani dan Abu Yusuf, mereka membolehkan ,enguatkan gigi dengan perak dikala diperlukan. Hal itu mereka kiaskan dari menguatkan hidung dengan perak. Di dalam buku-buku sejarah ada riwayat bahwa seorang sahabat bernama ‘Arfajah dalam suatu peristiwa tulang hidungnya patah, Nabi saw memperbolehkan menggantikan tulang hidung yang patah itu dengan emas, karena hal itu suatu dlarurah, lalu oleh ulama-ulama Hanafi dikiaskan hal itu kepada menguatkan gigi dengan perak juga boleh. *th)
   

 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah