Zikir Bersama dan Tarawih 23 Raka'at

HUKUM DZIKIR BERSAMA DAN SHALAT TARAWIH 23 RAKA'AT

  Penanya:
Luqman Amiruddin Syarif
(disidangkan pada hari Jum’at, 24 Zulqa'dah 1427 H / 15 Desember 2006 M)

Pertanyaan:

1.      Sekarang sedang ngetrend dzikir bersama yang dipandu seorang dai dan disiarkan TV. Bagaimana hukum majlis dzikir itu? Apakah termasuk bid’ah?
2.      Saya lihat pada bulan ramadlan di Masjidil Haram, shalat tarawih dikerjakan 23 rakaat. Bagaimana itu?


Jawaban:

1.      Mengenai dzikir bersama (berjama’ah) dengan mengeraskan suara, apalagi disiarkan oleh TV, hal itu menjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Sebahagian ulama memakruhkan bahkan mengharamkan dzikir yang cara pelaksanaannya seperti itu, dengan alasan berlawanan dengan isi firman Allah SWT dalam surat al-A’raf ayat 205 dan Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Musa r.a., serta tidak pernah dilakukan Rasulullah saw, disamping juga mengganggu konsentrasi orang yang sedang shalat misalnya.
Dalam surat al-A'raf ayat 205, Allah SWT berfirman: 
Artinya: Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [QS. al-A’raf (7): 205]

Di dalam Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Musa r.a., Rasulullah saw bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِرْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُوْنَ أَصُمَّ وَلاَ غَائِبًا، إِنَّكُمْ تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا وَهُوَ مَعَكُمْ.
Artinya: Hai manusia, kecilkan suaramu, sebab kamu tidak menyeru kepada orang yang tuli da jauh, melainkan kamu menyeru kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat dan Dia bersamamu. [HR. Muslim]
Dalam sebuah hadits lain yang sudah begitu terkenal diterangkan, di antara orang yang mendapat naungan Allah dari terik panas matahari di hari kiamat ialah orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sunyi sepi sehingga mengalir air matanya.
Imam asy-Syafi'i dalam kitab al-Um juz I halaman 150 menyatakan yang artinya: “Saya mengutamakan para imam dan makmum berdzikir sesudah shalat dengan suara pelan, kecuali apabila imam menghendaki supaya dzikirnya itu dipelajari makmum. Di kala yang demikian itu barulah dzikir dikeraskannya. Tetapi setelah dirasakan bahwa makmum telah mengetahui (hafal), maka kembali lagi dzikir itu dibaca pelan”.
Adapun alasan yang dipergunakan Imam asy-Syafi'i, yaitu surat al-Isra' ayat 110: 
Artinya: Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman, dengan nama yang mana saja kamu seru, dia mempunyai Al-asmaaul-husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu". [QS. al-Isra' (17): 110]
Sementara itu ada sebahagian ulama yang membolehkan dzikir berjamaah dengan suara keras, berargumentasi dengan beberapa hadits yang sebenarnya bersifat umum tidak menerangkan tentang kaifiatnya dibaca keras.
Menurut Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, cara terbaik bagi kita adalah kembali kepada praktik yang dilakukan Nabi saw dan ulama salaf, yaitu secara pelan-pelan dan dilakukan sendiri-sendiri. Hal ini karena doa itu adalah ibadah, maka jangan dimasukkan rekayasa pikiran dan model-model yang tidak ada tuntunan kaifiyatnya.

2.      Mengenai shalat tarawih 23 rakaat, sekalipun sudah begitu memasyarakat, kami belum menemukan tuntunan dari Rasulullah saw. Shalat tarawih menurut tuntunan Nabi saw adalah hanya dikerjakan 11 dengan witirnya, dikerjakan empat rakaat lalu salam tanpa tahiyyat awal, kemudian empat rakaat lalu salam, dan ditutup dengan shalat witir tiga rakaat lalu salam.
Sepanjang penelitian Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, hadits-hadits yang menerangkan tentang shalat tarawih 23 rakaat adalah lemah atau dla’if,. Shalat tarawih 23 rakaat, bahkan menurut Imam Malik 36 rakaat, adalah ijtihad ulama dan dipegang oleh sebahagian ulama atau hanya berpegang kepada hadits dla’if yang diperselisihkan oleh para ahli hadits.
Muhammadiyah sesuai manhaj yang dipegangnya, dalam masalah shalat tarawih berpegang kepada hadits Nabi saw riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a. dan lain-lainnya yang shahih, tidak merujuk kepada pendapat ulama. Di antara hadits-hadits itu antara lain adalah:
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً ... [رواه البخاري ومسلم] .
Artinya: Dari Abi Salamah Ibnu Abdir-Rahman (dilaporkan) bahwa ia bertanya kepada Aisyah tentang bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadan. Aisyah menjawab: Nabi saw tidak pernah melakukan shalat sunnat (tathawwu‘) di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi tiga rakaat ... [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Karena shalat tarawih itu ibadah mahdlah, kita harus ittiba’ kepada Rasulullah saw. Bahkan Imam asy-Syafi'i berkata: “Apabila hadits itu shahih, itulah pendapatku”.

Wallahu a’lam bishshawab. *th)


 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah