Zakat Fitrah, Bacaan Setelah Witir dan Hari Raya

BAGIAN ZAKAT FITRAH UNTUK AMIL DAN ANAK-ANAK,  BACAAN DOA SETELAH WITIR DAN SIKAP MENGHADAPI PERBEDAAN HARI RAYA

Pertanyaan dari:
Arif Rochmanuddin, Samben, Argomulyo, Sedayu, Bantul
(Disidangkan pada hari Jum'at, 4 Zulhijjah 1428 H / 14 Desember 2007 M)


Pertanyaan:

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Dengan ini saya mohon penjelasan tentang berbagai hal berikut:

1.  Bolehkah Amil mengambil bagian dari zakat fitrah? Hal ini mengingat zakat fitrah hanya untuk fakir miskin sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah, bukan untuk 8 asnaf.

2.  Anak-anak TK dan SD di tempat saya selalu mendapat bagian zakat fitrah yang berwujud uang Rp. 1000,- s.d Rp 5000,- pada malam hari raya. Apakah hal tersebut dapat dibenarkan?

3.  Doa setelah shalat witir ada yang sebagai berikut: "Subhaanal Malikil Quddus 3X Rabbul Malaikati warruh" dan ada yang "Subhanal malikul quddus 3X Subuhun quddusus Rabbuna warabbul malaaikati waruh" mohon penjelasan tentang 2 macam doa tersebut beserta dalil-dalilnya serta kualitasnya ?

4.   Tahun ini saya / dusun kami mendapat tugas dari P2A Desa sebagai panitia pelaksanaan shalat idul fitri di lapangan, namun hingga hari ini belum ada keputusan kapan akan dilaksanakan shalat 'Id tsb. Jika hari Raya yang diambil P2A adalah hari Sabtu, maka bagaimanakah sikap saya dalam rangka menjalankan tugas saya mengatur shaf di lapangan tsb karena saya jelas ikut yang Jum'at dan bagaimanakah sikap orang non-Muhammadiyah dalam menghadapi masalah tsb jika P2A mengambil hari Jum'at sebagai hari raya.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
Berikut ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan bapak:

1.  Amil tidak boleh mengambil bagian dari zakat fitri (kami menggunakan istilah zakat fitri untuk penyebutan zakat fitrah), karena yang berhak menerima zakat fitri hanyalah orang-orang miskin sebagaimana dinyatakan dalam hadits Ibn Abbas berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: "فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ اْلفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ". [رواه أبو داود]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ia berkata: "Rasulullah saw mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari kata-kata yang sia-sia dan porno dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa membayarkannya sebelum shalat (Hari Raya) maka itu adalah zakat (fitri) yang diterima, dan barang siapa membayarkannya setelah shalat maka itu hanyalah berupa sedekah dari sedekah (biasa)". [HR. Abu Dawud]

Hadits di atas dengan jelas menyatakan bahwa zakat fitri itu diperuntukkan kepada orang-orang miskin saja, bukan delapan golongan sebagaimana dalam zakat maal. Sehingga dengan demikian Amil tidak berhak menerima zakat fitri, kecuali jika Amil tersebut termasuk dalam golongan orang miskin. Akan tetapi Amil boleh memperuntukkan sebagian harta zakat fitri untuk biaya urusan administrasi, transportasi dan lainnya yang berhubungan dengan pengurusan zakat fitri tersebut, jika memang tidak ada sumber dana yang lain.

2.  Anak-anak TK dan SD tersebut juga tidak boleh diberi zakat fitri, melainkan mereka juga termasuk dalam golongan orang miskin. Anak-anak tersebut boleh diberi sedekah dari sumber dana lain, misalnya shadaqah, infaq dan lain-lain.

3.  Pertanyaan anda tentang bacaan doa setelah shalat witir sebenarnya telah dijawab oleh Majelis Tarjih dengan mengeluarkan buku Tuntunan Ramadan. Di dalam buku Tuntunan Ramadan yang dikeluarkan oleh Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah itu disebutkan bahwa doa setelah witir adalah sebagai berikut: "Subhaanal Malikil Quddus" (3X) dengan suara nyaring dan panjang pada bacaan yang ketiga, lalu membaca: "Rabbul Malaikati warruh".

Hal ini berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab sebaga berikut:

عَنْ أُبَيْ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي اْلوِتْرِ: بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى، وَ قُلْ يَا أَيُّهَا اْلكَافِرُونَ، وَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، فَإِذَا سَلَّمَ قَالَ: "سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوسِ" ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، [رواه النسائي]

Artinya: Diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab, ia berkata: Rasulullah saw membaca dalam (shalat) witir: Sabbihisma Rabbikal-'ala dan Qul yaa ayyuhal kaafiruun dan Qul huwallahu ahad. Setelah salam beliau membaca: "Subhaanal Malikil Qudduus" tiga kali.” [HR. an-Nasai].

Dan berdasarkan hadis berikut:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أُبْزِي عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى، وَ قُلْ يَا أَيُّهَا اْلكَافِرُونَ، وَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ: "سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوسِ" ثَلاَثَ مَرَّاتٍ يَمُدُّ صَوْتَهُ فِي الثَّالِثَةِ ثُمَّ يَرْفَعُ. [رواه النسائي]

Artinya: “Diriwayatkan dari Said bin Abdurrahman bin Ubzi, diriwayatkan dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah saw (shalat) witir dengan (membaca) Sabbihisma Rabbikal a'la dan Qul yaa ayyuhal kaafiruun dan Qul huwallahu ahad. Apabila telah salam beliau membaca: "Subhaanal Malikil Qudduus" tiga kali dengan memanjangkan suaranya pada yang ketiga dan menyaringkannya.” [HR. an-Nasai].

Dan berdasarkan hadis berikut:

عَنْ أُبَيْ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى، وَ قُلْ يَا أَيُّهَا اْلكَافِرُونَ، وَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ: "سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوسِ" ثَلاَثَ مَرَّاتٍ وَمَدَّ بِاْلأَخِيرَةِ صَوْتَهُ وَيَقُولُ: "رَبِّ اْلمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ". [رواه الطبراني]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab, ia berkata: Rasulullah saw (shalat) witir dengan (membaca) Sabbihisma Rabbikal 'ala, dan Qul yaa ayyuhal kaafiruun, dan Qul huwallahu ahad. Setelah salam beliau membaca: "Subhaanal Malikil Qudduus" tiga kali. Beliau memanjangkan suaranya pada yang terakhir dan membaca: "Rabbil Malaikati warruuh".” [HR. ath-Thabrani]

4.  Sikap kita dalam menghadapi Hari Raya yang berbeda ialah hendaknya kita melaksanakan apa yang kita yakini benar, dan dalam waktu yang sama kita menghormati pendapat orang lain. Jadi, sebagaimana diharapkan orang lain tidak mengganggu keyakinan kita, kita juga jangan menghalangi, mengganggu dan menghina keyakinan orang lain dalam masalah ini. Biarlah masing-masing melaksanakan apa yang diyakininya benar, karena masing-masing mempunyai pegangan dalilnya yang tersendiri. Yang lebih penting ialah, kita harus menyadari bahwa perbedaan dalam masalah furu'iyyah --termasuk perbedaan Hari Raya-- bukan berarti retaknya ukhuwwah Islamiyyah, dan hendaknya perbedaan tersebut tidak dijadikan unsur pemecah belah umat Islam.
Wallahu a'lam. (*mi) 


Pimpinan Pusat Muhammadiyah